[CERPEN] Ikan Cupang

Gadis kecilku satu-satunya sudah beranjak dewasa

Kamar ini gelap. Cahaya dari tempatku beradalah yang membuatnya sedikit remang, ditambah dengan lampu tidur di sebelah kasur tentunya. Sepi. Gadis itu masih tidur. Tak lama kemudian aku melihatnya bergerak, masih dalam posisi berbaring. Direntangkannya kedua lengan lalu bangkit dari kasur. Langkah kakinya berjalan ke arahku. Diketuknya pembatas di antara kami untuk menyapa. Wajahnya tersenyum. Aku ingin membalas senyumnya tapi aku tahu aku tak bisa. Langkahnya beranjak ke kamar mandi yang berada di dalam kamar ini juga, pasti untuk berwudu. Usai dari kamar mandi, gadis itu menyalakan sakelar lampu kamarnya untuk melaksanakan salat.

Masih tetap rajin beribadah seperti dulu.

Tiga bulan yang lalu, aku tak menyangka akan bertemu dengannya lagi. Betul-betul keajaiban. Tak pernah terlintas di pikiranku akan bertemu gadis ini. Semula kukira hidupku hanya untuk makan dan memandangi jalanan yang dipenuhi orang-orang berlalu lalang. Sangat membosankan. Sesekali, di kehidupanku yang membosankan sebelumnya aku berharap seseorang akan datang, menunjuk kantong plastik bening tempatku berada lalu membawaku pulang setelah memberi sepuluh ribu rupiah kepada penjualku. Barangkali tinggal di akuarium seseorang bisa jadi jalan hidupku yang baru. Tapi ternyata tidak ada. Aku masih bertahan hingga beberapa minggu lamanya. Suatu sore, nasibku berubah. Seseorang benar-benar datang. Seorang gadis. Gadis itu menunjuk kantong plastikku, membayar sepuluh ribu rupiah kepada penjual lalu membawaku pulang ke rumahnya. Waktu itu aku benar-benar tak mengenalinya sama sekali.

Di dalam rumah, aku sekilas melihat ruang tamu yang entah kenapa tak terasa asing bagiku. Sesampainya di dalam kamar, dia meletakkan kantong plastikku ke dalam sebuah akuarium kaca yang sudah berisi air. Beberapa menit kemudian dia menggunting ujung kantong plastikku, membukanya lebar sambil perlahan mengarahkan aku keluar menuju hunianku yang baru. Tak lama, kulihat seorang perempuan memasuki kamarnya, mengatakan sesuatu kepada gadis itu yang tak dapat kudengar. Saat itulah kusadari betapa nasib begitu berbaik hati kepadaku. Wajah perempuan yang baru masuk itu sudah dihiasi keriput di beberapa sudut namun aku masih dapat mengenalinya dengan baik. Wajah perempuan yang sama yang menemani suka duka hidupku di masa sebelumnya.

Aku pun akhirnya tahu, bahwa gadis yang membeliku ini adalah Rara; anakku sendiri.

Gadis kecilku satu-satunya sudah beranjak dewasa.

*

Rara langsung mandi selepas salat. Ketika Rara berganti pakaian, aku memutar tubuhku agar tak melihat ke arahnya. Andai aku punya kelopak mata, pastilah aku tak perlu memutar badan seperti ini. Tak sopan bagiku melihat tubuh anakku sendiri. Dia sudah bukan anak kecil lagi. Meski aku sekarang hanyalah ikan cupang, dia tetap anakku. Dia boleh saja tidak tahu bahwa aku adalah ayahnya tapi, kan, aku tahu dia adalah anakku.

Kaca akuarium tempatku berada kembali diketuknya. Saat aku berbalik badan, kulihat dia sudah rapi berpakaian. Rara mengenakan baju putih lengan panjang dan rok hitam yang sama dengan warna jilbabnya. Bedak di wajahnya disapu tipis dengan bibir sedikit berkilat oleh pelembab. Seperti ibunya, Rara cantik walau dengan riasan sederhana seperti ini. Kulihat sebuah kertas berwarna hijau berlaminating cukup besar dikalungkan di lehernya.

“Gimana, bagus gak?” Tanya Rara. Aku membaca gerak bibirnya saat berbicara kepadaku. Sejak memeliharaku, Rara selalu mengajakku berbicara. Karena aku tak bisa mendengar suaranya, pelan-pelan aku belajar menebak gerakan bibirnya. Itu sebabnya aku bisa tahu apa yang diucapkannya sekarang.

Kugoyangkan tubuhku beberapa kali, menggerakan sirip sampingku seperti gerakan bertepuk tangan (ikan cupang tidak bisa melakukan tepuk sirip). Kurasa dia tahu bahwa itu adalah tanda setuju dariku. Di kertas berwarna hijau itu namanya tertulis dengan jelas di sana, lengkap dengan tulisan Fakultas Kedokteran. Sepertinya hari ini Rara akan resmi menjadi seorang mahasiswi. Seorang mahasiswi kedokteran; calon dokter. Ayah bangga padamu, Rara!

Rara memasukkan kertas itu ke dalam ranselnya pelan-pelan agar tidak terlipat. Diambilnya benda lain di bawah meja tempat akuariumku. Sebuah wadah plastik. Aku sudah bisa menebak isinya: cacing sutra. Sewaktu masih jadi manusia, aku pernah membaca kalau cacing sutra ini bagus untuk pertumbuhan ikan cupang. Dengan sebuah sendok teh, Rara lalu mengambil cacing sutra itu dari gerombolannya di dalam wadah plastik tersebut. Rara menjatuhkan cacing sutra yang berhasil diambilnya tadi ke dalam akuariumku.

Rara mengetuk lagi akuariumku, getaran yang dihasilkan membuatku segera menoleh ke arahnya.

“Makan yang banyak ya, Kiki,” katanya.

Kiki. Itulah nama yang diberikan Rara untukku. Aku jadi ingat dulu di masa awal pernikahan aku dan istriku, kami memelihara seekor kucing dan kelinci. Kucing kami diberi nama Lala sedangkan kelinci kami beri nama Bubu. Nama keduanya memiliki kesamaan: terdiri dari satu suku kata yang diulang. Saat Rara lahir, kami juga bersepakat untuk memberinya nama dengan satu suku kata yang diulang. Bahkan setelah Rara lahir, kami masih senang memelihara hewan di rumah kami. Kesenangan yang kami turunkan ke Rara. Aku juga ingat, dulu Rara pernah memiliki seekor hamster yang dia beri nama Jeje. Sepertinya Jeje sudah mati karena aku tidak melihat hewan peliharaan apapun selain aku di kamar ini.

Rara melambaikan tangan ke arahku, keluar dari kamar tidur. Hati-hati di jalan, Anakku!

*

Aku dulu bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta sementara istriku bekerja sebagai guru di sebuah SMA. Hidup kami sederhana. Tak ada yang begitu spesial hingga Tuhan menghadirkan Rara di kehidupan kami. Kebahagiaan semakin melingkupi keluarga kecilku, membuata aku tak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan. Rara tumbuh menjadi anak yang pintar dan membanggakan.

Saat itu Rara masih berusia dua belas tahun. Kebahagiaan lagi-lagi datang kepada kami. Rara lulus SD dengan nilai tertinggi di sekolahnya. Sungguh betapa bangganya kami memiliki anak secerdas Rara. Kami bertiga merayakannya dengan makan malam di salah satu restoran favorit kami; restoran tempat aku dan istriku sering kencan saat masih berpacaran dulu.

Dan itulah akhir dari kisah bahagia keluarga kami.

Beberapa hari kemudian perusahaan tempatku bekerja diakuisisi. Pimpinan perusahaan yang baru melakukan pemecatan besar-besaran. Untuk perampingan, dalihnya. Demi menata ulang keuangan perusahaan, aku beserta puluhan rekanku yang lain didepak dengan pesangon alakadarnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Hidup kami berubah sejak saat itu. Dengan uang pesangon yang tak seberapa dan gaji istriku sebagai guru honorer, kami mencoba bertahan hidup. Aku kesana kemari mencari pekerjaan. Tak mudah mencari pekerjaan di masa sekarang. Berbulan-bulan lamanya, aku tak kunjung mendapat pekerjaan. Sempat terpikir untuk menggunakan uang pesangonku untuk membuka usaha tapi aku tak cukup berani mengambil risiko. Bertahun-tahun hidup sebagai pegawai yang rutin makan gaji ternyata melenyapkan nyaliku untuk berdikari. Istriku tetap menyemangati agar tak patah semangat. Namun terlambat. Aku sudah patah lebih dulu.

Sebagai seorang lelaki, aku kehilangan martabatku sebagai suami dan kepala rumah tangga. Gaji istriku sebagai honorer tak selalu lancar. Jika lancar, gajinya baru turun setelah tiga bulan. Suatu ketika gajinya tak kunjung turun setelah empat bulan, bersamaan dengan habisnya sisa pesangonku. Kami terpaksa mulai menjual satu persatu barang-barang untuk bertahan hidup. Untuk menambah pemasukan, istriku rajin mengajar privat. Semakin banyak uang yang dihasilkannya untuk keluarga kami, semakin aku merasa tak berguna sebagai suami.

Mestinya aku tak berputus asa. Mestinya aku bersyukur punya istri yang begitu luar biasa. Mestinya aku bersyukur punya anak secerdas Rara. Mestinya aku memasrahkan nasibku kepada Tuhan, memohon pertolongan-Nya. Bukan malah berpaling pada minuman keras.

Pasrah tak kunjung memiliki pekerjaan, aku sering pergi ke diskotik. Aku pulang setelah beberapa hari kemudian, dengan tubuh kumal penuh aroma alkohol. Uang yang dihasilkan susah payah oleh istriku kupakai untuk mabuk-mabukan. Tolol memang. Aku menyia-nyiakan uang yang diberikan istriku. Alih-alih marah, istriku justru menyambutku dengan tangan terbuka. Dia tetap melaksanakan baktinya sebagai seorang istri. Menungguku dengan cemas di depan pintu, bantu menggantikan pakaianku serta menghindarkanku terlihat oleh anakku sendiri agar Rara tak sedih memiliki ayah seorang pemabuk. Sungguh, istriku bukan manusia, dia malaikat!

Membuatku semakin merasa tak pantas untuknya.

Dia bisa saja meminta cerai kepadaku karena aku akan dengan senang hati melakukannya. Atau boleh saja dia pulang ke rumah orang tuanya, membawa serta Rara lalu meninggalkanku sendirian. Aku akan sangat bersuka cita ditinggalkan dengan kondisi hancur seperti ini daripada anak istriku juga turut hancur bersamaku. Tak ada lagi kebahagiaan yang bisa kuberikan kepada mereka. Aku hanya menjadi parasit bagi keluargaku sendiri.

Suatu malam, aku berkelahi dengan seseorang yang sama mabuknya denganku. Entah siapa yang memulai duluan, aku juga tak terlalu ingat. Yang bisa kuingat adalah orang yang menjadi lawanku ambruk lebih dahulu. Aku kemudian dilempar keluar bersamaan dengan lawanku oleh dua orang bertubuh gempal yang merupakan bagian keamanan diskotik.

Sedikit terhuyung aku beranjak ke tepi jalan, berusaha mencari taksi untuk pulang. Namun tak ada taksi yang menepi. Semua mobil berlalu begitu saja di depanku. Aku akhirnya berdiri di tengah jalan untuk menghentikan salah satunya. Terserah mobil apa saja, aku mau pulang ke rumah.

Dari kejauhan, seberkas cahaya menyorot ke arah tubuhku. Sebuah truk. Aku pikir truk itu akan jadi tumpangan pulang yang bagus namun salah. Aku memang pulang ke rumah setelah itu tapi dengan tubuh tak lagi bernyawa. Truk yang kuhadang membanting stir ke arah samping, membuat badan truk berguling karena kehilangan keseimbangan kemudian jatuh menimpaku. Aku tewas seketika.

Pandanganku serta merta silau dan kehilangan kesadaran beberapa waktu. Dua orang berjubah putih mendatangiku saat aku sadar, mungkin malaikat maut. Inilah akhir bagiku. Mati meninggalkan anak istriku dan bersiap menuju penghakiman atas dosa-dosaku selama hidup. Mereka membawaku ke dalam sebuah ruangan putih lalu meninggalkanku sendirian. Lama waktu berlalu kujalani dengan berdiam diri dalam ruangan putih itu. Aku tak makan, minum, tidur, bahkan buang air sekalipun selama di sana. Setelah sekian lamanya, pandanganku lagi-lagi silau. Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa ternyata aku telah kembali hidup. Aku terlahir kembali sebagai seekor ikan cupang.

*

Hari-hariku sungguh jadi sangat berharga sejak dipelihara Rara. Betapa bodoh aku saat itu, terlalu cepat mudah putus asa padahal aku punya keluargaku yang begitu menyayangiku. Saat Rara berada di kamar, aku selalu memerhatikan gerak-geriknya—kecuali jika dia ganti baju, tentu saja. Jika tidak ada Rara, kegiatanku membosankan. Aku hanya berenang tak keruan mengelilingi akuariumku. Jika sudah kelelahan, aku akan istirahat sebentar. Yah, tahu sendiri, ikan cupang tidak punya kelopak mata seperti halnya ikan-ikan lain. Jadi ketika tidur, aku tetap membuka kedua mataku. Sedikit saja ada pergerakan yang tertangkap oleh mataku akan membuatku langsung terbangun.

Di dalam kamar ini, aku bisa mengamati perguliran waktu dengan melihat ke arah jendela. Cahaya matahari yang menembus kaca jendela dan gordennya membuatku tahu hari telah sore. Rara belum pulang. Biasanya dia selalu pulang ketika tengah hari. Hmm dia, kan, baru jadi mahasiswa. Pasti karena ada kegiatan ospek di kampusnya makanya terlambat pulang hari ini.

Sampai hari berangsur gelap, aku tak kunjung mendapati Rara pulang. Aku pikir awalnya mungkin dia sudah pulang dan sedang sibuk membantu ibunya di dapur. Rara kadang suka pamit kepadaku ketika mau keluar kamar, bilang kalau dia mau membantu ibunya. Kalau dia memang sudah pulang, pastilah dia mandi dulu. Hari sudah hampir gelap, walau sesibuk apapun kegiatan membantu ibunya, Rara pasti sudah mandi sebelum magrib. Ini tidak seperti biasanya.

Kegiatannya di kampus pasti sangat padat hingga terlambat pulang ke rumah. Mungkin aku mesti membiasakan diri untuk hal ini. Anakku sekarang sudah jadi mahasiswa.

Saat aku mencoba untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain kenapa Rara terlambat pulang, sorot mataku menangkap pergerakan dari kenop pintu. Anakku akhirnya pulang! Di wajah, jilbab, dan beberapa tempat di bajunya tampak krim kue warna-warni yang menempel. Matanya basah. Apa yang terjadi denganmu, Nak?

Rara mengetuk akuariumku, mengajakku berbicara. Aku perhatikan baik-baik gerak bibirnya agar bisa mengerti apa yang dia katakan.

“Kiki,” ucapnya dengan tersedu “aku hari ini ulang tahun.”

Astaga! Aku tidak tahu kalau ulang tahunnya hari ini. Meski aku tahu pergantian hari tapi aku tidak tahu tanggal berapa. Tak kusangka hari ini adalah hari ulang tahun Rara. Dia diam sebentar, kulihat air matanya mengalir di kedua belah pipinya. Deras. Dengan hidung yang sepertinya tersumbat karena ingus, dia kembali berbicara.

“Aku kangen ayah. Aku kangen ayah, Kiki.”

Kali ini aku yang diam tak bergerak. Andai aku punya tangan, ingin kupeluk tubuhmu erat, Nak. Ayah ada di sini.

Baca Juga: [Cerpen] Secangkir Kopi

Redyantino Susilo Photo Writer Redyantino Susilo

Ingin jadi penulis agar supaya. Senang mendengarkan musik dan cerita kekasih

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya