[CERPEN-AN] Bersamamu Selamanya

Aku selalu di sini untukmu hingga waktuku pun tiba

Aku masih duduk sendiri di teras rumah. Air mataku terus menetes tanpa henti. Tak ada siapa-siapa, hanya gelap yang mencipta sunyi dan dingin yang menusuk kulit. Aku tahu betul, sederas dan seberapa banyak pun air mataku jatuh, tidak akan bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Tak ada yang lebih menyakitkan dari ditinggal karena kepergian untuk selamanya.

Sandy, sepertinya baru kemarin aku menerima pesan singkat darimu di WhatsApp, pesanmu selalu sama: sampai jumpa di sana, di kota di mana kita dipertemukan pertama kali, memulai  dan menjalani segalanya, sebelum terpisah jarak dan saling menyayangi dari jauh. Kata-kata itu begitu manis dan tak pernah bosan kau sampaikan dan tak bosan pula aku terima.

Seberapa parah sakit dan seburuk apa pun kondisimu sebelum kamu pergi, itu belum mampu menyiapkan hatiku untuk menerima kepergianmu begitu saja. Aku selalu yakin kamu akan sembuh dan aku selalu berdoa agar keadaanmu membaik. Aku tahu semuanya tak seperti yang kuinginkan, semakin hari keadaanmu semakin memburuk.

Kamu mungkin tak pernah memberitahu sendiri keadaanmu. Orang-orang di dekatmu selalu mengabariku, sebagian dengan jujur memberitahu kalau keadaanmu semakin memburuk, sebagian lagi mencoba menguatkanku agar tak terpuruk dalam kesedihan, kata mereka keadaanmu semakin membaik, saat itu aku tahu kalau sebenarnya keadaanmu pun sedang buruk.

Dalam kesendirian aku selalu menitikkan air mata, harusnya aku di sana menemanimu, batinku setiap waktu. Aku menyalahkan diri sendiri untuk itu, dan kamu malah selalu meyakinkanku kalau kamu akan sembuh, tidak usah sedih, aku pasti sembuh, cukup doa untuk kesembuhanku, katamu suatu waktu di telepon.

Aku tahu kata-kata itu hanya caramu supaya aku tak menyalahkan diri sendiri. Kamu selalu tahu cara menyayangiku, sejauh apa pun jarak, bahkan sampai saat terakhirmu.

...

Aku datang lebih awal di kedai kopi sore itu. Belasan menit kemudian kamu datang dan duduk di sampingku.

“Kamu ada masalah lagi?" Tanyamu setelah aku tak membalas sapaanmu. Aku tak memberi jawaban apa pun. Kalau keadaannya seperti ini, kamu tahu pasti ada yang menghinaku lagi.

“Apa mungkin anak seorang pelacur tidak boleh bahagia dan punya kehidupan yang baik?” Tanyaku.  Kamu hanya diam, lalu menyodorkan kopi padaku.

“Harusnya rumah menjadi tempat ternyaman untuk kita, aku yakin semua orang akan setuju dengan itu. Sayangnya tidak dengan yang aku alami. Aku lahir dan tumbuh dewasa dalam kehancuran suasana rumah. Bahkan ibu yang telah melahirkanku sekalipun tidak pernah tahu siapa ayah untukku.

Ibu tidak pernah tahu dari sekian banyak laki-laki yang membayarnya, laki-laki yang mana yang menjadi ayahku. Ibu mungkin terlalu sibuk menerima rupiah dari setiap laki-laki bajingan yang telah ia layani hasrat dan kepuasannya. Ibu tidak lebih baik dari ayah yang tak pernah bertemu denganku, setelah kelahiranku ibu mengakhiri hidupnya sendiri.

Wajah ibu hanya bisa kulihat di bingkai-bingkai fotonya yang terpajang di dinding rumah. Masa kecil yang bagi kebanyakan orang adalah masa terindah menjadi masa terburuk dalam hidupku. Aku tak pernah merasakan bagaimana kehangatan kasih seorang ayah dan ibu. Kadang aku berpikir aku terlalu dini untuk diperlakukan tanpa kasih sayang seperti itu," lanjutku dengan air mata yang sebentar lagi akan jatuh.

“Harusnya kamu tidak berpikir lagi seperti itu. Tak ada yang lebih indah dari bersyukur atas hidup yang kamu jalani sekarang. Tanpa harus membenci ayah dan ibu, kamu masih bisa berterima kasih, tanpa mereka kamu tidak akan ada di sini saat ini,"  balasmu singkat lalu meneguk kopimu.

“Tanpa mengharapkan pelukan dan belaian dari mereka, aku berjuang mengatur kehidupanku hingga beranjak dewasa. Belajar menata semua kehancuran itu menjadi sebuah keutuhan diri yang mampu menghadapi kehidupan yang tak mudah. Ini benar-benar tidak mudah, hidup tidak lebih dari sebuah alur kehancuran yang searah.

Suasana rumah yang hancur, membawa kehancuran pada kehidupanku di luar rumah. Seperti kehadiranku yang mungkin tak pernah diinginkan ibu, aku tak diterima baik dalam lingkungan pergaulanku dengan teman-teman. “Anak pelacur”, itu yang paling sering aku dengar. Semuanya sama, apa pun yang mereka lakukan, apa pun yang mereka katakan, itu tidak lebih dari tanda mereka tak menginginkan kehadiranku. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ini titik tersulit, semua kekuatan yang aku kumpulkan dalam rumah hanya agar bisa sedikit lebih baik di luar rumah ternyata hancur begitu saja. Apa yang bisa diharapkan lagi, tidak ada sama sekali," kali ini air mataku tumpah.

Kamu memelukku erat, setahuku kamu adalah laki-laki yang paling tidak ingin melihatku menangis. Sore itu, di hadapanmu aku mencurahkan semuanya.

“Apa kamu tidak sadar, ada aku dan orang lain di sekitarmu yang masih peduli dan menyayangi kamu, Nai? Berhenti terpuruk seperti ini," katamu lagi.

“Tidak gampang, Sandy. Aku sering terjebak dalam situasi menyalahkan diri sendiri atas kenyataan hidup seperti ini. Berontak dengan segala yang aku jalani, mengutuk semua yang terjadi, membenci ayah dan ibu, membenci segalanya.

Aku sadar betapa sulit aku membangun relasi dengan teman-teman di sekitarku saat itu. Minder dan benar-benar tak mampu membangun rasa percaya diriku dalam banyak hal. Betapa kehidupan orang lain jauh lebih beruntung dari hidupku yang seperti ini . . .”

“Apa yang kamu pikirkan salah, Nai. Kehidupan orang lain belum tentu sebaik yang kamu lihat. Kamu harus sadar, semua yang ada di dunia ini sifatnya terbatas, kecuali kebahagiaan. Kamu berhak bahagia dengan hidupmu, tak ada yang membatasi itu.

Kamu bisa bahagia tanpa harus menunggu persetujuan orang lain. Kamu sendirilah yang membuat hidupmu tak bahagia. Malah pikiranmulah yang memenjaramu dan membuatmu tak bahagia. Tidak perlu ambil pusing dengan perkataan orang lain, kamu pantas bahagia," kamu membelai lembut rambutku, lalu mengusap air mataku.

“Tatap aku sekarang. Berjanjilah untuk tidak sedih lagi, Nai. Aku menyayangimu, aku akan selalu di sini untuk kamu," aku memelukmu erat. Aku benar-benar berubah setelahnya, kamu benar-benar membawaku pada keadaan yang jauh lebih baik.

...

Waktu bergulir begitu cepat. Tanpa rencana, aku dan kamu terpisah jarak. Semula semuanya biasa saja, sejak kamu menderita sakit parah itu aku seperti kembali pada diriku yang dulu, cengeng dan selalu saja menangis. Kamu menghubungiku terakhir kali seminggu sebelum kabar kepergianmu kudengar, aku masih ingat pesan singkatmu waktu itu,

Dari sebuah ruang kaca aku melihatmu di sebuah fragmen kenangan. Bersama lalu lalang orang kamu terlihat sendirian, berhias senyum di suatu siang. Mataku menembus tebal kaca, menghadirkan raga rindu di sebelahmu. Mengimpikan sembari terpejam, membisikkan kata-kata di dekat bahumu, “Jarak hanya mengatakan jauh, tapi perasaan selalu dekat dengan sebuah takdir”

Percayalah walau kau tak mendengar bisikku, bahwasanya jarak yang kau kutuki membuat semuanya terasa menyesakkan, padahal tidak. Kamu harus yakin bahwa aku di sini tetap bisa memandangmu dan menyadarkan kesahku, meski tidak langsung.

Memang waktu belum meringankan rindu kita, sudah kukatakan jangan terlalu banyak rindu, ia memberatkan. Cukup percayalah akan ada pukul berapa detik akan mempertemukan kita pada jam yang sama.

Sekarang semuanya berbeda, kamu curang dengan pergi secepat ini. Kamu pergi tanpa kembali, terpisah jarak tanpa titik temu. Meninggalkanku dalam kesedihan, tanpa kau kuatkan lagi. Aku harus belajar menerima kehilangan yang jauh lebih menyakitkan dari arti kehilangan mana pun.

“Akhir cerita denganmu tidak berarti akan menjadi awal untuk ceritaku yang baru dengan orang lain, aku masih di sini untuk kamu Sandy, selalu untukmu hingga waktuku pun tiba. Tenang dan bahagialah di alam sana," batinku.***

Kupang, 26 Juni 2019.

Baca Juga: [CERPEN-AN] Selalu Ada Maaf untuk Cinta yang Tidak Pernah Salah

Oswald Kosfraedi Photo Writer Oswald Kosfraedi

Selamat datang, saya abdiksi. Instagram @oswaldkosfraedi

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya