[CERPEN] Serbuan Gagak di Rumah Susun

Gagak-gagak itu muncul bagai ingin merayakan sesuatu

“Jangan takut. Ini sudah biasa terjadi. Setiap tanggal 26 Oktober burung-burung gagak itu memang akan selalu muncul di sini.”

Lukman beranjak memunggungiku, menutup jendela dan gorden rumahnya yang berada di lantai sepuluh rumah susun ini. Matanya teramat sayu dan merah sebab didera kantuk. Jalannya pun limbung bagai orang mabuk. Sepertinya tadi malam ia benar-benar terjaga demi menonton bola, sedang aku memilih menyerah pada kantuk yang mendera sebelum tengah malam tiba.

Di depan televisi yang menyala aku masih duduk bersila dan termangu. Tak mengerti pada apa yang terjadi pagi ini. Kulihat Lukman bergegas mengambil berbagai gulungan kain yang kemudian dipakainya untuk menyumpal setiap lubang di rumahnya. Lubang ventilasi di atas jendela dan pintu, celah-celah pintu dan jendela, juga lubang ventilasi di dinding kamar mandi.

“Harusnya semalam aku ingat menutup semuanya. Aku lupa kalau sekarang sudah tanggal 26. Ini gara-gara gajian diundur jadi tanggal 28. Aku jadi lupa. Dasar perusahaan setan!”

Sesuatu yang aneh baru saja terjadi. Entah apa, tapi aku belum pernah melihat yang seperti ini. Pagi tadi kudapati suasana rumah susun yang seperti biasanya. Sinar matahari merambat masuk melalui jendela dan lubang udara, memberikan kehangatan serupa pelukan seorang ibu saat menyambut kepulangan anaknya setelah lama merantau. Anak-anak riang berkejar-kejaran di ruang yang terbatas ini. Para lelaki masyuk memandikan burung-burungnya yang doyan bercicit merdu di sangkar. Sementara ibu-ibu menenteng plastik warna-warni penuh sayur dan tempe dari pasar.

Namun ketika aku masyuk menonton televisi, tiba-tiba saja gambarnya menjadi buram keabu-abuan dan kabur ketika jam dinding menunjukkan pukul 9 pagi. Bersamaan dengan itu kudapati sesuatu tampak terbang berkelebatan di luar jendela. Hitam, jumlahnya banyak dan susul-menyusul. Bahkan tiada habisnya kelebatan hitam itu melintas yang menimbulkan bayangan melintas cepat di langit-langit dan lantai dan dinding kediaman Lukman. Aku baru menyadari bila kelebatan hitam itu adalah jubelan burung tatkala kepakan sayap bersamaan dengan bunyi “koak” terdengar jelas tiada henti.

Burung-burung gagak itu bagai muncul dari dimensi lain, begitulah Lukman mulai berkisah usai memastikan semua lubang di rumah petaknya telah disumpal. Tapi lamat-lamat aku masih mendengar suara-suara aneh yang berasal dari mana entah. Suara-suara itu terdengar begitu dekat dan datang dari segala penjuru mata angin. Seolah merambat di kaca jendela, melayang-layang memenuhi udara, menyelusup di antara rengat dinding dan menembus lapuknya kayu langit-langit.

“Jangan heran. Gagak-gagak itu bukan berkoak, tapi menangis,” sela Lukman yang duduk bersila di hadapanku dengan mata sayu dan aroma napas menyengat serupa susu basi.

Lukman benar, gagak-gagak itu mengeluarkan suara yang aneh. Suara-suara itu terdengar bagai senggukan seorang gadis yang habis diperkosa bapaknya sendiri. Tapi ada juga suara yang terdengar bagai rintihan pedih lelaki yang kelaminnya habis dipotong istri. Ada juga yang suaranya menyerupai isak bayi yang dibuang ibunya di pinggir kali. Dan suara-suara itu bercampur menjelma elegi paling miris sekaligus mengerikan yang pernah kudengar di muka bumi.

“Rasanya memang percuma menutupi lubang-lubang di rumah ini. Suara-suara itu bahkan masih bisa kudengar jelas. Hahaha! Santailah kawan. Nanti juga kau terbiasa.”

Lukman menepuk-nepuk pundakku. Ia tahu aku tengah dilanda cemas dan pusing saat mendengar suara-suara menyedihkan itu.

Suara-suara itu benar-benar membuatku ngeri pada kematian.

Banyak yang percaya bila gagak-gagak itu terbang dari tempat yang teramat jauh. Mereka selalu muncul bergerombol dari ujung khatulistiwa, serupa koloni Albatros yang terbang menjelajah samudera. Tapi gagak-gagak itu tak terbang berbaris layaknya sebuah koloni, melainkan lebih mirip para begundal di angkasa. Mereka terbang tak beraturan dan saling susul-menyusul meski masih dalam satu gerombolan hingga dapat membentuk awan hitam. Awan tergelap dan terkelam yang mungkin pernah kau lihat.

Gagak-gagak itu terbang berputar-putar di antara bangunan yang kusam ini. Mereka bagai tirai gulita yang menyelubungi langit dan menyebarkan kengerian. Kepakan sayap burung-burung itu cepat dan menggema; menimbulkan distorsi yang mengular dan merambat di udara. Jumlahnya yang ribuan mampu menggelapkan langit segelap-gelapnya. Kurasakan udara menjadi lembap dan pengap.

Gelap dan pengap, kombinasi yang membuat siapa saja merasa dekat pada kematian.

Setiap kali gerombolan gagak-gagak itu akan datang, maka penghuni rusun akan lekas meninggalkan kediaman mereka. Beberapa mengungsi ke sanak saudara, tapi banyak yang lebih memilih memasang tenda dan menggelar tikar tak jauh dari sini. Bagi penghuni rusun, kehadiran burung-burung gagak itu dapat menjadi sumber rezeki. Orang-orang akan selalu berdatangan untuk menonton fenomena janggal ini. Tak sedikit pula yang mengabadikannya dengan ponsel dan menyebarkannya di media sosial. Seolah mereka bagai takjub oleh kengerian yang diperlihatkan burung-burung itu dan menikmati senandung pedih para gagak.

Tapi tidak untukku dan Lukman yang terjebak di dalam. Udara di ruangan ini kian pengap dan apak. Bahkan kipas yang sedari tadi menyala tak sanggup mengenyahkan gerah yang kadung mendekap. Di luar pun telah gulita sebab tak ada lagi cahaya matahari yang tampak meski hanya selarik. Yang lebih menyebalkan, suara ‘koak’ bagai tangis dan jerit dan pekik itu betapa menyakitkan di telinga ini.

Hingga tanpa sadar pengapnya udara ini membuatku betapa lelah. Napasku terasa sesak. Tubuhku mulai lemas. Kepalaku pusing. Mataku berat. Pandanganku pun kabur. Semua buram, lantas lama-lama menghitam.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Suara-suara menakutkan itu kian menjadi-jadi. Bulu di seluruh tubuhku meremang dan jantungku tak bisa berdegup tenang. Di dalam gelap aku mendengar banyak suara: jerit meminta tolong di kejauhan, rintih kesakitan, dan tangis keputusasaan. Suara-suara itu tertekan. Mereka seperti menjerit di tengah siksaan menjelang kematian.

Dalam gelap tiba-tiba saja aku melihat sepercik api muncul. Di sudut sana, api itu kian membara dan membesar. Api itu menjelma wajah iblis yang lengkap dengan mata, hidung, mulut, dan tanduknya. Asap hitam yang mengepul kelam menjelma bagai rambut dan mahkota. Wajah dari api itu tampak tertawa gembira. Di antara gelaknya, kulihat para manusia terjebak di dalam mulutnya. Tapi tak ada satu pun wajah yang dapat kulihat. Sebab manusia-manusia itu telah terbakar tuntas seluruh tubuhnya. Mereka menggeliat dan  menggelepar di tanah. Ada yang berlarian ke sana kemari memikul api sambil terus menjerit.

Aku, lagi-lagi, bergetar ngeri. Tak ingin kupandangi hal menakutkan ini. Tapi mataku seolah memiliki pemikirannya sendiri. Ia tak bisa kupejamkan seberapa pun kuat kuberusaha. Sampai tiba-tiba saja api yang menjelma wajah iblis itu memandangiku. Manusia-manusia yang terbakar itu pun memandangiku. Senyap dan gelap kian membuatku terasa terancam. Sekonyong-konyong manusia-manusia yang telah legap itu berlarian ke arahku, membawa serta nyala api yang membara di tubuh mereka.

Aku ingin berlari, tapi kakiku menolak. Tubuhku tak dapat bergerak. Bahkan aku tak bisa menggerakkan mata meski hanya ingin mengerling sebentar. Tubuhku seperti bukan milikku lagi. Sayup-sayup desis angin terdengar dan bagai menjelma suara berbisik; mengatakan bila takdir tak dapat diubah, kematian tak dapat dihindarkan, dan manusia tak bisa melawan. Lantas kudapati kerumunan manusia terbakar itu tubuhnya koyak dan meledak menjadi kepulan asap hitam. Berganti burung gagak bermunculan dan beterbangan ke angkasa.

Kemunculan gagak-gagak itu baru terjadi lima tahun belakangan ini. Tepatnya ketika tanah bekas bangunan pabrik yang lama terbengkalai telah berganti bangunan baru berupa rumah susun ini. Burung-burung gagak itu pertama kali muncul di suatu pagi di tanggal 26 Oktober 2067. Tepat 50 tahun setelah sebuah tragedi mengenaskan pernah terjadi.

Dulu, kata Lukman bercerita selepas aku tersadar, di tanah ini berdiri sebuah pabrik yang memproduksi petasan. Pabrik itu sudah puluhan tahun beroperasi dan tiada petanda hal buruk akan terjadi. Tapi di Kamis pagi, warga kampung dikejutkan oleh sebuah dentuman di lingkungan pabrik. Dentuman yang menyita perhatian. Dentuman yang melahirkan kepanikan. Di waktu berdekatan rentetan ledakan susulan pun terjadi bagai bom yang terus dilempari di tengah medan perang.

Ledakan-ledakan itu lantas melahirkan titik-titik api yang membesar. Asap membumbung tinggi menggelapkan cakrawala. Para pekerja pabrik histeris. Mereka menjerit dan memekik ngeri. Suara-suara mereka menggantikan alarm kebakaran yang tak berfungsi. Kaki mereka bergerak atas insting, berlari tanpa arah asal selamat. Para perempuan menangis sambil meminta tolong entah pada siapa. Ada yang meneriaki nama kerabatnya. Ada pula yang memanggil-manggil nama anaknya. Ada pula yang berhasil keluar dari pabrik dengan tersaruk-saruk dan napas tersengal-sengal.

Kebakaran itu menewaskan puluhan orang di tempat. Mereka habis terbakar di sudut-sudut pabrik. Menyatu bersama jelaga. Menumpuk saling tumpang tindih bagai sampah yang habis ditabun. Tak satu pun mayat yang bisa dikenali. Mereka semua tampak serupa: gosong dan mengenaskan. Kabar duka itu pun meruyak ke seantreo negeri; disebar oleh pewarta dan diteruskan oleh burung-burung. Petugas-petugas pemerintahan lantas memperlihatkan gerakan yang terlambat; mengusut kelalaian pemilik pabrik yang sejak awal tanpa pengawasan.

Selepas tragedi itu berbagai cerita mistis pun bermunculan. Beberapa terdengar layaknya fantasi dan yang lain tak lebih dari karangan imajinasi. Sampai yang paling tenar adanya kabar tentang sekumpulan gagak yang tampak berputar-putar di atas pabrik sebelum ledakan terjadi, meski kemudian gagak-gagak itu sempat menjauh saat pabrik mulai terbakar hebat. Namun, burung-burung hitam itu kembali mendekat saat ledakan mereda, terbang merendah berputar-putar di salah satu titik pabrik—di sudut pabrik yang kemudian ditemukan banyak mayat para pekerja bergelimpangan.

Orang-orang di sekitar pabrik kemudian banyak yang mengaitkan kehadiran burung-burung gagak ini dengan peristiwa kelam di masa lalu. Banyak yang percaya bila roh-roh para pekerja yang mati terbakar itu telah menjelma menjadi burung gagak. Atau mungkin saja jiwa mereka menjadi inang yang menumpang hidup pada tubuh para gagak.

“Kenapa menjelma jadi burung gagak, ya? Kenapa bukan jadi kunang-kunang saja? Kan, lebih indah jadi kunang-kunang daripada burung gagak,” tanyaku pada Lukman yang sedang membuatkan dua gelas kopi di meja makan.

“Mungkin dengan menjadi gagak, mereka bisa memperingatkan banyak orang datangnya petaka atau kematian.”

Ah, manusia memang suka sok tahu, pikirku.

Dan sekarang, siapa pun bisa melihat parade gagak-gagak di atas rumah susun ini setiap tanggal 26 Oktober. Bahkan kabarnya gagak-gagak itu juga muncul di berbagai tempat berbeda. Di bekas gedung mal yang terbakar oleh penjarahan di masa silam, di bangunan hotel yang dulunya sebuah kampung yang sengaja dibakar, di atas pemakaman tempat orang-orang dulu dibantai sadis oleh aparat, juga di langit-langit bandara yang dulunya pemukiman kumuh dan penduduknya habis dilindas traktor dan tertimbun dinding rumah sebab enggan digusur paksa.

Kau bisa melihat kemunculan gagak-gagak itu di sana pada setiap tanggal masing-masing tragedi itu terjadi. Selama itu kau akan melihat langit menjadi gelap dan betapa kelam. Udara pengap dan gerah, hingga hidungmu bisa sangat peka mencium bau apak yang mengerikan.

Itulah bau kematian. []

Baca Juga: [CERPEN] Jatuh dan Patah Padamu

Rahardian Shandy Photo Verified Writer Rahardian Shandy

Rutin menulis sejak 2011. Beberapa cerpennya telah dibukukan dan dimuat di media online. Ia juga sudah menulis 4 buah buku non-fiksi bertema bisnis. Sementara buku fiksi pertamanya terbit pada 2016 lalu berjudul Mariana (Indie Book Corner).

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya