Titip Cinta Untuk Ibu

Kasih ibu tiada terkira.

Ibu menghilang .... Berita yang kudapat dari kakak membuatku tak konsen lagi bekerja.

Akhirnya, setelah meminta izin pada atasan, Aku segera pulang. Untunglah bosku begitu pengertian terhadap anak buahnya yang mudah panik ini.

Pikiranku menerawang dalam angkot yang membawa pulang. Tadi pagi sebelum berangkat, aku sempat bertengkar dengan kakak. Meributkan siapa yang akan menjaga ibu ketika aku bekerja.

Sebenarnya aku jenuh, setiap hari selalu meributkan siapa yang akan menjagai ibu. Seperti tadi pagi. Kami sempat berdebat beberapa lama.

"Ya sudah, taruh saja ibu di panti jompo!" sengitku akhirnya, setelah mendengar berbagai alasan Kak Ningsih yang enggan menjagai ibu.

Seseorang menyibakkan tirai kamar. Bau minyak angin menyergap hidung samar-samar. Aku terdiam.

Apakah ibu mendengar kata-kataku tadi? Sungguh, aku tidak bermaksud melukai hatinya. Mana mungkin aku tega mengirim ibu ke panti jompo. Aku mengucapkannya karena kesal pada kakakku yang tinggal seorang itu.

"Nan ...," panggil ibu dengan suaranya yang melindap. Kakak segera menghampirinya sambil tersenyum lebar.

"Bu, Ningsih ngga bisa jagain ibu hari ini, ya. Ada penutupan pengajian." Perempuan dengan rambut tipis yang telah memutih itu hanya mengangguk lalu menoleh padaku.

"Nani berangkat kerja saja. Ibu ngga apa-apa kok, di rumah sendirian," ucapnya lembut.

"Tapi ngga ada yang jagain Ibu." Aku betul-betul khawatir jika harus meninggalkannya seorang sendiri di rumah.

"Ngga apa-apa," sahutnya. Aku mengembuskan napas dengan kesal. Lalu masuk ke dalam kamar. Tidak lama Ibu mengikuti, lalu duduk di tepi ranjang.

"Nani marah, ya?" tanya ibu sambil memperhatikanku berganti pakaian.

"Iya," sahutku ketus.

"Nani kesal sama Kak Ningsih." Ibu hanya terdiam sambil memperhatikan anaknya bersiap-siap. Setelah memakai bergo lebar yang berwarna ungu, aku meraih tas, dan memakai sepatu, lalu mencium tangannya tanda pamit berangkat kerja.

Aku mendorong pintu pagar, lalu berjalan keluar. Aku bisa merasakan ibu yang masih memandangi punggungku yang menjauh sampai hilang di balik belokan. Karena itu yang biasa ia lakukan setiap pagi, ketika melepasku pergi bekerja.

Kakakku? Entah sudah menghilang ke mana orang itu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

***

Aku tersadar dari lamunan ketika sampai di tujuan. Segera kubayar ongkos dan turun dari angkot. Lalu berjalan menyusuri sebuah taman bermain. Dari jauh kulihat ibu sedang duduk sendirian sambil memperhatikan seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya. Aku bergegas menghampiri.

"Bu ...," panggilku begitu sampai di dekatnya. Seraut wajah tua penuh keriput mendongak. Sejenak ia menatapku dengan matanya yang telah melamur. Sebuah senyum semringah muncul ketika menyadari kehadiranku.

"Kok tahu ibu di sini?" Ia tersenyum di antara giginya yang rumpang. Ya, hanya aku yang tahu tempat favoritnya ini. Sebuah taman bermain yang sudah ada sejak kukecil. Meskipun dulu hanya berupa tanah lapang di pinggir sungai.

Dulu, ibu pernah mengajariku bermain sepeda di sini. Sekarang taman bermain ini sudah dipenuhi beberapa permainan anak-anak, seperti ayunan dan jungkat-jungkit. Di sekelilingnya pun ditanami banyak bunga dan pepohonan rindang. Di sebelahnya terdapat sebuah sungai. Beberapa remaja membelah sungai menggunakan perahu kano. Mereka sibuk berlatih karena seminggu lagi akan diadakan festival hari ulang tahun kota.

"Ibu ngapain di sini?" Ia terdiam. Wajahnya berubah sendu.

"Ibu marah ya sama Nani?" tanyaku lagi sambil duduk di sebelahnya.

"Ibu ngga marah kok. Ibu cuma ngga mau ngerepotin Nani." Sejenak hening di antara kami.

"Nan," panggil ibu setelah lama terdiam. "Ibu mau di kampung saja." Aku tertegun mendengar kata-kata tersebut.

"Di sini Nani kerja mulu. Ibu kesepian ...." Suara itu terdengar mengambang.

"Kalo Nani ngga kerja, nanti Ibu ngga bisa minum obat, Bu."

Aku dan kakak patungan setiap bulan untuk membeli obat jantung bagi ibu. Karena itulah aku masih bekerja meskipun telah melewati masa pensiun.

"Nani ngga usah kerja lagi, ya. Ibu ngga minum obat juga ngga apa-apa. Ibu cuma pengen ditemenin aja sama Nani." Suara ibu yang melindap terasa menusuk hati. Aku mencoba menahan tangis. Teringat setiap malam sehabis pulang bekerja, ibu akan menyiapkan teh hangat lalu memijat kakiku hingga anaknya ini tertidur.

"Bu, Nani minta maaf ya. Tadi Nani kesal sama Kak Ningsih, jadi ngomong begitu. Ngga mungkin Nani kirim ibu ke panti jumpo ...." Ibu tersenyum.

"Sudah Ibu maafkan. Jauh sebelum Nani minta maaf."

Tangan keriputku meremas jemari ibu. Rasanya ingin kuciumi hingga tumpah seluruh airmata ini di jemarinya yang telah kisut.

"Pulang yuk, Bu. Sudah sore." Ibu mengangguk. Aku membantunya bangkit. Berjalan meninggalkan taman.

Beberapa pasang mata menoleh sekilas, tersenyum ketika melihat sepasang nenek bergandengan tangan, pulang ke rumah mereka.

Patrianur Patria Photo Writer Patrianur Patria

Perempuan hujan sejuta warna.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya