Biarkan Desember Lewat dan Berlalu

Tolong bangunkan aku jika Desember telah lewat...

Sumirja membuka pintu kamar dengan lesu. Wajahnya begitu pias dan pundaknya begitu luruh. Ia membungkukkan tubuh, menyeberangi kamar kecilnya lalu menjatuhkan tubuhnya yang limbung ke atas kasur kapuk tanpa seprai di pojok ruangan itu. Ia sengaja tidak menyalakan lampu. Ia sedang tak butuh apapun sekarang, bahkan seberkas sinar sekalipun.

Lelaki dua puluh tiga tahun itu menyilangkan satu tangannya ke wajah, menutupi kedua mata. Seakan tindakan itu bisa menghalau ingatan beberapa waktu yang lalu, ketika Rani menyerahkan surat undangan di depan proyek tempat kerjanya. Kepala Sumirja bergerak. Mata nanar lelaki itu mengintip dari balik tangan gempal-gelapnya yang menutupi wajah. Memandang langit-langit kontrakannya, yang di beberapa sudut membentuk sebuah pola akibat rembesan air hujan. Tanpa sadar air mata mengalir dari sudut mata. Sumirja membalikkan tubuh, menenggelamkan wajah legamnya di balik bantal kempes berbau apek.

"Dik Rani, apa yang harus Abang katakan pada orangtua di kampung?" batin Sumirja menggema di ruangan pengap itu.

Wajah gadis itu terbayang-bayang lagi dalam benaknya. Gadis manis yang begitu tega mencampakkannya ketika seorang pekerja konveksi mulai menunjukkan perhatian. Padahal ia sudah menjalin kasih dengan Sumirja. Berkali-kali Sumirja memohon untuk kembali, tapi gadis itu enggan menanggapi. Berkali-kali Sumirja membujuknya dengan segala yang ia punya, tapi gadis penjaga warung tegal itu tetap bergeming. Sumirja frustrasi. Apa yang harus ia katakan pada orangtuanya? Padahal ia sudah mengajak gadis itu pulang ke kampungnya lebaran kemarin. Bahkan mereka sudah merencanakan pernikahan.

Sumirja bangkit. Menarik-narik rambutnya yang kasar. Kepalanya terasa penat. Rasanya ia ingin membenturkan kepalanya ke tembok kontrakan, agar hilang rasa sakit itu. Agar hilang segala kenangan indah tentang Rani. Dilihatnya kantong plastik putih persediaan obat. Diambilnya selembar obat penghilang sakit kepala milik teman sekamarnya.

Sumirja merobek kemasan obat itu, lalu menelan sebutir tablet. Meminum air dalam gelas yang entah milik siapa. Ditatapnya cairan bening dalam wadah beling yang masih bergoyang. Pikirannya menerawang pada senyum manis si gadis warteg. Sumirja menangis lagi. Sementara sakit kepalanya tidak mau hilang.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Dik Rani, abang harus bagaimana supaya Adik mau kembali sama Abang?" Sumirja bergumam sendiri.

Ia memandangi tablet-tablet warna putih yang masih terbungkus blister plastik transparan. Air mata Sumirja terjatuh ketika ia mengeluarkan sebutir tablet lagi lalu mengunyahnya tanpa rasa.

"Dik Rani ... Dik Rani ..." Disebutnya nama itu dengan begitu lirih sambil memeluk blister obatnya. Lelaki itu mengeluarkan semua tablet dari kemasan, lalu menghitung dengan caranya sendiri.

'"Dik Rani sayang, Dik Rani tidak sayang, Dik Rani sayang, Dik Rani tidak sayang ..." Sumirja terlihat semakin frustrasi dalam hitungan terakhirnya.

Ia meraup tablet-tablet itu dan memasukkan semua ke dalam mulut. Obat itu terasa pahit di lidah. Tapi tidak lebih pahit dari perasaan hatinya kini. Sumirja mengunyahnya pelan-pelan karena beberapa giginya telah tanggal sebelum waktunya. Ia melamun lagi mengenangkan si gadis pujaan yang hatinya telah dibawa orang. Hingga perasaan tidak nyaman itu mulai datang mencengkeram dadanya.

Sumirja meraih handphone lalu membuka akun sosial medianya.Dengan tangan gemetar diketiknya sebuah status. Lalu ditaruhnya handphone di sisi pembaringannya. Matanya perlahan menutup sementara dahinya mulai basah oleh keringat. Status yang ia ketik tadi mulai ter-upload.

Tolong bangunkan aku jika Desember telah lewat...

Beberapa like dan komen mulai singgah di sana.

Patrianur Patria Photo Writer Patrianur Patria

Perempuan hujan sejuta warna.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya