[CERPEN] Kita dan Kisah Tak Biasa

Aku denganmu adalah kisah ketidakbiasaan yang sengaja...

Kisah kita tak lain adalah kita cinta segitiga yang telah kita sepakati. Aku denganmu adalah sebuah kisah ketidakbiasaan. Semuanya tampak seperti kisah kebanyakan orang, nyatanya tidak demikian.

Tanpa pernah bertemu, kita sepakat untuk memulai semuanya. Awalnya kamu tidak lebih dari orang asing, waktu dan takdirlah yang membuatmu akhirnya menjadi penting. Tanpa sengaja kita terlibat dalam obrolan basa-basi, larut dalamnya, seperti itu setiap hari, hingga akhirnya merasa nyaman satu sama lain.

Sekali lagi ini adalah sebuah kisah ketidakbiasaan, kita saling mencintai dan menyayangi dalam cinta segitiga. Aku dan kamu sama-sama tahu itu. Hanya saja kita berusaha untuk tetap bersama dan melewati semuanya. Meski ada orang ketiga, kita masih saling menguatkan.

Aku belajar tidak peduli dengan kehadiran orang ketiga dengan selalu menyapamu di pagi hari, siang, sore hingga malam hari. Kamu pun sama, tak pernah sekalipun kamu lupa mengingatkanku untuk makan, menanyaiku di mana, tentu saja dengan siapa.

Meski menjalani kisah segitiga, khawatir, takut dan cemburu selalu ada dalam diriku, demikian pun kamu. Barangkali kita sama-sama takut akan kehadiran orang keempat. Kita telah mengakhiri ketidakbiasaan itu ketika kita bertemu pertama kali di akhir Juni. Sejak itu hanya ada kita berdua dan waktu-waktu berikutnya kita selalu bertemu.

Juli menginjak harinya yang kedua belas pada pertemuan kita yang ketujuh, seingatku demikian. Baiklah kita sepakat untuk melakoni cerita kita kali ini di tempat yang berbeda, di sebuah bukit yang selalu ramai dikunjungi.

Tempat ini biasa saja, sungguh. Tak ubahnya tempat lain, ia indah karena ada kamu di sampingku dan kita bersama mencipta kisah dan kenangan di sini. Berulang-ulang aku mengarang cerita soal jalan menuju langit ketujuh atau pintu menuju masa depan, lalu kamu tersenyum dan tertawa sebentar, ah itu menyenangkan. Itu yang aku bawa pulang: senyum dan tawamu, lalu kukenang sebelum mataku terpejam.

Semakin ke puncak, kita diterpa angin yang lebih kencang. Kita tidak selalu baik-baik saja, kita punya banyak tantangan. Bukankah hari itu, angin kencang itu tidak kita pedulikan karena hangat kebersamaan kita jauh lebih terasa. Lagi-lagi kita hanya perlu bersama. Bersama kita tidak peduli lelah.

Bersama kita tidak ambil pusing dengan medan yang tak gampang. Apa yang susah akhirnya indah, bukan karena yang kita tuju itu indah adanya. Kita sepakat kalau puncak itu biasa saja. Bersamalah yang membuatnya indah.

Tentang bahagia. Siapa tahu ukuran pasti bahagia itu seperti apa. Kita dan mereka hanya bisa memberi definisi sebisanya tanpa kepastian, tapi detik itu kita merasakannya. Bahagia sesederhana itu, berada di dekatmu dan menikmati setiap detik itu bersama.

"Jarak memang senang menyuguhkan rindu, kamu jauh, rinduku berantakan. Kamu harus pulang merapikannya, tanggung jawab, kamu yang bikin merindu, jarak cuma alasan," selalu itu yang kamu katakan. Bukankah aku telah pulang merapikan itu? Bahagialah.

Esok hari, biarkan aku menjamah jemarimu, memeluk erat kamu dan mengecup keningmu mesra. Percayalah, di hari lalu, hari ini, dan dalam lembaran kisahku, bahagiaku selalu tentangmu!

**

Di hadapanku Naila tampak tak seperti biasanya. Meski telah berulang kali aku berusaha mendapat perhatiannya, ia masih diam saja. Naila bahkan tak memberitahuku sedikit pun apa masalahnya

"Kamu curang," katanya memecah keheningan yang merambat di antara kami.

"Curang?" tanyaku sedikit aneh.
Ia lalu mengubah posisi duduknya dan membelakangiku.

"Kalau pulang hanya sebentar saja, lebih baik kamu tidak usah pulang," katanya lagi. Kali ini aku paham, ia masih memikirkan perpisahan yang sebentar lagi terjadi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku berdiri lalu duduk di sampingnya
"Nai, aku harus pulang. Ini demi kebaikanku dan kuliahku."

Naila hanya diam. Lalu seketika hening kembali merambat di antara kami.
Aku memeluknya erat, kubiarkan hangat pelukku menguasainya.

“Bersiaplah untuk esok hari tanpa aku lagi. Cukup yakin saja, jarak cukup adil memisahkan kita dan mencipta waktu untuk kita bersama."

Naila memelukku.

“Jaga dirimu di sana baik-baik. Aku akan selalu merindukanmu. Aku percaya kita bisa menjalani semuanya dengan baik, meski kita terpisah jarak yang membentang. Jangan nakal dan jangan pernah lupa, di sini ada hati yang selalu menunggumu pulang.”

“Nai, aku janji. Percayalah aku tidak sedang bercanda ketika aku berulang kali menyebut namamu dalam doa kecilku."

Hari itu Naila nyaman dalam pelukku, antara sedih dan bahagia, aku benar-benar tak mengetahui isi hatinya. Bahagialah jika bersamaku di sini hari ini dan kebersamaan di hari lalu sungguh membuat hatimu tenang.

Jangan bersedih bila jarak akan kembali terbentang di antara kita, pergiku akan selalu menghadirkan kepulangan, meski aku dan kamu harus menunggu dengan sabar.

“Nai, tidak perlu takut. Kita sudah cukup terbiasa menjalani kisah segitiga."
Kamu melepaskan pelukanku seketika, raut wajahmu berubah.

“Maksud kamu?”

“Ya, cinta segitiga: aku, kamu dan jarak,"

Naila memelukku erat.

“Jarak memang senang menyuguhkan rindu, kamu jauh, rinduku berantakan. Kamu harus pulang merapikannya, tanggung jawab, kamu yang bikin merindu, jarak cuma alasan," katanya lembut.

“Aku belum pergi Nai. Masih ada waktu beberapa jam sama kamu," Kataku sedikit tertawa.

Naila hanya tersenyum, begitu manis. Aku mengecup keningnya mesra.

Juli 2019.

Baca Juga: [CERPEN] Sebuah Cerita Tentang Melodi

Oswald Kosfraedi Photo Writer Oswald Kosfraedi

Selamat datang, saya abdiksi. Instagram @oswaldkosfraedi

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya