[CERPEN] Janji, Tidak Saling Jatuh Cinta

Berubah menjadi sebuah janji suci

Aku mendekati seorang wanita yang sedang duduk di salah satu kursi sebuah kedai kopi, "Halo, apa kita harus berkenalan?"

Sambil tersenyum aku menarik sebuah kursi di meja tempatnya berada, tanpa meminta izin terlebih dahulu apakah dia mau aku menemaninya duduk atau tidak; dia pun hanya tersenyum tanpa terlalu peduli dengan kedatanganku untuk duduk bersamanya.

"Tampaknya kamu sedang sibuk menulis sesuatu?" tanyaku sedikit kepo.

Dia kembali memberikan respon dengan senyumnya. Ya, dari sisi kiri wajahnya menunjukkan senyuman tipis darinya.

Hampir setengah jam aku duduk bersamanya, tanpa ada sepatah kata pun yang aku dengar dari wanita ini. Dia amat serius menatap layar laptopnya dan lincah jemarinya menari di atas papan keyboard, hingga kata demi kata yang terus tercipta pada laman kosong berwarna putih lalu membentuk sebuah kalimat, paragraf dan menjadi lembaran-lembaran yang sepertinya dia sedang menuliskan sebuah cerita. Cerpen? Mungkin saja.

Aku tidak begitu memerhatikan apa isi dari tulisannya, karena aku tidak bisa melihat dan membacanya terlalu dekat, takutnya dia akan marah padaku karena merasa telah mengganggunya.

Aku coba bertanya untuk mencairkan suasana, dia sama sekali tak memberikan feedback apapun selain hanya senyuman yang membuat hatiku juga ikut tersenyum melihatnya. Ah, ini feedback yang jauh lebih baik, meski hanya sebatas senyuman, namun memberikan efek positif bagiku. 'Bolehkah aku memotret senyumanmu?' tanyaku dalam hati.

Dia tampak begitu asyik dengan tulisannya, dan membuat aku hanya terpenjara dalam diam. Bingung saja, mau ngobrol tapi serasa tak ada lawan bicara. Padahal dia tepat di sampingku.

Akhirnya aku hanya memilih diam dan cukup sesekali menatap laptop dan wajahnya yang terus menggambarkan bahwa senyuman itu mudah baginya. Kopi pesananku juga kini tak mengepul lagi, karena hawa panasnya telah menghilang. Hingga tak terasa, waktu menunjukkan pukul 11 siang.

"Yah baiklah, aku pergi dulu!" ucapku pada wanita ramah dan murah senyum itu. Dia lalu menatapku dan tentunya senyum cerianya mengakhiri pertemuan kami.

Entahlah, esok atau lusa aku bisa bertemu dengannya lagi. Senyum yang dia berikan meninggalkan jejak kesan yang indah pada benakku dan kini menjadi bagian dari pikiranku.

**

Ceritaku baru saja dimulai untuk cerpenku yang kesepuluh ini. Aku sudah punya ide tentang judul yang asyik untuk dibuat, namun aku masih mengalami kebuntuan ketika memulai untuk menuliskannya. Yang dalam istilah penulis, kalau tak salah biasanya mereka menyebutnya Writer's block, yang bisa aku mengerti bahwa kondisi ini, di mana penulis seperti kehabisan ide atau gagasan untuk melanjutkan ceritanya.

Oleh karena itu, aku memilih pergi jalan-jalan, terutama ke kedai kopi tempat aku biasa untuk melanjutkan tulisanku. Kadang dalam perjalanan, aku mendapati ide cerita kembali mengalir di pikiranku, sehingga aku terus menulis ketika tiba di kedai kopi dan biasanya ceritanya akan habis aku tuliskan di sana. Sambil menikmati sajian kopi yang nikmat dan sepotong roti.

Aku mengeluarkan laptopku dan meletakkannya di atas meja untuk melanjutkan ide tulisanku. Aku takut nanti idenya bisa hilang jika aku tidak segera menuliskannya. Dan akhirnya aku bisa menyelesaikan juga ceritanya. Aku tinggal mengeditnya kembali saat tiba di rumah nanti.

Ketika aku ingin menutup laptopku dan menyimpannya kembali ke dalam tas, aku melihat ke arah kanan di meja ketiga di deretan aku, seorang wanita tampak juga sedang mengetik yang entah apa pada laptopnya. Coba tebak apa yang dituliskannya? Ah sudahlah, aku akan tahu, aku sebaiknya segera menyapanya.

"Halo, selamat siang, Mbak?" Biar lebih mudah aku menyebutnya Mbak, karena sejak kemarin, pertama bertemu dengannya, kami tidak berkenalan. Makanya aku belum mengetahui namanya.

Dia lagi dan lagi hanya melemparkan senyum ke arahku yang tepat berdiri di depannya. Seperti biasanya aku kembali duduk, tapi kali ini aku duduk berhadapan dengannya. Dan tanpa aku meminta izin lagi darinya untuk bisa menemaninya. Cie... Menemaninya, memang dia sudah menjadi temanku? Kenal saja belum.

"Apa sebenarnya yang sedang kau kerjakan?" Tanpa embel-embel, aku bertanya kepadanya agar semuanya tampak alami dan terlihat tidak ada kecanggungan di antara kami. "Sejak kemarin, aku melihatmu sibuk mengetikkan yang jika aku perhatikan seperti sebuah naskah atau cerita apalah begitu." Lanjutku.

Dia menghela napasnya, dan hanya tersenyum kembali setelah mendengarkan pertanyaanku. Rasanya aku tidak tahu harus berkata apalagi. Aku kehabisan ide untuk bertanya, karena dia pasti hanya memberi senyum saja.

Aku coba ganti pertanyaan tentang hal lain, dia juga hanya tersenyum. Entahlah, dia ini menjadi wanita paling aneh yang pernah kutemui, atau mungkin dia gak bisa bicara ya? 'Sssssstt...ah.' Kenapa aku jadi berprasangka seperti ini.

Aku hanya tidak habis pikir, bagaimana dia menjalani hari-harinya seperti ini, hanya senyum saja. Bertanya balik juga, tidak dia lakukan. Tapi, mungkin saja dia seperti ini saat berada di tempat umum. Yah, ini bisa jadi cerita menarik. Kenapa tidak? Ini bisa jadi ide cerita aku selanjutnya.

Setelah menyelesaikan tulisannya, dia meninggalkan tempat duduknya tanpa ada ucapan apapun darinya. Lalu meninggalkan kedai kopi dan berlalu begitu saja. Dia menggunakan sepeda motor, sepintas dari penampilannya dia terlihat seperti seorang mahasiswa.

Aduh... Kenapa aku jadi peduli dengan situasi ini, sementara dia, kenal tidak, berbicara atau bertegur sapa dengannya pun juga tidak. Lalu aku harus bagaimana? Loh, kenapa aku jadi sibuk sendiri memikirkan dia? Hmmm... Sudahlah. Dia mungkin tidak suka berteman dengan orang asing.

Setelah berpikir tentang wanita ini, aku ingin menulis cerita baru lagi tentang dia dan 'keanehannya'.

**

Hari ketiga aku kembali bertemu dengannya, di kedai kopi tempat aku biasa menghabiskan kisah-kisah fiksiku dalam sebuah tulisan.

Genap setahun aku mengawali karier sebagai penulis lepas, anggaplah seperti itu. Karena memang aku masih belum punya pekerjaan lainnya. Bukan karena aku tidak mencarinya, melainkan banyak perusahaan yang menolak dan juga tidak merespon lamaran kerja yang sudah aku kirimkan baik secara langsung ataupun melalui media online. Sehingga hari-hariku yang kosong, setidaknya aku isi dengan kegiatan bermanfaat ini dan juga merupakan kesenangan bagiku yaitu menulis.

Aku melihatnya kembali duduk di tempat biasanya, di meja ketiga yang sederet dengan aku. Tentunya dengan aktivitas yang semakin akrab bagiku, yaitu mengetikkan sebuah cerita. Aku ingin mendekatinya lagi, namun hari ini aku harus pergi ke rumah teman karena ada hal penting yang harus aku lakukan di sana.

Aku berjalan menuju pintu keluar kedai kopi, seketika wanita itu menghampiriku, "Hei, tunggu!" Dia menyerahkan sebuah kertas kecil berwarna putih berisi sebuah nomor telepon. 'Call me!' dia memberikan isyarat kepadaku.

Aku mengambil kertas yang diberikannya, "Oke!" Lirihku. Lalu aku pergi meninggalkannya.

"Hey, aku Sofie!" ucapnya dengan mengulurkan tangannya kepadaku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Aku Bayu!" balasku.

Sofie mengawali pembicaraan setelah mengenalkan namanya. Dia menjelaskan tentang dirinya, sebagai seorang mahasiswa yang juga aktif sebagai penulis lepas.

Dia sangat menyukai dunia menulis sejak masih di bangku SMA. Setiap pulang dari kampus, dia menyempatkan dirinya untuk singgah di kedai kopi, tempat kami bertemu. Dia memilih kedai kopi ini karena di sini suasananya cukup asyik baginya untuk menghasilkan atau pun menyelesaikan ide-ide yang ingin dituliskannya.

Dia juga menjelaskan kenapa dia hanya tersenyum ketika aku menyapanya di pertemuan pertama kami, karena saat itu dia fokus menyelesaikan tulisannya dan tidak ingin diganggu. Dia lebih banyak menulis tentang fiksi khususnya cerpen. Dan ternyata aku memang memiliki kesamaan hobi dengannya dalam hal menulis.

"Wow, berarti kita sama dong?" timpal Sofie, ketika aku mengatakan kalau aku juga suka menulis cerita pendek.

"Emmm!" Aku mengangguk setuju.

Sambil tersenyum aku melanjutkan, "Tapi aku baru memulai menulis setahun yang lalu, sehingga aku masih harus terus belajar banyak nih. Kalau kamu tidak sibuk, aku ingin belajar sama kamu saja. Sebab, menurutku ya, kamu itu sudah berpengalaman di bidang ini. Apa kamu mau?"

"Gimana ya? Sebenarnya, aku juga masih belajar sih. Tapi... Baiklah, kita bisa saling bertukar pikiran nantinya!" ujar Sofie.

"Tapi tunggu dulu, kamu tidak punya maksud lain, kan, mendekati aku? Hati-hati ya, kalau kamu jatuh hati sama aku. Kita berdua harus membuat perjanjian, jika salah satu di antara kita ada yang jatuh cinta, aku ke kamu dan sebaliknya, kita tidak akan belajar nulis lagi dan tidak akan bertemu lagi!" ancam Sofie tampak serius, namun dengan memberikan senyum ramahnya. Sehingga aku tidak merasa tegang karena ucapannya.

"Oke, janji!" jawabku.

**

Kami semakin sering bertemu. Sofie selalu fokus dan benar-benar serius memberikan pengalaman dan membagi pengetahuannya tentang menulis. Sofie juga selalu punya cara untuk menghilangkan kejenuhanku ketika mendengarkannya menjelaskan segala teori-teori serta contoh-contoh karya tulis baik itu yang berasal dari penulis besar maupun dari tulisan yang telah dibuatnya dan telah di-publish oleh media.

Aku pun semakin mengerti tentang teknik-teknik penulisan yang baik dari pengalaman yang sudah dibagikan oleh Sofie kepadaku. Sambil belajar dari Sofie, secara rutin aku juga terus membuat cerpen.

Suatu ketika, Sofie tak bisa datang ke kedai kopi untuk melanjutkan materinya. Dia mengatakan kepadaku kalau dalam beberapa hari ke depan dia harus fokus mengikuti ujian final semester. Setelah dia menyelesaikan ujian semesternya, aku coba menghubunginya. Namun, dia tidak menjawab telepon dari aku. Hingga beberapa hari, dia masih juga tidak memberikan kabar kepadaku.

Aku mulai merasa khawatir dengannya. Kenapa sampai kini belum memberikan kabar, setidaknya dia bisa beritahu apakah dia masih sibuk atau tidak. Ah.. Apa mungkin dia sudah tidak ingin bertemu dengan aku atau... astaga! Pikirku kalau dia sudah jatuh hati kepadaku. Mungkinkah ini terjadi?

Meskipun dia tak tahu kalau aku juga sudah jatuh hati padanya, bahkan sebelum berkenalan kepadaku. Tetapi, karena sebuah janji yang sudah kami buat bersama. Maka aku memilih untuk diam dan tidak menyampaikan perasaanku agar aku bisa tetap bersama dia.

Hampir setiap hari aku berkunjung ke kedai kopi, berharap dia bisa datang juga. Namun, nyatanya dia benar-benar tidak ingin lagi bertemu, hanya karena perasaan yang mungkin kini bersemayam di dalam hatinya. Aku sudah berusaha mencarinya, bahkan ke kampusnya. Aku tidak juga menemukannya.

Waktu memang selalu terasa cepat berakhir, ketika keadaan rasa yang sedang mekar lalu harus berakhir dengan perpisahan seperti ini.Sungguh ini cukup menyakitkan.

Entahlah, apakah aku akan merindukan sosoknya suatu saat nanti. Sementara, melepaskannya aku tak tahu harus ke mana. Ataukah ini akan berakhir bersama berlalunya waktu? Entahlah...

Aku lelah seharian ini setelah mencarinya, badanku terasa gerah. Baiknya aku mandi dulu. Tak lama berselang, setelah aku mandi. Aku mendengar dering teleponku berbunyi di dalam kamar. "Aku coba angkat teleponnya!" Lirihku.

"Halo, Kamu di mana?" Secara bersamaan aku dan Sofie mengatakan kalimat yang sama, Lalu kami tertawa bersama.

"Aku lagi di rumah." Kami kembali menjawab pertanyaan bersamaan dan tawa pun kembali lepas begitu saja.

"Oke, kamu dulu yang bicara". Aku dan Sofie seraya mengatakan untuk meminta salah satu dari kami yang berbicara terlebih dahulu.

"Oke, kamu diam ya!" Seru Sofie.

Aku merasa sangat gembira bisa mendengarkan kembali suara Sofie melalui telepon.

"Aku tunggu kamu di kedai kopi ya!" katanya.

"Okey, aku segera ke sana sekarang," balasku.

Pertemuan kami di kedai kopi, menjadi sebuah pertemuan yang sangat sakral, kami bersama melepaskan segala rasa rindu yang telah lama terkurung di dada. Kini perasaan kami menjadi lega, kami menyatakan secara jujur perasaan yang kami miliki satu sama lain.

Meski kami sudah melanggar janji yang pernah kami ucapkan dahulu. Dan semoga janji tersebut, tidak menjadi utang kami di kemudian kelak. Karena janji itu kini sudah berubah menjadi sebuah janji suci, yang hanya ingin kami ucapkan sekali dalam seumur hidup.

Dari ruang kedai kopi, aku melihat melalui kaca jendela, hujan mulai mengguyur, yang semakin menambah rasa syukur aku telah dipersatukan kembali oleh Tuhan bersamanya.

***

Tolitoli, 11 Januari 2019

Baca Juga: [Cerpen] Keluarga Berencana

Nurkamal Photo Verified Writer Nurkamal

Salam Semangat, Instagram : @nurkamaljuly27

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya