[CERPEN] Aku Ingin Tidur

Ma, di mana? Sudah tidur?

Ketika masih kecil, sering kubayangkan betapa serunya bisa tetap terjaga hingga pagi. Aku tak perlu tidur malam, yang saat itu bagiku hanyalah kegiatan mengurangi waktu untuk menikmati dunia. Aku ingin bebas melihat rupa-rupa dunia malam. Apa yang ada di luar sana?

Kehampaan.

Itulah jawaban yang kudapati atas semua pertanyaanku tentang bagaimana rupa-rupa dunia saat malam hari. Aku tetap terjaga malam ini dengan perasaan hampa.
Beberapa malam belakangan kugunakan waktu yang seharusnya untuk beristirahat dengan tetap terjaga sepenuhnya demi menyelesaikan skripsi. Waktu tidurku tetap ada, hanya berpindah dari malam ke siang.

Untuk menjaga fokusku di depan layar, kusetel musik dengan volume tinggi melalui headset. Sesekali, kubuka ponselku melihat pembaruan di medsos atau video di YouTube untuk membunuh jenuh.

Tetapi rasa bosan tetap datang. Mataku mulai lelah menatap layar laptop ataupun ponsel. Telingaku mulai jemu mendengarkan musik. Hal-hal di sekelilingku terasa hambar. Pikiranku kehilangan gairahnya untuk mengerjakan skripsi. Aku berbaring telentang menatap langit-langit. Langit-langit yang kosong. Menatap langit-langit yang kosong dengan tatapan kosong.


Apa langit yang sebenarnya sekarang juga kosong?


Kalau kuingat-ingat, aku menyesal dulu waktu kecil sering berusaha begadang. Tidur malam ternyata bukanlah keharusan melainkan anugerah. Betapa banyak anugerah waktu tidur yang kusia-siakan. Bukankah ini keinginanku semasa kecil untuk tetap terjaga sepanjang malam? Kenapa begadang tak semenyenangkan imajinasiku saat masih anak-anak?

Mengenang kembali masa kecil membuat aku teringat dengan alasan lain kenapa aku dulu sering berusaha untuk begadang.

Sewaktu masih anak-anak, aku sering mengalami mimpi buruk. Tidak hanya bermimpi. Kadang kala aku berteriak-teriak, kadang-kadang aku menangis terisak di dalam tidurku. Di malam-malam yang lain, orang tuaku akan menemukanku tengah tidur sambil berjalan hingga ke ruang tamu. Gangguan tidur yang cukup mengerikan untuk anak-anak. Mungkin karena hal itulah, Mama melakukan suatu ritual kepadaku.

Setiap malamnya, Mama akan masuk ke dalam kamarku lalu membisikkan pelan sesuatu di telinga kiriku. Mungkin doa, mungkin puisi, mungkin mantra, mungkin pula hanya kalimat: Someday you’ll fall in love with people you can`t have.

Aku tak pernah bisa mendengar jelas apa yang Mama bisikkan ke telingaku. Jika bisikan telah selesai dirapal, Mama akan mengusap lembut kepalaku lalu kemudian keluar dari kamar. Aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya Mama lakukan itu. Yang aku tahu, mimpi buruk yang kualami berangsur menghilang.

Aku selalu berpura-pura tertidur ketika Mama melakukan ritualnya. Aku bisa saja bertanya secara langsung kepada Mama tentang apa yang selalu dilafalkan dalam ritualnya, namun itu berarti aku mengakui tak pernah tidur tepat waktu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Sebelum melakukan ritualnya, Mama akan memperbaiki posisi selimutku terlebih dahulu. Aku yakin Mama sebenarnya tahu kalau aku sedang berpura-pura tidur ketika itu. Selagi Mama tak pernah mengatakan secara langsung kalau dia tahu aku pura-pura tidur, kurasa, lebih baik juga aku tak pernah mengakuinya.

Kadang, ada banyak hal yang lebih baik dipendam meski sudah tahu sama tahu kebenarannya. Mama tetap saja melakukan ritualnya—mengabaikan fakta bahwa aku sebenarnya belum tidur di jam seharusnya aku tidur. Aku bisa merasakan napas Mama. Namun tidak dengan kata-kata yang diucapkannya. Setelah bisikan rampung dirapalkan, Mama mengusap pelan kepalaku lalu keluar dari kamar.

Aku langsung tertidur bahkan sebelum kurasakan Mama telah benar-benar keluar dari kamarku.

Malam-malam di masa kecilku tak pernah lagi diwarnai mimpi buruk. Aku tak pernah lagi bertanya-tanya apa yang ada di luar sana saat semua orang telah terlelap. Aku hanya menikmati masa-masa tidur malamku yang damai tanpa gangguan. Aku hanya menikmati masa-masa ketika Mama melakukan ritualnya membisikkan sesuatu sebelum aku tidur.

Saat aku beranjak remaja, Mama tidak lagi melakukan ritualnya kepadaku. Mungkin karena aku sudah tak punya gangguan tidur itu.

Aku juga tak lagi berpura-pura tidur hanya untuk menyimak baik-baik apa yang Mama bisikkan sebelum aku tidur. Itu sebabnya aku masih penasaran, apa yang selalu Mama rapalkan di telingaku dalam ritualnya?

Suatu ketika, aku iseng meminta Mama melakukan ritualnya kepadaku. Mama mengangguk mengiyakan. Aku lantas berbaring di kasurku sambil memejamkan mata lalu memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan apa yang Mama bisikkan. Aku tetap tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Setelah selesai, Mama mengusap pelan kepalaku lalu melangkah keluar. Lagi-lagi, sebelum Mama benar-benar meninggalkan kamarku, aku sudah terlelap lebih dahulu.

***

Tatapanku kosong. Pikiranku kosong. Hatiku kosong. Hampa. Aku rasa ini semua mungkin bukan karena aku sedang kesulitan tidur tetapi karena aku sedang merindukan Mama. Mama yang sewaktu aku kecil selalu merapalkan sesuatu di telingaku sebelum aku tidur. Mama yang aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mama yang aku juga tidak tahu apakah aku sekarang masih membencinya.

Banyak orang dewasa ingin kembali menjadi anak-anak sebab kedewasaan membuat mereka merasakan sakitnya patah hati. Mereka ingin kembali menjadi anak-anak yang tidak merasakan jatuh cinta sehingga tidak perlu mengalami patah hati.

Aku juga ingin kembali menjadi anak kecil. Anak kecil yang gemar berpura-pura tidur. Aku ingin kembali menjadi anak kecil hanya untuk merasakan bahwa cinta sebenarnya begitu sederhana. Sesederhana bisikan di telinga kiri sebelum tidur.

Ma, di mana? Sudah tidur?***

Baca Juga: [CERPEN] Mantra-mantra dan Sepasang Sayap untuk Helena

Redyantino Susilo Photo Writer Redyantino Susilo

Ingin jadi penulis agar supaya. Senang mendengarkan musik dan cerita kekasih

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya