[CERPEN] Bumi Membumi

Biarlah raga ini menjadi satu dengan sang Ibu

Namanya Bumi. Penduduk bilang dia pembuat onar. Tapi aku tahu, dia hanya terlalu mencintai tanah kami, tanah yang kami pijak ini.

Penduduk bilang dia orang aneh. Dia tak lagi punya kerabat. Tidak bekerja dan selalu berkeliaran. Ke jalanan kampung, ke sungai, ke hutan. Makannya buah-buahan hutan, minumnya mata air dan dari buluh-buluh tumbuhan. Meskipun pakaiannya bersih, tak pernah kulihat sekalipun dia mengenakan alas kaki. Sewaktu kutanya, katanya, ”Aku nggak suka, Sri. Kalau kakiku ini tidak menyentuh permukaan tanah, rasanya aku kehilangan sesuatu. Aku jadi tidak bisa mendengar tanah ini berbisik lewat kakiku.”

Bumi tak banyak bicara, bahkan denganku yang sudah mengenalnya sejak kami masih kanak-kanak. Namun, dia begitu emosi jika melihat penduduk desa kami membuang sampah sembarangan, terutama ke sungai. Pernah suatu kali, Bumi melihat seorang pemuda membuang kantong plastik bekas minuman dan bungkus rokok ke sungai kecil yang membelah desa kami.

Dia langsung mendatangi pemuda itu sambil marah-marah. Tak terima dimarahi, pemuda itu meraih parang dan hampir membacoknya. Untung perkelahian itu berhasil dilerai oleh beberapa warga yang kebetulan ada di tempat kejadian.

Dia juga bersungut-sungut ketika melihat ibu-ibu mencuci di sungai menggunakan deterjen. Dia merutuki mengapa barang-barang dari kota sampai di desa kami yang terpencil ini. Dia juga membenci mobil-mobil pengangkut yang masuk ke desa kami tiap minggu yang meninggalkan jejak asap knalpot yang berbau menyengat. Dia begitu sering membuat keributan gara-gara hal kecil seperti itu, sampai-sampai kini semua orang di desa mencibirnya, “Orang gila!” Namun, dalam hati aku setuju dengannya, meski aku tak berani berbuat seekstrem itu.

Suatu hari, Bumi tergesa-gesa menghampiriku. “Sri, lihat apa yang aku temukan di hutan.” Dia membuka genggaman tangannya dan memperlihatkan sebongkah kerikil berwarna keemasan. “Ini apa?”

“Itu warnanya seperti perhiasan yang dipakai Bu Lastri, Mi! Juragan yang suka memasok barang ke kampung kita. Mungkinkah ini emas? Kamu temukan di mana, Mi?”

“Nggak tahu, Sri. Aku malah belum pernah lihat emas. Aku menemukannya di sungai kecil tengah hutan, saat sedang minum. Ini, ambil. Untukmu saja. Aku tidak perlu.” Aku memandangi batu keemasan yang kini ada di tanganku. Aku harus memastikannya.

Saat Bu Lastri datang ke kampung mengantarkan bahan-bahan pokok ke kampung kami, aku memberanikan diri menghampirinya dan menunjukkan temuan Bumi.

“Wah, nemu di mana kamu?” Dia mengamati lekat-lekat batu keemasan itu.

“Bukan saya, Bu. Bumi yang menemukannya. Katanya, di sungai kecil tengah hutan, Bu.”

“Hmm… Sri, aku nggak bisa memastikan sendiri ini emas asli atau bukan, harus kubawa ke kota. Bagaimana?”

“Waduh, jangan dibawa, Bu. Itu pemberian Bumi.”

“Sri, tak kandakno. Kalau ini benar-benar emas, kamu bisa kaya. Keluargamu bisa makan enak. Lagipula, mungkin saja di hutan itu ada sumber emas yang nantinya bisa dinikmati penduduk kampung. Kampung ini bisa makmur, Sri! Nggak seperti sekarang, rumah semuanya dari gedhek. Sri, ini demi kampungmu, nggak boleh egois.”

“Ya sudah, saya manut Ibu saja. Kalau memang itu bisa membawa kemakmuran di desa ini, saya ikhlas, Bu.”

“Oke, aku bawa dulu ya. Minggu depan aku ke sini lagi untuk nyetok barang. Saat itu bakal kukabari.”

“Nggih, terima kasih, Bu.” Kendaraan Bu Lastri pun menghilang dari pandangan.

***

Minggu berikutnya, Bu Lastri kembali datang menaiki mobil pikapnya bersama sopirnya. Dia langsung menghampiriku dengan wajah semringah. “Sri, aku punya kabar gembira. Ternyata batu yang kamu berikan minggu lalu itu memang emas! Emas murni, Sri! Ini, ambil.” Dia menjejalkan segepok uang ke dalam genggamanku. “Itu hasil penjualan emas kemarin. Lumayan, lho, beratnya 6 gram. Kamu bisa beli baju baru, beli daging, bisa kamu tabung juga, Sri. Itu sudah kupotong untuk komisiku,” katanya sambil terkekeh.

“Tapi, saya kan tidak bermaksud menjualnya, Bu.”

“Sudah, emas itu jauh lebih berharga kalau jadi duit, bisa kamu belanjakan macam-macam.” Aku mengangguk setuju, dan bergegas mengabarkan berita ini pada ibu bapakku.

***

Tak butuh waktu lama sampai berita tentang penemuan emas itu menyebar ke telinga seluruh penduduk desa. Mereka meninggalkan ladang, ternak, warung dan rumah mereka untuk berbondong-bondong pergi ke hutan. Tak seorang pun pergi dengan tangan kosong, tangan-tangan mereka menggenggam cangkul, palu, parang, pahat, wajan, besek, apapun yang sekiranya bisa membantu pekerjaan mereka.

Dalam sekejap, hutan itu dipenuhi penduduk yang sibuk membabat hutan, memecahkan batu, dan menggerus bantaran sungai. Ekspresi tamak begitu nampak di setiap pasang mata yang berkilat-kilat menatap cahaya keemasan dari batu mulia yang mereka temukan di balik pecahan bebatuan dan sungai yang mengeruh.

“Apa-apaan ini!? Hentikan!” Bumi menyerbu gerombolan itu dengan histeris. Matanya basah. “Sakit! Stop! Jangan lukai Ibu! Ibu! Ibu!”

“Pergi sana, Sinting!”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Minggat!”

“Asu!”

“Jangan ganggu! Dasar wong edan!”

“Bajingan! Tak pateni Kowe!”

Penduduk yang terusik mulai kalap dan mengeroyok Bumi yang tetap gigih melawan meski tahu tak ada gunanya. “Kenapa kalian sakiti ibuku, Bajingan?!”

Namun, suaranya tenggelam dalam amukan orang-orang. Entah siapa yang memulai, parang-parang dalam genggaman mulai menebas liar. Aku yang melihat hal itu langsung berusaha menerobos kerumunan, berteriak memanggil-manggil Bumi. Dan sekelebat palu terayun ke arahku. Gelap.

Aku merasakan nyeri hebat di kepalaku. Pandanganku buram. Perlahan aku mengenali sosok di depanku. Bumi. Dia terbujur di kubangan darah dengan tubuh yang tak lagi utuh, menatap orang-orang yang kini telah mundur selangkah.

“Kalian… tega pada ibuku…” Tertatih ia berbisik, tersengal di antara napas dan darah. Merangkak aku, berusaha meraih tangannya.

“Sri…”

“Bumi… Bumi, maafkan aku... maafkan kami.”

“Sri,” Dia terbatuk. “Ibuku. Aku mendengarnya berbisik, Ibu bilang aku boleh bersatu dengannya. Jaga dirimu.”

Aku terisak.

“Sri goblok! Ngapain kamu membela orang gila ini, hah?!”

“Tunggu, Kang. Kalau dia mati, kita semua bisa ditangkap polisi.”

“Kalau ini sampai menyebar ke luar desa, bisa gawat.”

“Bakar saja mayatnya, Kang!”

“Betul, selama seluruh warga tutup mulut, tidak akan ada yang tahu. Dia bukan siapa-siapa, cuma orang gila. Tak punya siapa-siapa. Tak ada yang peduli. Tak ada yang nyari.”

“Betul!”

“Bakar! Bakar!”

Mereka mulai menuang sisa minyak tanah pada obor-obor mereka ke tubuh Bumi. Namun, yang kulihat berikutnya sungguh di luar dugaan. Mata Bumi kembali membelalak, memandang kerumunan itu dengan tatapan yang menusuk. Dia bergerak. Tidak! Dahan pohon raksasa tempatnya bersandar yang bergerak, mengangkat tubuh Bumi dan membenamkannya ke dalam batang pohon itu, mulai dari kaki, sementara tatapan Bumi bergeming ke arah penduduk kampung yang wajahnya kini dipenuhi kengerian. Mereka mulai berteriak-teriak ketakutan ketika akar-akar pohon bermunculan dari permukaan tanah dan mulai menjerat kaki-kaki mereka. Meremukkan mereka.

***

Aku tersadar. Dua lelaki berseragam duduk di hadapanku, salah satunya menyodorkan teh hangat. “Apa kamu mengingat apa yang telah terjadi?” Aku menggeleng lemah. Sayup aku mendengar beberapa orang berkasak-kusuk di ruang sebelah.

“Bagaimana mungkin satu desa menghilang dan berubah jadi hutan dalam semalam?”***

 

Sayangi hutan, sayangi bumi.
Alam tak membutuhkan manusia, manusialah yang membutuhkan alam.

Yogyakarta, 26 Oktober 2013

Baca Juga: [CERPEN] Maaf, Aku Tidak Ingin Kembali

Handaka Pratama Photo Writer Handaka Pratama

Penyuka game dan gadget, kadang-kadang juga menulis cerpen kalau dapat ilham.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya