[CERPEN] Obsesi Kematian

Mati sia-sia, itulah yang paling ditakutkan dalam hidupnya

Barta buru-buru lari menghampiri lelaki yang tertimpa reruntuhan material beton proyek jalan layang itu. Tujuh-delapan orang pun mendekat—menyemuti tubuh lelaki naas itu. Semua yang di situ bergidik ngeri, tapi ada saja yang memilih mengabadikan kematian dengan ponselnya bagai sebuah hiburan yang mesti dikenang di kemudian hari.

Tubuh lelaki itu tertelungkup—tak bergerak. Material-material beton sebesar kelapa jatuh menimpanya—menimbun sebagian tubuh. Sudah pasti tulang-tulang di tubuhnya remuk. Darah mengucur dari batok kepalanya yang terbelah.

Berjarak lima meter, seorang perempuan terduduk kaku. Sikunya luka dan pakaiannya kotor oleh pasir. Tubuhnya bergetar dan wajahnya pasi. Matanya membeliak menatap nanar lelaki asing yang tadi serta-merta mendorongnya dari belakang sampai-sampai ia tersungkur.

Lagi-lagi terlambat, rutuk Barta membatin.

Barta bukan menaruh empati pada kondisi lelaki itu. Ia justru iri pada cara lelaki itu menjemput maut. Barta mengkhayal andai saja tadi ia lebih teliti pada keadaan sekitar, sudah pasti bukan lelaki itu yang tergeletak di sana, tapi dirinya.

Padahal peristiwa tadi jelas-jelas amat dekat dengannya. Sebuah momentum yang baginya sangat-sangat berharga. Kira-kira dari tempatnya berada dengan lokasi runtuhnya material proyek itu hanya berjarak 20 meter. Lelaki itu, pikir Barta, sepertinya juga mengincar kematian seperti yang diinginkannya.

Barta ingat betul bagaimana lelaki itu serta-merta berlari mendahuluinya dari belakang, menyusul seorang perempuan yang berjalan seorang diri di depan sana, lalu mendorongnya hingga tersungkur sebelum sepersekian detik kemudian material beton runtuh tepat menghantam kepala dan membunuhnya. Dan lelaki itu bakal selalu dikenang entah dalam cerita-cerita para saksi, pada pemberitaan media, pada mitos yang dibuat-buat orang sekitar, juga di ingatan perempuan yang selamat itu.

Kematian yang mengesankan. Kematian yang membekas. Kematian yang membanggakan. Itulah kematian yang paling diinginkan oleh Barta. Selama ini ia mengira setiap orang terlalu memikirkan soal kehidupan yang dijalani. Kebanyakan orang sibuk berusaha mau jadi apa di masa depan nanti. Mengejar jabatan yang diinginkan. Menakar jumlah kekayaan yang didambakan. Memimpikan rumah sebesar apa yang ingin ditempati. Mereka semua sudah sangat siap untuk memikirkan kehidupan, tapi tidak dengan kematian.

Barta sudah sejak lama memiliki keinginan agar dapat mati mengesankan. Ia melihat betapa kematian seperti itu jauh lebih membanggakan. Sebab sejarah lebih suka mencatat riwayat seseorang yang kematiannya membekas dan membanggakan daripada yang hanya mempunyai kehidupan sempurna tapi mati dengan cara biasa.

Ia sendiri terkagum-kagum saat mendengar kisah Munir yang mati diracun di dalam pesawat. Betapa kemudian Munir amat dikenang di masa-masa mendatang. Namanya abadi di benak banyak orang sekalipun tak pernah bertemu, juga di guratan sejarah kendati tak dilabeli sebagai pahlawan nasional. Barta pun mendambakan kematian layaknya Rezan Al-Najar, relawan medis di Palestina yang mangkat setelah ditembak oleh sniper Israel tepat di dada. Ia juga ingin mati layaknya V for Vendeta yang diburu rezim penguasa.

“Bukankah kematian yang seperti itu sangat membanggakan? Nama kita bakal selalu dikenang, bahkan dimasukkan dalam buku sejarah,” ujar Barta di sekali malam kepada Sofia.

Malam itu langit sedang congkak memamerkan pesonanya; gugusan bintang dan bulan berpijaran. Permukaan air danau yang tenang turut benderang bagai cermin yang memantulkan panorama serupa nun indah dari atas sana. Beralaskan rerumputan, mereka duduk di tepi danau sambil membiarkan usia mereka dibunuh waktu detik demi detik.

“Kamu terlalu bersemangat membicarakan soal kematian-kematian yang kamu pikir keren itu. Bisa mati dengan tenang saja sudah syukur.”

Barta menggeleng sambil nyengir. “Sofia oh Sofia.... Banyak yang percaya kalau mati itu menyakitkan,” ucap Barta yang lantas menyesap rokoknya dalam-dalam, menahannya sejenak di dada, lalu mengembuskannya pelan. Sofia menatap lamat-lamat lelaki berambut ikal itu. Di dalam dada ia menyimpan kekaguman pada cara Barta menyesap rokoknya.

“Jadi, apa salahnya kalau aku ingin kematian yang mengenang? Itung-itung supaya rasa sakit yang kurasakan saat malaikat menarik nyawaku itu nggak sia-sia.”

Sofia terkekeh mendengar penjelasan Barta. Lelaki itu, pikirnya, masih sama seperti saat mereka bertemu; sangat aneh dibanding manusia pada umumnya. Sofia mengibaratkan pemikiran Barta ini tak ubahnya jalan di pegunungan himalaya; berliku-liku dan terjal.

“Tambah minumnya?”

Barta mengangguk sambil menyodorkan gelas plastik yang telah kosong. Sofia membuka botol bekas air mineral yang sudah diisi anggur merah, lalu menuangkannya sedikit ke gelas, lantas membiarkan Barta menandaskannya pada sekali tegukan.

“Kamu suka minum. Tidak takut mati sia-sia?”

Barta tak menjawab. Ia menyesap lagi rokoknya dalam-dalam. Mati sia-sia, sebenarnya hal itulah yang paling ditakutinya selama ini.

Barta telah selesai menonton The Sanctum untuk ketiga kalinya dan, lagi-lagi, ia masih bisa mengagumi kematian Frank McGuire setelah berjuang memimpin orang-orang untuk hidup di dalam gua dan mencari jalan keluar. Barta menoleh ke jam dinding, waktu baru menunjukkan pukul 09.15 pagi. Ia merasa waktu senggangnya masih panjang, jadi diputuskanlah untuk mencari film lain di laptopnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Pilihannya yang kedua jatuh pada film Merantau. Barta ingin melihat lagi bagaimana Yuda bakal mati dengan cara yang mengagumkan setelah merubuhkan banyak pendekar. Ia selalu suka film-film semacam itu—tak akan bosan berapa kali pun menonton. Film-film yang selalu memunculkan tokoh utama yang betapa heroik, lalu bertemu dengan persoalan dan berusaha menuntaskannya, tapi tak dapat menghindari kematian di akhir cerita. Semua orang akan mati, pikir Barta, tinggal menentukan kematian seperti apa yang diinginkan.

Tapi, keinginan Barta untuk kembali mengagumi kematian Yuda harus ditunda tatkala ponselnya berdering. Barta berdecak kesal. Agak malas, ia merentangkan tangannya jauh ke samping—menjangkau ponsel yang diletakkannya di sudut meja. Rupanya Sofia yang menelpon. Barta menjawab teleponnya dan sejurus kemudian ia menepuk jidat karena baru teringat sesuatu.

Sial, kenapa bisa lupa kalau ada janji dengan Sofia! Barta merutuk dirinya sendiri sambil bergegas berganti pakaian. Ia belum sempat mandi dan memutuskan hanya membasuh muka. Barta baru ingat kalau ia sudah berjanji akan menemani Sofia memburu buku.

Barta juga ingin mencari buku. Buku-buku yang memberikan kematian mengesankan pada tokoh utamanya, tentu saja. Sudah lama ia tak memburu buku-buku seperti itu walaupun ia sadar tak akan mudah menemukannya. Karena setahunya, banyak penulis tak kuat hati membuat kisah yang tokoh utamanya harus menjemput ajal di akhir cerita.

Orang-orang di sekitaran kafe itu menjerit berlarian ke segala penjuru arah begitu sebuah dentuman menggetarkan gendang telinga. Pintu kaca dan jendela-jendela kafe itu telah pecah poranda. Langit-langitnya runtuh. Meja dan kursi terpental hingga sungsang.

Dentuman itu menyisakan lima orang tergeletak berdekatan dengan luka yang menjalar di sekujur tubuh. Pakaian mereka koyak. Bercak darah menyepuh lantai. Ada juga potongan-potongan tubuh yang menghitam dan mengepulkan asap bagai daging sapi bakar berserakan di lantai.

Siang itu, Barta dan Sofia baru saja akan memasuki sebuah toko buku ketika sebuah kafe berjarak sekitar sepuluh meter dari mereka bergemuruh. Sebuah dentuman membahana begitu seorang pria berjaket tebal berlari masuk.

Tak lama setelahnya arus manusia yang dilanda ketakutan berlari ke arah Barta. Tapi Barta justru berlari menyibak arus itu demi menuju ke asal dentuman tadi terdengar. Sofia sempat berusaha menghentikan langkah Barta, namun cekalannya tak kuasa menahan.

Barta tersentak ketika tiba di kafe yang telah porak-poranda. Aroma menyengat bagai karet terbakar meruap, memaksa Barta dan Sofia menutup hidung rapat-rapat dengan tangan. Tak ada pemandangan lain yang ditangkap Barta kecuali mayat-mayat yang terbujur kaku di sana dan beberapa potongan tubuh—termasuk sebuah kepala—berserakan di lantai. Mayat-mayat yang tergeletak itu, pikir Barta, bukanlah perawakan orang-orang melayu sepertinya.

Sofia tak kuat pada pemandangan yang mengerikan beserta bau tak sedap yang membuatnya mual-mual. Perempuan itu menarik-narik lengan Barta sebagai tanda agar mereka segera menjauh.

“Ngapain sih kamu tadi?” tanya Sofia ketus begitu mereka sudah menjauh. Napasnya tersengal-sengal dan beberapa kali ia terbatuk-batuk. “Apa kau juga terkesan dengan cara mati seperti itu?”

Barta menggeleng. Kematian yang dilihatnya tadi bukan kematian mengesankan seperti yang diimpikannya. Barangkali, itu salah satu bentuk kematian yang sia-sia.

“Apanya yang mengesankan kalau kau mati hanya untuk membunuh orang-orang yang sedang minum kopi?”

Lelaki itu memang bukan sedang terkesima atau terkagum-kagum, tapi justru menyesali keterlambatannya bertindak. Ia sudah sempat curiga pada tingkah seorang lelaki yang dibalut jaket tebal dan mengenakan kacamata hitam itu tepat setelah berjalan mendahuluinya tadi. Langkahnya tampak tergesa-gesa. Pakaiannya pun mencurigakan sebab siang ini matahari betapa menyengat—pastinya tak ada orang yang ingin keluar dengan jaket setebal itu.

“Andaikan saja tadi aku memilih membuntuti pria mencurigakan itu,” gumam Barta penuh sesal.

Andai hal itu dilakukan sudah pasti ia menemukan peluang emas untuk mati dengan cara mengesankan. Barta membayangkan bagaimana ia akan menghentikan langkah lelaki pendek itu, sebelum kemudian mendekap lalu menyeretnya ke tengah jalan—menjauhinya dari orang-orang, dan membiarkan bom meledak menghancurkan tubuhnya beserta lelaki itu.

Bukankah itu kematian yang akan mengesankan? Kau mati meledak dengan maksud menyelamatkan nyawa orang banyak, bukan untuk membunuh. Sudah pasti namamu akan dikenang bahkan dimuat di banyak pemberitaan, juga dalam guratan tinta-tinta sejarah.

Barta memang menginginkan kematian yang seperti itu. Mati dengan membawa kebanggaan di hadapan Tuhan. Tapi ia merasa selalu sial sebab belum juga bisa menemukan momen seperti itu.

Barta mengambil sebungkus rokok dari saku celananya, menariknya satu, menjepitnya di bibir, lalu membakar dan menyesapnya. Matanya menyipit menatap ke langit biru yang siang itu tak berawan dan sedikit silau. Dalam diam, sambil mengembuskan asap dari mulutnya ia pun bertanya-tanya dalam hati; kapan aku bisa mati seperti itu? ***

Jakarta 24 Juli 2018

Baca Juga: [CERPEN] Penagih Sumpah

Rahardian Shandy Photo Verified Writer Rahardian Shandy

Rutin menulis sejak 2011. Beberapa cerpennya telah dibukukan dan dimuat di media online. Ia juga sudah menulis 4 buah buku non-fiksi bertema bisnis. Sementara buku fiksi pertamanya terbit pada 2016 lalu berjudul Mariana (Indie Book Corner).

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya