[CERPEN] Ratu dan Cerita Cintanya yang Pilu

Kupikir ia adalah perempuan paling malang di dunia

“Aku mencintainya melebihi cintaku pada orangtuaku sendiri.”

Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut manisnya ketika mengisahkan tentang roman picisannya kepadaku. Perempuan itu mengaku bernama Ratu. Ia yang kali pertama menyapa ketika aku baru saja duduk di meja bar dan memesan Chivas Regal. Mulanya perempuan itu―yang matanya sudah sayu―menyarankan padaku untuk memesan minuman yang lain.

“Chivas tak cepat membebaskan jiwamu,” katanya setelah mereguk minumannya entah apa. Aku hanya menanggapi dengan senyum, sebelum kemudian ia bertanya dengan siapa aku datang.

“Hanya sendiri,” jawabku.

“Kenapa hanya sendiri?”

Aku belum sempat menjawab ketika ia menyela:

“Oohh.... aku tahu. Ya, ya, aku mengerti. Kau datang ke tempat ini sendirian supaya lebih mudah mendapatkan perempuan untuk kau tiduri, ‘kan?” katanya sambil menuding dan menatapku tajam penuh tuduhan, sebelum kemudian terkekeh.

“Tidak juga,” jawabku. “Sendiri ke tempat seperti ini jauh lebih bebas buatku.”

“Hah! Semua lelaki sama saja bangsatnya!” sergahnya serta-merta. “Lelaki selalu senang berburu perempuan! Apa karena jumlah perempuan semakin banyak dibanding laki-laki, makanya mereka bisa seenaknya begitu?”

Baiklah, perempuan ini menyebalkan. Padahal ia baru saja tahu namaku dan dengan ringannya menuduhku seperti itu. Perempuan memang tak ada bedanya: mereka terlalu mudah menuduh sesuka hatinya. Itulah mengapa aku memilih mengakhiri hubunganku dengan Melani beberapa minggu lalu.

Perempuan itu kemudian meracau dan mengeluhkan segalanya yang bahkan tak pernah ingin kudengar. Hingga tiba-tiba saja ia berkisah tentang dirinya yang merasa terjebak oleh perasaannya sendiri.

Aku mereguk Chivas Regal-ku lagi dan perempuan itu mereguk Fortaleza-nya sebelum kembali berkata:

“Aku mencintainya... tapi dia seperti tidak mencintaiku.”

Suaranya gemetar dan intonasinya naik turun bagai suara di ujung telepon yang hilang sinyal.

“Dia sering menganggapku tidak ada... tapi aku mencintainya. Dia sering pergi dengan perempuan lain... tapi aku mencintainya. Dia sering kembali padaku hanya saat ingin meminjam uang... tapi aku mencintainya. Dia sering tidur denganku di satu malam dan tidur dengan perempuan lain di malam berikutnya... tapi aku mencintainya. Dan...,” perempuan itu mengatur napasnya lagi, “dia pernah meninggalkanku lama... dan aku masih tetap mencintainya.”

Perempuan yang malang. Atau mungkin perempuan ini terlalu tolol karena sudi diperbudak cinta? Ah kenapa aku malah jadi peduli dan iba padanya? Sialan!

“Kenapa kau bisa begitu mencintainya?” tanyaku penasaran.

Ia menjawab dengan mengedikkan bahunya seolah mengisyaratkan ketidaktahuannya sendiri. “Bukannya cinta tidak butuh alasan, ya?”

Aku tergelak, tapi di dalam hati. Jawaban itu bagiku hanya bualan belaka. Jawaban seperti itu, bagiku, hanya akan dilontarkan seseorang yang bingung dan tak tahu kelebihan pasangannya.

Mana mungkin manusia bisa jatuh cinta tanpa ada sebab. Paling tidak, ketampanan dan kecantikan adalah penyebab seseorang bisa jatuh cinta. Kalaupun tak melihat tampang, pastinya kebaikan hati atau perangai sudah cukup menjadi pendorong seseorang untuk jatuh cinta, ‘kan?

“Boleh aku melanjutkan ceritaku tadi?”

Aku menghela napas panjang sebelum kemudian mengangguk berat. “Silakan,” kataku sambil menyunggingkan senyum yang kupaksakan. Padahal tanpa perlu persetujuan dariku pun aku yakin perempuan itu akan tetap meneruskan ceritanya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Apa kau pernah merasakan hal serumit itu pada dirimu? Rasanya kau begitu mencintai seseorang dan tak ingin kehilangannya. Tapi kau sendiri tak pernah tahu mengapa bisa seperti itu.”

Aku sedikit menggeleng. Ia juga mengatakan kalau lelaki yang dicintainya itu tak begitu rupawan. Pekerjaannya pun belum begitu mapan. Bahkan tak ada hal yang bisa dibanggakan darinya. Perjuangannya pun pada seorang kekasih tak pernah lebih istimewa daripada perlakuan seorang teman.

Pertemuanku dengan Ratu kali ini sama seperti sebelumnya; tak direncanakan dan ia yang lebih dulu menemukanku. Entahlah, tapi sepertinya nasibku memang sedang buruk seminggu belakangan ini.

“Kata orang aku sudah kena guna-guna olehnya. Kena pelet,” ujar Ratu. Ia mereguk minumannya lagi. Kali ini matanya belum sayu dan aroma mulutnya belum begitu menusuk hidungku.

Masuk akal, pikirku. Aku kemudian bertanya apakah ia pernah memastikan hal itu sebelumnya. Bukankah guna-guna atau pelet semacam itu bisa diditeksi. Dan ia menjawab sudah.

“Lalu hasilnya?” tanyaku penasaran.

“Nihil,” katanya sembari menggeleng. “Setiap orang pintar yang kudatangi mengatakan kalau aku sudah kena guna-guna tetapi mereka semua tak bisa mengatasinya. Kekuatannya terlalu kuat, begitu kata mereka.”

Kini perempuan itu tampak murung. Dan aku mendapati ada yang hampir melembak di sudut matanya, tetapi cepat-cepat ia menyekanya. Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa seperti kehilangan seseorang yang amat kusayangi. Dadaku sesak dan aku ingin memeluk Ratu saat ini.

“Lantas apa kau ingin keluar dari jerat guna-guna itu?”

“Tentu saja, bodoh! Untuk apa aku menceritakan semua ini selain ingin menemukan jalan keluar?!” sergahnya dengan wajah memerah.

Aku tersekat. Namun, sebentar kemudian bahunya menurun dan suaranya kembali merendah. “Ah, maaf. Aku terlalu mudah marah.”

“Tak apa. Salahku bertanya seperti itu.”

Perempuan itu lantas membisu, wajahnya tertunduk hingga beberapa helai rambut menutupi wajahnya. Sejurus kemudian sebelah tangannya tampak menutupi mulutnya. Kudapati bahunya bergetar dan ada sebuah isak lamat-lamat terdengar. Ada sesuatu yang kemudian menitik dan membasahi meja bar.

Perempuan itu telah mampu menaklukkan hatiku. Perangainya yang peduli telah membuatku luluh. Belum lagi segala kebaikan-kebaikannya selama aku mengenalnya telah membuatku ingin selalu berada di dekatnya. Tapi nyatanya ia masih milik orang lain―sekalipun itu tak dikehendakinya.

Dan setelah pertemuan-pertemuan kami yang selalu terjadi sekali setiap minggunya membuat aku kian jatuh hati padanya. Dan harus kuakui bahwa ia memiliki wajah yang terbilang manis: ia memiliki hidung yang bangir dan lancap, mata yang agak sipit dan bibir yang agak tebal. Sekarang aku baru tahu mengapa Sabda sampai harus menggunakan pelet atau guna-guna demi memiliki Ratu. Dan andai aku tak memiliki nurani, barangkali saat ini pun aku sudah berpikiran sama dengan Sabda.

Entah bagaimana aku amat mencintainya. Bahkan, aku tak pernah berpikir dua kali untuk bisa memenuhi semua keinginannya. Apa yang Ratu mau, pasti akan selalu kuturuti. Aku seperti tak lagi peduli pada apa pun di dunia ini selain ingin melihatnya tersenyum dan selalu bahagia di dekatku.

Kudapati perempuan itu belum terjaga lagi meski kulihat jam dinding telah menunjukkan pukul 12 siang. Tubuhnya yang halus tanpa busana itu masih terbungkus oleh selimut. Wajahnya yang tengah lelap itu tampak begitu damai. Tak jengah-jengah aku memandanginya sedari tadi. Sungguh, detik ini juga aku merasa beruntung dapat mengenalnya.

Lagi-lagi ponselnya berdering. Rasanya aku ingin menjawabnya sebab sudah berkali-kali ponselnya bersuara tanpa henti hingga membuat telingaku pengang. Namun kuurungkan niat itu karena mungkin saja itu telpon dari keluarganya. Ah, atau barangkali itu panggilan dari Sabda.

Dan entah kenapa saat nama itu terbersit tubuhku sekonyong-konyong bergerak sendiri—tanganku dengan sebat menggapai ponselnya. Kudapati layar ponselnya terkunci oleh sebuah pola. Kuingat-ingat sebentar pola seperti apa yang biasa digunakan Ratu saat membuka ponselnya.

Beberapa kali aku mencoba hingga akhirnya kudapati pola yang sesuai dan layar ponselnya pun terbuka. Kulihat ada lebih dari 20 kali panggilan tak terjawab dari Sabda, tapi hanya ada satu pesan suara yang tersemat di aplikasi WhatsApp. Lancang ibu jariku segera membuka pesan itu dan terdengar suara berat Sabda:

“Cepat pulang kalo sudah bangun, Sayang. Jangan marah terus. Aku sudah belikan mobil yang kamu minta. Cepat pulang, ya.”

Tubuhku seketika kebas. Napasku berat. Dan entah kenapa saat itu juga aku merasa linglung. Benakku terus dihantam pertanyaan yang tak bisa kujawab sendiri; apa artinya ini? ***

Baca Juga: [PUISI] Melukis Langit Malam Ini

Rahardian Shandy Photo Verified Writer Rahardian Shandy

Rutin menulis sejak 2011. Beberapa cerpennya telah dibukukan dan dimuat di media online. Ia juga sudah menulis 4 buah buku non-fiksi bertema bisnis. Sementara buku fiksi pertamanya terbit pada 2016 lalu berjudul Mariana (Indie Book Corner).

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya