[CERPEN] Sepotong Senja di Atas Beranda

Terima kasih atas pertemuan yang singkat ini

Senja itu, tanpa sengaja mataku beradu dengan gadis di beranda sebelah, ketika aku hendak memandang langit yang kemerahan dari balik jendela. Gadis itu menyunggingkan senyum. Hangat. Dan kali itu aku membalas senyumannya dan beranjak menuju beranda.

“Hei, ngeliat senja juga?” sapanya. Aku hanya mengangguk. “Beautiful, isn’t it?

“Yeah.”

“Oya, nama kamu sapa?”

“Apa nama saya penting?”

“Penting lah. Gimana caraku manggil kalo aku ga tau namamu?” ujarnya jenaka.

“Bukankah ketika seseorang menanyakan nama orang lain, dia harus terlebih dulu menyebutkan namanya sendiri?”

“Ups, sori. It’s Senja.”

“Serius?”

“Mm-hm, kenapa? Lucu ya? Senja menatap senja? Hehe.”

“Nicholas. Tapi panggil saja Ola.”

“Ola? Unik. Hihi.” Katanya sambil nyengir. “Oya, Ola. Kamu baru pindah ya? Seingatku beranda itu selalu kosong.”

“Udah sebulan. Saya juga ga pernah keluar. Mungkin itu sebabnya kamu ga pernah lihat saya.”

“Kenapa begitu? Anak-anak kompleks sini asik tau. Kamu ga bakal bosen maen sama mereka.”

“Malas.”

Keningnya mengernyit. “Kok kamu kayak menarik diri gitu sih? Kenapa La?”

“Itu bukan urusanmu.”

Senja terdiam. “Sori.”

“Ah, maaf. Saya ga bermaksud kasar.”

“It’s okay. Akunya juga kadang terlalu cablak sih. Maaf ya. Aku cuma butuh teman ngobrol.”

“Kenapa ga main sama anak-anak kompleks??

“Aku ga bisa.”

“Kenapa ga bisa?”

“Aku ga bisa bilang. Maaf.”

“Hm. Yah, semua orang punya rahasia masing-masing.”

“Yeah.” Dan kami pun hanya terdiam memandang senja.

Mendadak mataku pedih menatap senja yang merekah merah di antara semburat mega. Entah bagaimana, hati ini begitu sesak oleh kenangan yang lama kusimpan sendiri. Kenangan itu mendesak keluar, meminta untuk ditumpahkan.

Seolah membaca isi hatiku, Senja menatapku. Teduh. Begitu teduh. Pandangan paling menenangkan yang akhirnya aku rasakan setelah bertahun-tahun. Lalu ia berkata lembut, “Udah Ola, keluarin aja. Ga usah ditahan lagi.”

Dan kenangan pahit itu meluncur begitu saja dari mulutku. Tumpah ruah seperti muntah yang telah kutahan sekuat tenaga begitu lama dan tak sanggup kutahan lebih lama lagi. Entah kenapa aku justru menumpahkannya kepada gadis ini, seseorang yang baru kutemui beberapa saat yang lalu. 

***

Ketika aku tinggal di kompleks rumah susunku yang lama, aku memiliki seorang sahabat dekat. Namanya Agni. Aku terlambat menyadari bahwa ia adalah gadis yang sangat-sangat tegar, setegar api yang selalu setia memberikan cahaya dan kehangatan bagi sekelilingnya, seperti namanya. Ia hanya hidup bersama ibunya, setelah ayahnya meninggal saat kami sama-sama baru masuk SMA. Ke mana-mana kami biasa bersama. Seiring waktu, aku menyadari bahwa aku ingin selalu ada di sampingnya untuk melindunginya.

Aku sering berkelahi. Bukan karena aku suka mencari masalah, aku hanya tak sudi diremehkan. Aku berpikir, jika aku tak mampu melindungi diriku sendiri, mana mungkin aku bisa melindungi orang yang aku kasihi. Aku berkelahi hampir di mana saja. Tak jarang beberapa lawanku yang pengecut dan rendah membawa teman mereka dan mengeroyokku. Tentu aku tidak lari dan berusaha merobohkan mereka sebanyak mungkin. Kalau sudah begitu, Agnilah yang kerepotan menyeka darah dari wajahku yang babak belur.

"La, aku juga ingin jadi orang yang tangguh sepertimu, bisa melindungi diriku sendiri dan orang lain, berdiri dan berlari dengan kakiku sendiri," ujarnya suatu ketika.

"Kamu pasti bisa, Agni. Kamu kan kuat," kataku. Tapi ucapanku itu selamanya hanya menjadi harapan, karena aku begitu tolol sampai tidak menyadari bahwa Agni sebenarnya sekarat. Aku tak pernah tahu dia diam-diam menyeka hidungnya yang meneteskan darah di belakangku dan bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Dan hari itu, ketika kami berdua sedang berjalan berdua pulang dari sekolah, tubuhnya mendadak limbung. Dia tak sadarkan diri dan dari lubang hidungnya yang bangir itu menetes darah segar. Aku panik dan membopongnya, berusaha mencapai rumah sakit yang kebetulan tak begitu jauh dari situ. Kupaksakan seluruh ototku untuk tak mengacuhkan lelah dan peluh yang menetes ketika kakiku berlari menyusuri kakilima. Yang kurasakan saat itu adalah Agni membutuhkan bantuan sesegera mungkin. Aku tak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai sesuatu terjadi padanya.

"Jangan… jangan ke rumah sakit…," Agni berbisik lemah dari balik punggungku.

"Enggak! Pokoknya kamu harus ke sana!" 

"La… jangan… nanti ibuku cemas. Tolong bawa aku pulang, La… Aku mohon…" 

Aku menghentikan langkah, meski tempat yang kami tuju hanya tinggal berjarak puluhan meter. Aku berbalik. Pulang.

"Makasih, La…" 

Aku tak sadar, hari itu akan menjadi hari yang akan kusesali seumur hidup.

Siang hari berikutnya sepulang sekolah, aku bermaksud melihat keadaan Agni di rumahnya. Namun ketika aku mencapai pintu rumahnya, Tante Reni, ibunya, tergesa-gesa keluar dari rumah. Kepanikan tampak jelas terlihat dari raut mukanya.

"Ola! Tolong tante, sesuatu terjadi sama Agni! Tante sudah menggedor-gedor pintu kamar mandi dan memanggilnya berkali-kali, tapi Agni nggak jawab sama sekali… Tante takut terjadi apa-apa sama Agni… Tolong, La!" 

Aku bergegas masuk ke dalam rumah, menuju kamar mandi yang letaknya di belakang. Pasti ada hubungannya dengan kejadian kemarin siang, pikirku.

"Agni! Agni! Jawab aku, Agni!" Aku menggedor-gedor pintu dengan kuat, tapi tetap tak ada respons apapun dari dalam sana. "Maaf, Tante. Biar saya dobrak pintunya." Dengan sekali sentakan, daun pintu aluminium itu terbuka. Sedetik aku terpaku memandang tubuh Agni yang terbujur di lantai basah. Dari hidungnya mengalir darah segar, yang segera disapu air yang berubah merah dan mengalir cepat ke lubang pembuangan.

Kurenggut handuk yang menggantung di balik pintu untuk menyelimuti tubuh Agni dan kugendong ia ke arah tempat tidur diikuti Tante Reni. Ia nampak begitu pucat dan lemas. Tante Reni memakaikan Agni pakaian seadanya. Kami berlomba dengan waktu.

Taksi yang kami tumpangi melesat mendahului kendaraan lain. Agni belum juga siuman. Sial. Macet! Kami terjebak di antara lautan kendaraan yang merayap lambat sementara waktu mengalir cepat. Aku mulai kehilangan harapan.

"Rumah sakit udah dekat, kalo saya motong jalan lewat gang itu pasti cepat. Biar saya gendong Agni, Tante!" Aku keluar dari taksi dan berlari secepat mungkin dengan Agni di punggungku. Sementara Tante Reni tertinggal jauh di belakang. Tinggal beberapa ratus meter lagi, beberapa ratus meter terpanjang dalam hidupku.

Bedebah-bedebah busuk itu nongkrong di mulut gang dan menghadang kami, padahal kami hampir keluar dari gang itu. Pemimpin gerombolan itu Gondrong, lawan yang pernah kurontokkan giginya waktu aku terlibat perkelahian dengannya.

‘Minggir! Temen gue sekarat!’

‘Sombong amat lo!’ Dia langsung menyarangkan tinjunya telak di ulu hatiku. Aku tersungkur dan gerombolannya mulai mengeroyokku. Tendangan demi tendangan mendarat di tubuhku yang menjadi perisai hidup Agni.

‘HEI! Kalian apain anak saya?!’ Tante Reni yang berhasil menyusul kami menjerit-jerit dan menarik perhatian warga sekitar gang. Gondrong dan gerombolannya pun kabur. Aku langsung bangkit dan kembali menggendong Agni di punggungku, melupakan rasa sakit karena Agni sedang berjuang melawan sakit yang lebih dari ini. Lukaku sama sekali tidak seberapa.

Aku dan Tante Reni duduk menunggu dengan cemas di koridor suram rumah sakit. Kami membisu, tak ada yang berkata-kata walau untuk sekadar menenangkan. Tak satupun dari kami yang mengerti kondisi Agni sekarang. Pintu ruang IGD terbuka dan keluarlah seorang pria dengan jas putihnya. Ia menggeleng lemah. Di samping tubuh Agni yang tak lagi bernyawa, kaki Tante Reni langsung lumpuh dan ia pun bersimpuh, menangis sejadi-jadinya. Tangisnya menyayatku. Aku beranjak pergi karena tak sanggup menahannya. Mataku basah. Agni… Aku berlari menyusuri kakilima. Tujuanku satu, mencari gerombolan tadi.

Ketemu. Mereka masih nongkrong tak jauh dari tempat kami berpapasan.

‘Eh, lo lagi, belum puas sama yang tadi? Sini lo!’ Kubiarkan mereka menyeretku ke sudut gang yang jarang dilalui orang. "Siap-siap mampus aja lo!" Tapi kali ini situasinya berbeda. Aku meninju mulut Gondrong sekuat tenaga sampai ia terjengkang. Aku kalap sudah. Bogem mentah mendarat bertubi-tubi sampai wajahnya tak berbentuk. Teman-temannya berusaha melepaskan Gondrong dari sergapanku. Mereka melayangkan pukulan dan tendangan, tetapi aku bergeming. Mereka justru kabur satu per satu karena nyali mereka ciut melihat keberingasanku. Gondrong berusaha meraih sesuatu dari balik sakunya. Sebilah pisau. Dalam keadaan terdesak, ia langsung mengarahkan pisaunya ke wajahku. Tapi berhasil kutangkis dan kubalikkan serangannya ke arah lehernya. Pisau yang ia genggam itu pun menembus tenggorokannya. Begitu sadar, aku mendapati diriku berkubang di lautan darah.

***

“Dia mati di tangan saya. Saya ditangkap dan ditahan selama proses peradilan, tetapi lantas dibebaskan karena saya dianggap membela diri pada perkelahian itu. Tapi saya tetap pembunuh. Dan saya telah menghilangkan dua nyawa. Andai saja waktu itu saya terus dan gak berbalik, mungkin Agni masih hidup sampai sekarang. Belakangan itu saya tahu, Agni mengidap aneurisma otak dan terjadi perdarahan di otaknya. Dan selama itu dia menyembunyikan penyakit parahnya dari kami, dengan tegar seolah dia sehat-sehat saja. Saya gak bisa memaafkan diri saya sendiri.”

Senja termenung.

“Entah bagaimana, saya bisa cerita semua ini ke kamu. Semua yang selama ini saya pendam sendiri sampai rasanya dada ini sesak mau pecah. Siapa sebenarnya kamu, orang asing yang justru bisa saya percaya untuk menumpahkan semuanya?”

Gadis itu tersenyum. “Besok mungkin kamu akan tau. Besok tunggu aku di sini ya, La. Saat senja memerah seperti hari ini,” ucapnya lembut. Ia beranjak meninggalkan balkon. Sebelum masuk ia sempat melongok lagi ke arahku. “Oh iya, Ola, makasih ya!” Ia tersenyum sekali lagi dan menghilang.

Terima kasih? Terima kasih untuk apa?

***

Sore berikutnya, sesuai janji aku menunggu Senja di atas beranda yang sama. Tapi sampai senja itu meredup, ia tidak juga nampak. Apa yang terjadi? Bukankah hari ini ia akan menjawab pertanyaanku? Akhirnya aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Rasa penasaran yang aneh telah meruntuhkan benteng diriku. Benteng yang membuatku menjauh dari orang lain.

Kuketuk pintu depan rumahnya. Seorang wanita seusia ibuku membukakan pintu. Ia mirip Senja.

“Maaf, permisi Tante. Saya Ola, Senjanya ada di rumah? Saya ada…” Belum selesai kalimatku, air muka wanita itu mendadak berubah. Ia tampak kaget.

“Ola? Kamu benar Ola?”

“Iya, Tante. Anda tahu saya?”

Sejenak ia tampak gamang. “Oh, maaf. Masuklah.”

Aku dipersilakan duduk di ruang tamu. Wanita itu Tante Ratih, ibunya Senja. Ia ikut duduk di hadapanku. “Maaf, kalau boleh tahu, sejak kapan kamu mengenal Senja?” tanyanya ramah, sembari menyuguhkan teh.

“Sejujurnya saya belum begitu mengenalnya, Tante. Kami baru bertemu kemarin sore di beranda dan ngobrol banyak.”

“Kemarin?” Tante Ratih tampak kaget dan bingung. “Mustahil.”

Giliran aku yang menjadi bingung.

“Naiklah, Tante ingin menunjukkan sesuatu.”

Kami mendaki undak-undakan menuju lantai dua. Tante Ratih membuka sebuah pintu dengan gantungan manis bertuliskan Senja. Mataku menyapu ruangan empat kali empat meter itu, memandangi foto-foto yang terpajang di meja dan di dinding. Foto-foto Senja.

“Ini kamar Senja, setidakknya ini yang tersisa darinya yang masih Tante simpan. Senja sudah tiada, Nak. Tepat setahun yang lalu. Besok adalah hari peringatan kepergiannya.”

Aku terdiam. Entah kenapa aku tidak begitu terkejut. Inikah yang ingin kau katakan kepadaku, Senja?

Tante Ratih melanjutkan ceritanya, “Senja mengidap penyakit yang langka diderita anak seusianya. Pelebaran pembuluh darah di otak…”

“Aneurisma otak.”

“Iya, kamu tahu? Pembuluh darah di otaknya menggelembung dan pecah, menyebabkan otaknya dibanjiri darah dan meningkatkan tekanan di otak. Semacam stroke yang menyerang pembuluh di otak.”

“Ya. Saya tahu penyakit itu, Tante. Sahabat terdekat saya… dia juga mengidap itu dan meninggal.”

“Tante ikut sedih, Ola.”

“Tidak apa-apa, Tante. Tapi saya masih bertanya-tanya, kenapa dia menampakkan diri pada saya kemarin?”

“Ketika Senja kolaps karena serangan penyakit itu, dia sempat koma selama delapan hari. Dokter yang menanganinya sudah tidak dapat berbuat apa-apa. Dia bisa meninggal kapan saja. Tapi Tante masih berharap keajaiban terjadi dan dia bisa membuka matanya sekali lagi.

“Dan pada hari kesembilan, keajaiban terjadi. Senja membuka matanya. Dia tersadar dari komanya. Dia menatap Tante. Tatapannya begitu teduh, seolah mengatakan semua akan baik-baik saja. Lalu dia menanyakan buku hariannya, yang selama dia koma terus berada di samping tempat tidurnya, bersebelahan dengan Alkitab kecil miliknya. Tante menyodorkan buku harian itu, lalu dia menulis sesuatu di sana. Dengan susah payah.

“Setelah selesai menulis, dia bercerita bahwa dalam tidur panjangnya dia berkelana. Dan dia juga bercerita, bahwa dia pulang ke rumah dan bertemu seorang lelaki bernama Nicholas. Ola.”

Aku tercekat. Suara Tante Ratih semakin terbata-bata.

“Dia bilang: ‘Mama, boleh buka jendela? aku pengen liat senja sekali lagi.’ Dan Tante pun membuka jendela dan cahaya senja masuk. Tante menatap wajah Senja yang merona karena matahari sore, lalu dia tersenyum. Senyuman paling manis yang pernah Tante lihat. Seperti malaikat. Lalu dia memejamkan mata dan pergi untuk selamanya…” Tante Ratih tak bisa menahan air matanya. Lalu ia menarik napas dan lebih tenang

“Dia meninggalkan dua pucuk surat di halaman terakhir buku hariannya. Satu untuk Tante dan satu untuk Ola. Kamu. Bacalah.” Tante Ratih menyodorkan sebuah buku mungil bersampul kulit. Aku membuka halaman terakhir. Surat untukku.


Ola,
Maaf ya La, aku gak bisa ngasih tahu yang sebenarnya kemarin, tapi ketika surat ini sampai kepadamu, kamu pasti sudah tahu. Maaf banget udah menghilang tiba-tiba, dan gak bisa menepati janjiku buat ketemu lagi saat senja di beranda itu.
Aku ngerti perasaan Agni, La, karena aku juga mengalami hal yang sama. Dan aku yakin dia gak bakalan suka kamu terus-terusan menyalahkan dirimu sendiri karena kematiannya. Aku, juga dia, mungkin harus pergi dengan cara seperti ini. Aku yakin, Agni tidak menyesal, karena ada kamu sepanjang waktu, sampai akhir hidupnya. Dan karena perasaan itu juga, aku jadi berani untuk pergi, aku tidak takut lagi dijemput Tuhan. Aku bahagia, karena banyak orang yang mengasihiku sepanjang waktu, dan aku tak pernah tega untuk membuat mereka cemas untukku.
Ola, jangan nyalahin dirimu lagi ya, hiduplah dan carilah kebahagiaan. Kami yang akan dan telah pergi hanya mengharapkan itu. Dan meski pertemuan kita hanya sebatas sepotong senja, tapi kamu dan senja itu akan selalu kusimpan di hatiku, jauh melebihi kuasa kematian.
 
Senja
Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks


“Egois.” Mataku basah.

***

Aku menatap nisan berukir nama Senja, ditemani Tante Ratih. Kuletakkan buku harian itu di atas nisannya.

“Terima kasih, Senja.” Aku pun beranjak pergi. Membawa janjiku kepada Senja, janjiku kepada Agni. Janjiku untuk membangkitkan kembali hatiku yang mati suri.***

Jogja, Mei 2008

Baca Juga: [CERPEN] Anak Laki-laki yang Menangis

Handaka Pratama Photo Writer Handaka Pratama

Penyuka game dan gadget, kadang-kadang juga menulis cerpen kalau dapat ilham.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya