[Cerpen] Lukisan Musim Kemarau

Adalah dia yang paling berusaha memahamiku

Di antara semua tempat, aku paling menyukai danau ini. Suasananya tenang, dengan angin yang berembus lembut, juga burung-burung putih yang bertengger manis di dahan pohon. Jika mendongak, terlihat jelas langit biru yang cerah dengan awan yang berbentuk macam-macam.

Aku tak tahu bagaimana dia bisa menemukan tempat seperti ini. Yang jelas, aku sangat mengaguminya; dia dan danau ini.

"Kamu suka?"

Aku mengangguk penuh semangat, "Ayo kita adakan pesta pernikahan di sini!" Sebuah ide yang secepat kilat melintas dalam benakku. Membayangkan betapa pernikahan kami akan menjadi sangat berkesan jika diadakan di tempat ini.

Dia hanya tersenyum memandangku, lalu kembali fokus pada kanvas, cat, dan kuas.

"Ini adalah tempat terakhir aku dan Bunda menghabiskan waktu bersama. Sebelum akhirnya Bunda meninggal karena kanker."

Senyumku sedikit memudar mengetahui fakta itu. Aku menoleh pelan. Dia tampak sibuk dengan lukisan, tapi aku bisa melihat kesedihan dalam raut wajahnya. "Jadi karena itu kamu ajak aku ke sini?"

Dia berhenti menorehkan cat di kanvas dan menoleh padaku sembari tersenyum, "Karena kamu spesial."

Dengan cepat aku memalingkan muka, menyembunyikan kedua pipi yang tiba-tiba merona. Dia selalu lebih cepat mencairkan suasana dengan kalimat-kalimat tak terduga.

Kami dua insan yang dipertemukan di bawah derai hujan bulan November, tiga tahun yang lalu. Hubungan kami berjalan dengan baik. Pertengkaran hanya terjadi karena hal-hal kecil, sama seperti pasangan lain pada umumnya. Tidak ada perselingkuhan, tidak orang ketiga, tidak ada mantan kekasih dan lain sebagainya. Seolah memiliki satu pemikiran yang sama, kami lebih dari mampu untuk saling memahami.

"Ayo kita naik perahu itu." Jari telunjukku mengarah pada perahu cokelat yang diikat pada sebuah pasak.

"Kamu bisa renang? Kalau tenggelam di tengah danau nanti gimana?" Dia bertanya dengan nada mengejek, lengkap bersama senyum jahilnya.

"Ada kamu yang pasti nolong aku," ujarku penuh percaya diri.

"Kalau aku nggak mau?"

Seketika aku merajuk, dengan harapan dia mau bangkit dari kursinya, meninggalkan lukisan itu, lalu menemaniku.

"Oke, oke. Ayo kita ke sana." Akhirnya dia mengalah. Meletakkan kuas dan bangkit berdiri, kemudian menggandeng tanganku dan berjalan bersama ke arah perahu.

Dalam waktu singkat senyumku mengembang. Aku rasa, aku salah besar. Kami tidak begitu saling memahami. Sebab, di antara banyak hal, dialah yang paling berusaha memahamiku. Sementara aku, masih seperti anak kecil; marah, merajuk, dan kecewa pada hal-hal remeh.

"Kira-kira, apa yang ada di sana?" Aku iseng bertanya. Menunjuk pada deretan pohon di seberang danau.

"Mungkin cuma ladang atau hutan."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku mengangguk pelan. Lalu terdiam cukup lama, menikmati keindahan danau dan keseluruhan yang ada.

"Mau aku bantu?" Aku menawarkan bantuan untuk mendayung ketika tersadar dia sepertinya sedikit kelelahan.

Dia menggeleng cepat. "Ini pekerjaan pria."

Aku mengerutkan kening, "Terus apa pekerjaan wanita?"

Perahu tiba-tiba berhenti. Aku baru sadar kalau kami sudah berada di tengah danau. Tidak tepat di tengah, cuma perkiraanku saja.

"Pekerjaan wanita..." Dia mengambil napas dalam, "Duduk di sana dan tersenyum."

Seketika aku membeku dengan sesimpul senyum.

Tidak.

Aku rasa semuanya membeku. Aku, dia, burung-burung putih itu, pepohonan, danau dan perahu yang kami tumpangi. Semua tampak seperti seni tiga dimensi.

"Lukisan ini memang punya kesan yang sangat dalam. Anda sepertinya terpesona."

Entah bagaimana, tiba-tiba aku merasa ditarik ke dalam dimensi lain —dari kenangan lama menuju dunia nyata.

Aku menoleh dan menyadari, seorang pria berdiri di samping kanan dan tersenyum, seraya memandang ke arah lukisan yang sama.

"Perkenalkan, saya Rio, pemilik galeri seni ini." Laki-laki itu mengulurkan tangan.

Tanpa menerima uluran tangannya, mengabaikan sopan santun, aku justru bertanya. "Berapa harga lukisan ini?"

"Oh, yang ini tidak dijual," sahutnya seraya menarik tangan tanpa ada perasaan canggung, kemudian menyimpan jari-jemari di saku celana.

Sementara aku kembali memandang ke arah lukisan. Sebuah danau yang indah, dengan dua insan berada di atas perahu berwarna cokelat. Tak perlu pembuktian untuk tahu, apakah ini lukisan yang sama atau bukan. Sebab, di sudut bawah kiri lukisan, terdapat simbol kecil yang dulu pernah aku buat. Simbol senyum yang terdiri dari dua buah titik dan garis melengkung. Sebenarnya, tidak ada yang spesial dengan itu. Aku sengaja menggambarnya karena sifat jahilku.

Dulu, aku mengira mungkin dia akan menghapusnya karena aku yakin coretan itu akan merusak hasil akhir lukisan. Tapi dia membiarkan kejahilanku menetap di sana. Bersama tawa yang pernah kita ciptakan berdua.

"Kalau gitu, gimana caranya supaya lukisan ini bisa jadi milik saya?"

Baca Juga: [Cerpen] Sudut Pandang Orang Ketiga

Nur Dik Yah Photo Writer Nur Dik Yah

Just Fiction! Kita, dan segala cerita yang ada. Follow instagram @dikyahnur

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya