[CERPEN] Cinta itu Bukan Namanya 

Cintailah persahabatan, maka persahabatan akan mencintaimu

"Halo Cinta! Eitss.. kamu gak usah jawab. Sampai ketemu lagi ya!" Aku dan sahabatku Anggy segera beranjak meninggalkan Rara dengan kernyit di dahinya.

Kelas Pak Dani telah usai. Aku dan Anggy menuju kantin yang tak begitu jauh dari kelas kami untuk menikmati santap siang. Karena sejak pagi tadi aku memang lupa sarapan sehingga aku benar-benar merasa lapar saat ini. Kami memilih duduk di teras kantin.

"Anggy, makanannya terserah kamu saja. Jangan lupa, pesankan aku juga kopi hitam dengan rasa jahe, ya?" Pintaku.

"Oke, Yan!" Sahut Anggy.

Ketika menunggu Anggy memesankan makanan, Rara masuk ke dalam kantin yang sama tempat aku dan Anggy ingin melepas rasa lapar yang sudah hampir tak bisa lagi ditahan. Rara menatapku dengan wajah yang datar tanpa melemparkan senyuman. Walau begitu, keindahan wajahnya tetap terjaga meski ia tak tersenyum.

Aku pun melakukan hal yang sama dengannya, seakan aku belum mengenal Rara. Memang sih, pada kenyataannya aku dan Rara tidak saling mengenal dan aku hanya sok kenal saja. Hahaha. Aku mengetahui namanya ketika Pak Dani memanggil nama kami satu persatu menanyakan kehadiran kami di kelas. Dan saat nama Rara disebutkan, aku menengok ke arahnya. Pandangan itulah yang membuatku penasaran dengannya. Kagum? ya, itulah yang terbersit di dalam hatiku.

"Kamu mau duduk di sini?" Aku menyodorkan kursi yang ada di sebelahku, namun Rara tak merespon dengan terus berjalan menuju meja yang ada tepat di depan meja yang aku tempati.

"Rayyan dan Anggy, ini pesanan kalian ya, silahkan!" Ucap Bu Rika, pelayan sekaligus pemilik kantin.

"Baik, terima kasih ya Bu!" Balas Anggy dan aku hanya mengangguk.

Aku dan Anggy segera menyantap makanan yang sudah disajikan oleh Bu Rika di atas meja kami. Aku menghabiskan makanan lebih cepat dibanding Anggy. Aku kemudian menikmati kopi hitam dengan aroma jahe yang begitu terasa di hidung. Sangat nikmat. Aku memang bukan pecinta kopi sejati, tapi untuk kopi yang satu ini sangat sulit untuk dilupakan. Aku lebih cenderung menyebutnya "Perindu kopi jahe". Istilah yang aneh. Lagi pula itu kan hanya istilah.

Sejak kedatangannya ke kantin ini, Rara hanya seorang diri dan sampai saat ini, dia juga hanya sendiri. Entahlah, aku sempat berpikir apakah dia ini memang belum memiliki seorang teman akrab yang ada di kelas, pemalu, jomblo atau memang dia suka sendiri kalau bepergian? Ah, sudahlah. Lupakan saja. Aku juga belum begitu mengenalnya, main sambar aja dengan pikiran yang negatif. Mungkin ini salah satu tanda, aku memang semakin penasaran tentangnya. Semoga saja. Aku juga menginginkan perasaan ini kok.

Aku memberikan Anggy 50.000 rupiah untuk membayar makanan dan minuman yang sudah kami nikmati. Lantas kami berdua meninggalkan kantin dan kembali ke ruangan kelas, untuk bersiap menerima materi kuliah selanjutnya.

Aku tak melihat ada respon yang berbeda dari Rara, ketika aku dan Anggy bergerak untuk keluar dari kantin. Yang terlihat dia hanya sedang asyik menikmati kopinya dan menarikan jari jemarinya pada layar ponsel yang diletakkannya di atas meja. Entahlah, rasa penasaranku kok semakin menjadi-jadi.

*

Hari Kamis, 04 Oktober 2018 adalah hari pertama aku memulai kisah ini, menaruh kagum kepada Rara. Aku juga tidak mengira, kok bisa seperti ini dan pada hari-hari sebelumnya rasanya biasa-biasa saja. Namun, aku baru saja menyadari kalau aku sudah lama tak lagi memiliki kedekatan dengan seorang wanita manapun semenjak aku ditinggalkan sekaligus berpisah dengan wanita yang sangat aku damba-dambakan. Yang telah pernah mengikat janji untuk bisa bersatu.

Kenyataanya berbeda, wanita itu justru memilih pria lain yang merupakan orang yang dijodohkan oleh orang tuanya dengannya. Tapi... Sudahlah, tak begitu penting lagi tuk dibahas. Kejadian ini sudah 4 tahun berlalu dan aku tak mau terus mengingatnya. Biarkanlah menjadi kenangan dan pelajaran yang berarti bagi aku.

"Hey Anggy, besok ada perkuliahan gak?" Aku mengirim pesan singkat melalui WhatsApp kepada Anggy.

"Hahahaha," balas Anggy seakan ada yang lucu dengan pertanyaanku.

"Memangnya kamu mau kuliah dengan hantu ya, Yan? Besok kan hari Minggu!" Timpal Anggy saat membalas pesanku dengan menambah emoticon kesal.

"Hahahaha, sorry ya Nggy, sekarang ini aku maunya kuliah tiap hari biar tetap ketemu Rara. Kan kamu sudah tahu itu."

"Ohhh. Begitu ya, kalau kamu mau, aku punya nomornya nih biar kamu bisa hubungi dia. Mau gak?" Membaca balasan Anggy, aku terhenyak karena bagaimana bisa Anggy dapatkan nomor Rara? Setahuku Anggy pun juga tidak begitu akrab dengan Rara. Daripada aku hanya penasaran, mending aku tanyakan kebenarannya.

"Benar Nggy, kamu punya nomornya Rara?"

Menunggu balasan dari Anggy, tak kunjung masuk. Sekarang menunjukkan pukul 23.00, mataku semakin meredup dan aku tak bisa lagi menahannya hingga aku akhirnya terpulas.

Pagi pukul 07.30, setelah aku baru saja menyelesaikan hobi pagiku yaitu berlari pagi. Aku mengambil ponsel di kamar lalu mengecek balasan WhatsApp dari Anggy dan dia hanya mengirimkan stiker orang yang sedang tertawa lepas. Yah, aku sudah dikerjain sama Anggy. Sebenarnya dia tidak punya nomor ponsel Rara. Aku sudah mengira sejak semalam tentang hal ini. Ternyata sesuai harapan. Hmmm...

*

"Hey Cinta, Apa kabarmu di hari Senin ceria ini?" Tepat di parkiran kampus, Rara baru saja turun dari sebuah ojek online lewat di sampingku.

Wah, ternyata Rara ini orangnya jutek juga. Dia tidak menoleh apalagi mau membalas sapaan aku. Dia terus melanjutkan langkahnya menuju kelas dimana aku pun juga akan menuju ke kelas tersebut.

"Anggy, kantin yuk!" Ajakku pada Anggy saat jam istirahat.

"Oke," Anggy mengangguk setuju.

"Seperti biasa ya Nggy, kopi hitam plus jahe!"

Sebelum Anggy menjawab, tiba-tiba seorang wanita memotong pembicaraan dari arah pintu masuk kantin.

"Apa? Kamu suka sama kopi hitam rasa jahe juga ya?" Cetus Rara yang baru saja menatapku dan berdiri tepat di depan meja kami.

Wah, ini benar-benar hari yang aneh tapi luar biasa. Tiba-tiba saja Rara datang mendekati kami, tak lama berselang lalu dia menanyakan, "Boleh aku duduk di sini, bergabung bersama kalian berdua?"

"Oh ya, silahkan Cinta!" Dengan senang hati aku menerimanya.

Aku sangat senang dan makin bersemangat hari ini, meja yang biasa aku tempati berdua hanya bersama Anggy, kini bertambah satu orang wanita. Yang mana dia adalah wanita yang aku kagumi hampir seminggu ini. Yeah, dialah Rara. Aku juga melihat Anggy, kegirangan ingin segera berkenalan dengan Rara.

"Halo, namaku Anggy, sahabatnya Rayyan!" Anggy menjabat tangan Rara.

"Oh nama kamu Rayyan?" Tanpa membalas Anggy dengan mengenalkan namanya, Rara justru mengarah menatapku dan menyebutkan namaku. Tampaknya ia juga mulai kagum dengan namaku. Hahaha aku merasa percaya diri. Aku hanya mengangguk dan membalasnya dengan senyum.

Bu Rika datang membawa pesanan kami dan menyapa kami di meja tempat kami melepaskan segala beban pikiran setelah mengikuti perkuliahan pagi tadi. "Halo semuanya!"

Serentak kami bertiga menjawab sapaan Bu Rika, "Halo Bu!"

"Wah, nampaknya Rayyan dan Anggy sudah punya satu teman baru lagi ya? Bu Rika menatap ke arah Rara sambil tersenyum. "Memangnya kalian baru kenal sama Rara ya?"

"Tidak juga kok Bu, kan kami dan Rara sekelas, hanya Rara baru bergabung saja dengan kami di sini." Wah nih Anggy sok akrab dengan Rara. Bisikku dalam hati.

"Oh gitu. Silahkan dinikmati ya makan dan minumnya!" Bu Rika lalu beranjak kembali melayani pesanan dari mahasiswa lainnya.

Aku, Anggy dan Rara bersama-sama menyantap sajian makanan yang sudah tertata dengan rapi di atas meja kantin Bu Rika. Sembari makan, aku menoleh ke arah Rara. Sebenarnya dia ini tidak jutek dan... Rara ini wajahnya sangat menyejukkan untuk dipandang. Lembut, cantik, penuh kharisma. Ah, entah kata apalagi yang harus aku libatkan untuk mendeskripsikan keindahan wajahnya.

Aku memang belum terlalu banyak ngobrol dengannya. Namun, ketika awal mendengarnya menyapa, suaranya memang cukup lantang sebagai tanda dia wanita yang tegas namun santun.

Tanpa sadar aku sudah mengkhayalkan tentangnya dan baru saja aku tersentak saat Anggy melambaikan tangan di depan wajahku. Yah. Padahal aku begitu menikmati suasana khayal yang bukan hanya di imajinasiku, melainkan hal itu nyata, karena khayalku itu saat ini berada tepat di depanku sedang menikmati kopinya yang juga berselera sama denganku yaitu kopi hitami dengan rasa jahe di dalamnya.

"Kamu kenapa, Yan?" Waaaa, Rara merasa akrab denganku, dengan hanya menyebut nama belakang aku saja. Padahal dia bisa saja berkata Rayyan. Atau aku yang kegirangan ya? Aku menarik nafas.

"Gak kenapa-kenapa kok." Kok aku jadi salah tingkah begini ya, saat Rara mengetahui aku tengah menatapnya.

"Oh ya Yan, aku lupa tadi mau nanyain sesuatu sama kamu!"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Nanya apa, Cantik?" Wajahnya hanya memberikan senyum ketika aku menyebutnya cantik bukannya Rara. Biarlah, dia memang cantik kok. Lagipula dia juga tidak peduli dengan panggilan cantik.

"Kamu juga suka dengan kopi rasa jahe ya?" Lanjutnya.

"Iya, aku suka dengan kopi ini sudah cukup lama. Mungkin ya.... karena kebiasaan ayahku di rumah itu kalau pagi sebelum kerja dia selalu dibuatkan kopi jahe oleh ibu aku. Dan aku jadi ikut-ikutan minum kopi jahenya". Aku makin merasa senang pun bahagia diajak ngobrol Rara. Dia begitu terbuka dengan pertemanan, tanpa ragu bertanya meskipun hanya hal tentang kopi. Namun, bagiku ini adalah tahapan awal aku bisa semakin mengenalnya.

Rara kemudian menjelaskan alasannya, mengapa dia pun suka menikmati kopi jahe. Obrolan kami semakin nyambung satu sama lain, Anggy menceritakan kisah-kisah lucunya. Kami terbawa ke suasana keakraban dan tertawa bersama hingga waktu pulang tiba.

"Untuk hari ini, biar aku yang bayar ya. Aku traktir kalian, sekaligus sebagai ucapan terima kasih, karena kalian sudah mau menerima aku dengan ramah sebagai teman baru!" Ucap Rara sambil mengeluarkan uang dari dompetnya untuk membayar semua pesanan kami. Aku dan Anggy hanya tersenyum dan mengangguk setuju. Ini kan pertama kalinya, gak apa-apalah ditraktir sama wanita.

Setelah Rara membayar kepada Bu Rika, kami pun bergegas untuk bersiap pulang ke rumah kami masing-masing.

"Sampai ketemu lagi ya teman-teman!" Ucap Rara kepadaku dan Anggy.

*

Aduh, kenapa aku bodoh sekali tidak meminta nomor telepon Rara tadi. Biar aku bisa ngobrol terus sama dia. Aku bisa chatting sama dia. Tahu tentang dia lebih banyak lagi. Aku menggeram dalam hati.

Rasa penasaranku kepada Rara, semakin out of control - nyaris di luar kendali aku. Aku mulai gelisah dan terjaga malam ini. Senyam senyum sendiri di kamar, ingin cepat kembali bertemu dengannya. Tak ubahnya aku sedang jatuh cinta. Ya, aku benar jatuh cinta dengan wanita yang sering aku sapa dengan nama Cinta ini. Lantas, aku juga tidak tahu bagaimana harus melepas rasa penasaran ini. Terlalu cepat jika harus aku mengatakan hal ini kepada Rara, atau boleh saja dia akan senang atau bahkan hanya akan membuatnya marah?

Aku tidak tahu. Aku merasa pikiran ini semakin sulit dimengerti, tambah lagi degupan hati yang mulai tidak tenang. Sebaiknya besok aku sampaikan saja rasa ini, biar aku tahu hasilnya. Apakah dia akan menerima atau sebaliknya. Aku mesti siap dengan konsekuensinya. Karena cinta baiknya diungkapkan.

"Selamat pagi, Cinta!" Dengan penuh semangat aku menyapa Rara dan dia hanya tersenyum, seakan senyumannya sudah mewakili semuanya. Tanpa harus mengeluarkan sepatah kata pun.

"Hari ini gimana, apa kamu sudah siap?" Aku memberikan sinyal dengan pertanyaan ini, dan aku berhasil membuat Rara penasaran.

"Maksud kamu siap untuk apa, Yan?" Rara hanya tersenyum meski merasa kebingungan dengan sikap dan pertanyaanku.

"Di kantin nanti, aku akan sampaikan satu hal sama kamu."

"Ih, apaan sih, jangan buat aku penasaran gitu dong, kita kan udah berteman nih, harusnya kamu terbuka saja denganku, langsung tanpa menunggu lagi. Memangnya ada apa sih? Kamu seperti bahagia gitu?" Semoga saja tidak membuatku marah ya?" Dengan nada mengancam dan wajah Rara yang cemberut, Rara memukul bahuku dengan kepalan tangan kanannya.

Setelah mengikuti perkuliahan, aku lebih dulu keluar dari kelas menuju ke kantin. Aku tak mengajak Anggy bersamaku hari ini. Karena pasti, aku tidak bisa menyampaikan perasaanku di depan orang lain, walau dia sahabatku.

Aku segera memesan dua kopi hitam rasa jahe, karena aku tahu Rara juga penikmat kopi ini. Agar dia tak repot-repot lagi untuk memesannya. Sambil menunggu kedatangan Rara, aku membaca buku yang aku beli kemarin sambil merasakan nikmatnya kopi jahe yang nyaris tak ada tandingannya ini. Ini sih hanya pendapatku, meski banyak kopi lainya juga yang tak kalah nikmat.

"Hey, Yan! Buku apa yang kamu baca? Kamu serius juga ya, kalau sedang membaca!" Aku terhenyak dengan kedatangan Rara.

"Oh, ini buku motivasi kok Cinta! Biar aku tetap semangat menjalani hari-hari bersamamu!" Tawaku lepas seketika dan Rara hanya memandangku dengan senyuman yang sedikit sinis.

"Loh, kamu pesan dua kopi sekaligus?" 

"Iya, satunya untuk kamu, silahkan diminum!"

"Makasih ya, Yan!"

Aku rasa kegugupan mulai mengelilingi jantungku, dan tampaknya aku mulai merasa ingin berkeringat, pikiranku kacau balau, semoga saja aku mengontrol semua ini. Ya, semoga saja. Saatnya nih aku bersaksi atas perasaanku.

"Cinta!" Meski itu bukan namanya, Rara tetap mau menoleh.

"Kenapa Yan?" Tanya Rara.

"Aku mencintaimu." Dengan wajah yang tampak tegang, penuh harap dan perasaan yang campur aduk, aku menyampaikan janjiku pagi tadi kepada Rara sebelum masuk kelas.

Rara hanya menatapku dengan sangat santai, seakan aku hanya bercanda dengan apa yang baru saja aku sampaikan.

"Iya Cinta, aku benar-benar mencintaimu!" Aku mengangkat dua jariku di depan wajahnya yang begitu indah, sebagai bentuk sumpah serius aku memang mencintainya.

Rara lalu menarik napasnya dalam-dalam dengan wajah tampak kecewa, dia kemudian berkata, "Kamu bukan lagi sahabatku, Yan!"

Rara beranjak dari kursi tempatnya duduk dan segera ingin pergi.

"Tunggu, kenapa kamu pergi?" Aku mencoba menahannya, namun dia terus berjalan.

"Oh iya Yan, ingat satu hal, jangan pernah lagi kamu panggil namaku dengan sebutan Cinta, karena itu bukan namaku, oke?" Rara berhenti sejenak, lalu bergegas untuk pergi meninggalkan aku.

"Astaga, apa mungkin ada yang salah dengan ucapanku barusan?" Aku hanya merasa tidak percaya Rara bisa marah seperti itu.

Aku segera menghubungi Anggy, mungkin saja dia punya nomor ponselnya Rara.

Aku telepon beberapa kali, Rara tidak mengangkatnya. Mungkin saja dia heran kenapa ada nomor baru yang tiba-tiba menelepon. "Aku coba telepon lagi deh?"

Rara mengangkatnya, "Halo, ini siapa ya?"

"Ini saya, Cinta!" Ucapku dan aku mendengar Rara tertawa namun segera menjauhkan mulutnya dari ponselnya agar suara tawanya tak terdengar oleh aku.

"eh maksud aku Rara. Aku nih, Rayy," kataku.

Tetttttt..... Rara langsung menutup telponnya. "Yah dia benar-benar marah nih." Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.

''Rara, tunggu! Kok kamu gak angkat telpon aku semalam?" Aku mengejar Rara ketika tiba di parkiran dan ingin menuju ke ruangan kelas. Namun, dia sama sekali tak bergeming sedikit pun.

Baiklah, mungkin saat di kantin siang nanti aku bisa ngobrol sama dia, dan menanyakan alasan dia marah karena aku sudah mengatakan mencintainya. Tiba-tiba Rara menghampiriku, "Aku mau ngobrol sama kamu di kantin sekarang!"

Kami berjalan menuju kantin, tempat kami biasa nongkrong di waktu jam istirahat berlangsung.

"Yan, aku itu bukan marah karena kamu suka sama aku." Sejenak Rara terdiam lalu melanjutkan, "Aku hanya tidak ingin ada perpisahan lagi. Sebaiknya kita bersahabat saja, agar tak ada lagi kesedihan, kekecewaan, pengkhianatan yang justru bisa membuat hubungan persahabatan kita tidak berjalan lagi. Aku harap kamu bisa mengerti Yan. Dan aku harap juga kamu tidak menanyakan alasan apapun kenapa aku belum mau lagi menjalin hubungan yang lebih serus dengan seorang pria. Jika memang suatu saat Tuhan menetapkan kita berjodoh, aku dan kamu pasti bersama. Dan aku meyakini itu."

Aku hanya mengangguk, entah aku setuju atau tidak. Tapi yang pasti aku semakin kagum dengan sikap Rara yang begitu bijak. Aku tetap merasa bahagia meski aku belum mendapatkan jawaban atas cintanya Rara.

Persahabatan yang jika dijalani dengan tulus antara satu sama lain memang akan sangat menenteramkan dan menyenangkan. Oleh karena itu, hubungan apapun yang kamu harapkan akan terasa lebih indah dan menemukan sejatinya sebuah hubungan, baik itu keluarga, rekan kerja, kekasih, masyarakat dan dengan alam sekalipun.

Cintailah persahabatan, maka persahabatan akan mencintaimu. Dan cinta tak selamanya harus memiliki.

Baca Juga: [Cerpen] Perempuan Bercadar Ungu itu Istri Temanku

Nurkamal Photo Verified Writer Nurkamal

Salam Semangat, Instagram : @nurkamaljuly27

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya