[CERPEN] Penagih Sumpah

Aku bukan malaikat, tapi tugasku tak kalah mulia.

Blackphone itu berdering tepat ketika aku menandaskan kopi pagiku. Hmm... kira-kira ada pesan apa lagi, gumamku. Sekarang baru pukul 9.15 dan rasanya masih terlalu pagi andai ada tugas baru. Sedikit malas, aku memaksakan diri melompat dari sofa dan meraih benda hitam kecil berbentuk persegi itu yang kutaruh di atas meja.

Kali ini ada sebuah pesan masuk tertulis: Aman Sair; pria; 65; jalan kaki Dagdu-Yakarda jika Dodo jadi presiden; 7 hari. Ah, ternyata benar tugas baru lagi. Padahal tugas penagihanku sebelumnya masih banyak yang belum rampung.

Nama target kali ini yang mesti kutagih ialah Aman Sair, pria berusia 65 tahun, seorang politikus. Ia pernah bersumpah akan jalan kaki dari Kota Dagdu ke Kota Yakarda kalau Dodo terpilih jadi Presiden—baru tujuh hari yang lalu Dodo dinyatakan terpilih secara sah sebagai presiden usai pemungutan suara dilakukan. Jadi, sesuai info yang kuterima, Aman belum juga membayar sumpahnya selama 7 hari.

Aku menghela napas. Mau sampai kapan, sih para elit politikus itu bisa berhenti mengucap sumpah yang bahkan tak bisa mereka tepati. Mereka pikir tak akan ada yang mencatat sumpah-sumpah mereka. Padahal di kanan dan kiri mereka saja sudah ada para malaikat yang selalu mencatat amal perbuatan mereka. Lantas, apa mereka pikir tak akan ada utusan Tuhan yang datang untuk menagih sumpah mereka?

Aku di sini untuk menagih sumpah. Sesuatu yang kerap diucap manusia, entah sadar atau tidak yang sebenarnya adalah utang yang mesti dibayar lunas. Sebab utangnya tak main-main: langsung kepada Tuhan!

“Utangnya tak main-main, langsung kepada Tuhan!”

Ah, aku teringat lagi pada kalimat yang diucapkan Sang Wali pada pertemuan pertama kami sebelum ia memercayakan pekerjaan mulia ini kepadaku. Pria tinggi berjanggut putih tebal yang selalu mengenakan jubah hitam hingga menutupi kepalanya itu datang kepadaku di suatu malam yang larut. Ketika aku baru saja akan terlelap, sekonyong-konyong ia berdiri di sampingku. Tubuhku seketika kebas, peluh kurasakan melembak dari kening hingga selangkangan, napasku teramat berat, mulutku tak bisa bersuara, dan waktu terasa berhenti begitu lama.

“Kau telah terpilih, Gawar,” ucap lelaki bersuara serak lagi berat itu. “Berjihadlah untuk menagih sumpah-sumpah yang diucapkan oleh manusia. Kau akan terus menagih sampai kiamat tiba Gawar.”

Lalu lelaki itu serta-merta lenyap dan entah bagaimana aku sudah menggenggam sesuatu yang ternyata sebuah benda berbentuk persegi berwarna hitam yang kelak kutahu disebut Blackphone. Benda itu bentuknya seperti ponsel, tapi tak bisa digunakan apa pun kecuali menerima pesan. Layarnya berwarna kuning, sedangkan huruf-hurufnya berwarna hitam. Tak ada gambar maupun video yang bisa dimuat di sana. Hanya ada barisan teks. Dari benda itulah Sang Wali mengirimkan tugasnya kepadaku.

Penagih sumpah bukan hanya aku seorang, tentu saja. Di luar sana ada lebih dari ratusan orang terpilih sepertiku. Tugas kami dibagi berdasarkan kemampuan. Ada yang bertugas menagih sumpah para suami, istri, pengangguran, pekerja kasar, pengusaha, hingga sumpah dalam urusan asmara para remaja.

Berbagai cara untuk menagih pun kami lakukan, mulai dari menghadap langsung orang yang pernah bersumpah atau menagih melalui mimpi. Penagih sumpah juga mengenal jenjang karier. Mulanya aku menagih sumpah yang remeh, seperti urusan percintaan, lantas naik menjadi urusan rumah tangga yang pelik, lantas naik dan terus naik sampai aku pun dipercaya pada tugas yang dikenal mahaberat; menagih sumpah para politikus.

Disebut mahaberat sebab menagih sumpah politikus tak ubahnya meminta sapi untuk bertelur. Selama satu tahun ini saja aku baru berhasil menagih sumpah tiga politikus dari puluhan tugas yang kuterima. Sumpah-sumpah itu pun baru bisa kutagih setelah ratusan ribu kali mencoba. Padahal, dalam satu bulan aku bisa menerima tugas untuk menagih 7-8 sumpah dari mulut para politikus itu.

Pekerjaan menagih sumpah para politikus memang dikenal berat. Tak sedikit rekanku yang sampai menyerah bahkan bertaruh nyawa saat menagih. Saat sudah berurusan dengan elit politik, pekerjaan kami ini bagai tak ada bedanya dengan terjun di medan perang.

Di awal tugas ketika naik ke divisi politikus, aku pernah menagih sumpah pria bernama Naas—nasibnya seburuk namanya. Ia pernah bersumpah akan menggantung dirinya di Monumen Kebangsaan andai terbukti korupsi. Dan kenyataan membuktikan bahwa ia terbukti korupsi. Namun, sampai ratusan kali aku menjenguknya di penjara sembari menagih sumpahnya, ia justru pura-pura amnesia.

Selain Naas, aku juga pernah menagih politikus bernama Amat yang bersumpah akan memotong kemaluannya andai lawan politiknya terpilih sebagai gubernur baru. Tapi, hingga 30 hari berlalu sejak lawan politiknya sah terpilih, ia belum juga mau melunasi sumpahnya. Malah, pada dua pertemuan terakhir kami, ia selalu menodongkan revolver kepadaku.

Ada lagi seorang politikus bernama Hababorok yang bersumpah akan terjun bebas dari bangunan setinggi 132 meter andai lawan politiknya bisa mendapat dukungan dari seribu warga. Tapi, sumpah itu belum juga dilakukan setelah lawan politiknya berhasil mendapatkan dukungan yang dicari.

Dan aku ingat, terakhir kali menemuinya ia sudah menyiapkan granat untuk mengancamku. “Pergilah atau aku masukkan granat ini ke mulut berisikmu itu!” Ancamnya dengan wajah yang sudah merah padam.

Seminggu yang lalu rekanku ditemukan tewas tenggelam di dasar danau yang terletak di pinggiran kota. Saat ditemukan perutnya telah melembung bagai balon dan tubuhnya—yang memeluk sepeda motornya—kaku bagai balok.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Dalam sebuah siaran televisi, aku menyaksikan bahwa pihak kepolisian menyebut kematian rekanku itu murni kecelakaan tunggal. Rekanku diduga mabuk saat mengendarai sepeda motor sampai kemudian oleng dan tercebur ke danau yang dalamnya puluhan meter itu. Ia tenggelam bersama sepeda motornya. Tapi, kupikir, setolol-tololnya orang mabuk tak akan memeluk sepeda motornya saat akan tenggelam.

Mereka benar-benar sudah mengincar kami. Para politikus yang belum juga melunasi sumpahnya itu kini telah benar-benar berkuasa. Aman Sair sudah menjabat sebagai Dewan Kehormatan Presiden, Amat menjabat sebagai Menteri Keamanan, Naas menjabat Sekretaris Kepresidenan, Hababorok diberi kuasa sebagai Menteri Hukum, dan politikus-politikus lain yang belum juga melunasi sumpahnya kini menjabat pada berbagai posisi strategis di pemerintahan.

Beberapa bulan ini kami pun seperti saling memburu dan bersiasat. Mulanya, mereka mulai mengatur media. Berbagai pemberitaan soal sumpah yang pernah mereka ucapkan dalam bentuk apa pun harus dihilangkan. Terakhir, yang kutahu dari mata-mata kami, dalam rapat tertutup mereka sudah membentuk tim khusus untuk memburu para penagih sumpah. Mereka bahkan berencana akan memasukkan kami dalam daftar teroris bila sudah begitu meresahkan.

Rekanku yang tewas tenggelam di danau itu bukanlah kasus pertama. Sebelumnya, sudah ada delapan rekanku yang mati tak masuk akal. Seorang rekanku dibuat seolah mati karena tersedak biji rambutan. Mereka juga mengatur agar rekanku terkesan mati di kolam renang umum akibat serangan jantung. Dan mereka juga yang membuat rekanku tewas dengan kepala retak setelah ada orang gila yang menempeleng kepalanya menggunakan martil. Kami tahu segala jawaban atas kematian rekan kami dari Sang Wali yang mengaku tahu dari utusan Tuhan lainnya.

Sementara aku sendiri sudah berhadapan dengan maut satu bulan selepas kematian rekanku di danau itu muncul di televisi. Malam itu, aku terlampau lengah saat menanti kedatangan kereta di peron. Aku tak sadar ada seseorang yang sudah membuntuti dan telah menyiapkan rencana kematianku.

Orang itu mendorong barisan tepat di belakangku ketika kereta datang. Tubuhku yang berada di barisan terdepan pun tersungkur menghantam muka kereta, lalu terpental ke atas rel dan dilindas hingga terbelah menjadi 12 bagian. Darah melembak dan orang-orang menjerit ngeri.

Kematian demi kematian itu lambat laun menurunkan jumlah anggota penagih sumpah. Sementara para elit politikus itu terus bertambah dan tak henti mengucap sumpah tanpa ada yang dilunasi. Bila terus begini, sudah tentu pekerjaan penagih sumpah kian berat. Memburu satu-dua politikus saja sudah amat sukar, apalagi kalau mereka sampai beranak-pinak.

Tapi, bagaimanapun, tugas mulia ini harus segera dituntaskan. Apa pun yang terjadi, para politikus itu harus segera melunasi sumpah mereka sebelum kiamat tiba.

Tak mudah memang, tapi akhirnya dengan bantuan rekan yang masih hidup aku bisa membuat Hababorok melunasi sumpahnya. Pada Kamis malam, Hababorok sudi pergi ke luar tanpa pengawal setelah berhasil dirayu oleh Hanifa. Ia mengajak Hababorok untuk berkencan di apartemennya yang jauh dari pusat kota.

Hanifa dan Hababorok menghabiskan malam di sebuah bar yang berada di rooftop apartemen dua jam sebelum pelunasan sumpah terjadi. Mereka memesan banyak minuman di sana dan mereguknya tanpa jeda. Bagai remaja yang baru merasakan nikmatnya jalan menuju neraka, Hababorok pun tenggelam dalam buaian alkohol. Tapi Hanifa masih dalam kondisi sadar sebab ia sudah mereguk obat anti mabuk satu jam sebelumnya. Alkohol tak berfungsi di lambungnya.

Sebagaimana sumpahnya yang ingin lompat dari gedung setinggi 132 meter, maka malam itu Hababorok benar-benar melunasinya. Hanifa tak mendorongnya. Perempuan itu hanya menuntunnya berjalan di rooftop saat lelaki itu meminta dituntun ke kamar agar mereka lekas bercinta. Namun, lelaki itu kemudian dibiarkan berjalan sendiri saat sudah berada di tepian rooftop dan ia pun kehilangan pijakan. Tubuhnya jatuh menghantam aspal. Remuk. Sumpahnya pun terbayar lunas.

Pelunasan sumpah Naas pun kami lakukan dengan cara serupa. Kami mengatur agar Naas mau menghadiri undangan peresmian teropong baru yang berlangsung di lantai teratas Monumen Kebangsaan. Tentu ia datang sebab peresmian itu cukup banyak menyerap uang ke kantongnya.

Dan sesaat setelah peresmian, kami pun membuat kegaduhan. Di tengah kegaduhan itu aku—yang merasuki tubuh seseorang—berlari ke arah Naas, lantas mengangkat dan mendorong tubuhnya hingga keluar pagar pembatas. Naas menjerit ketakutan. Tangannya gemetar dan berkeringat saat ia bersusah payah menahan pegangannya pada pagar pembatas agar tak jatuh.

“Toloooong! Tolooooong!”

Lelaki itu menjerit sekeras-kerasnya sampai-sampai pembuluh di lehernya menyembul. Beruntung ajudannya berhasil menariknya kembali. Hari itu, selain berhasil membuat tubuhnya menggantung beberapa menit di Monumen Kebangsaan, kami pun membuat selangkangannya basah dan wajahnya pasi.

Sementara enam bulan belakangan ini Amat benar-benar tak menyadari bahwa rekanku sudah ada yang menyamar dan menjadi bagian dari kehidupannya. Samanta, perempuan itu kini sudah menjadi istri siri Amat dan mereka sudah tinggal seatap hampir lima bulan lamanya.

Skenario kami kali ini harus berhasil mengingat Amat dan Aman Sair menjadi politikus yang paling sukar untuk diminta melunasi sumpahnya. Lagi pula, skenario seperti apa yang tepat agar seseorang bisa dibuat bersedia memotong kemaluannya sendiri atau berjalan kaki antarkota yang punya jarak 538 kilometer?

Tapi, setidaknya, malam ini Amat akan segera melunasi sumpahnya dan Aman Sair akan segera menyusul. Ya, mereka harus melunasi sumpah masing-masing sebelum nyawa mereka ditarik malaikat maut. Aku harus memastikan hal itu terjadi sebab saat menerima tugas ini aku sudah bersumpah akan membuat para politikus itu melunasi sumpah mereka sekalipun ajal telah menjemputku.

Andai gagal, aku tak tahu harus berkata apa di hadapan Tuhan nanti.***

Baca Juga: [CERPEN] Ruas Seberang Pinggir Aspal

Rahardian Shandy Photo Verified Writer Rahardian Shandy

Rutin menulis sejak 2011. Beberapa cerpennya telah dibukukan dan dimuat di media online. Ia juga sudah menulis 4 buah buku non-fiksi bertema bisnis. Sementara buku fiksi pertamanya terbit pada 2016 lalu berjudul Mariana (Indie Book Corner).

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya