[Cerpen] Secangkir Kopi

“Kenapa belum diminum, Bro?”

Kopi lelaki di sudut ruangan mengepulkan uap putih pudar, membumbung perlahan melawan gravitasi. Melayang sebentar di udara, kemudian hilang jauh sebelum menyentuh langit-langit kafe. Aku masih mengira-ngira perihal apa yang membuat lelaki tersebut tak kunjung menyentuh cawan kopinya. Tak biasanya dia seperti itu. Pada hari-hari sebelumnya dia akan menyesap sesegera mungkin kopinya setelah diantarkan oleh pelayan bahkan sebelum pelayan membalikkan badan dari mejanya. Lantas kenapa hari ini dia tak sesegera biasa menikmati kopinya?

Di tengah meja, cangkir berisi gula putih berbentuk kotak ditutup renggang, menyisakan sedikit celah bagi udara dan sendok untuk memindahkan kubus-kubus putih di dalamnya guna memaniskan si hitam. Tidak cawan kopi, tidak cangkir gula, tak satu pun dari keduanya disentuh oleh lelaki di sudut ruangan. Atau, paling tidak ponsel. Aku tak melihat lelaki di ujung ruangan mengeluarkan ponsel dari sakunya sejak awal dia masuk kafe. Lelaki tersebut memasuki kafe seorang diri, menggeser pintu kaca depan yang terhubung dengan sebuah lonceng kecil yang jadi penanda kedatangan pelanggan.

Langkah kaki lelaki itu pelan saja, menatap lurus ke depan tanpa memedulikan sekitar. Derap kakinya mengarah ke meja yang terletak di salah satu sudut ruangan, bersisian dengan jendela yang menampilkan hiruk-pikuk jalanan yang sesak di penghujung minggu. Lelaki itu salah satu pelanggan tetap kafe. Selalu datang sendirian menikmati racikan kopi yang berbeda-beda setiap minggunya, menatap lalu lalang jalanan yang disesaki orang-orang lalu menuliskan sesuatu—yang entah apa—di buku catatan kecil bersampul putih miliknya. Dia tidak pernah terlihat datang selain bersama dirinya sendiri, menyesap kopinya sendiri, sibuk dengan kegiatannya menatap ke luar jendela sendiri.

Bukankah kita semua datang ke dunia ini sendiri dan kelak akan meninggalkan dunia juga sendiri?

Kopi lelaki di sudut ruangan kini tak lagi mengepulkan uap putih pekat. Hanya ada kesunyian antara lelaki dan kopinya di atas meja. Raut nestapanya dipantulkan oleh kaca jendela.

Bosan memperhatikan pelanggan spesial yang tak juga menyentuh kopi pesanannya, aku memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan. Memasukkan butiran biji kopi hitam ke dalam mesin bertenaga listrik. Mengolah larutan berkafein tersebut ke dalam cawan-cawan porselen dan kaca.

Satu-dua pelanggan masuk ke dalam kafe, mengambil tempat duduk tak jauh dari pintu depan. Seorang pelayan tangkas bergerak menuju meja tersebut membawa buku menu. Kafe kami menyediakan berbagai jenis racikan kopi juga makanan. Cita rasa lokal maupun internasional. Dibanding kafe lain yang mengutamakan tampilan kafe yang kekinian sehingga dianggap layak untuk jadi tempat nongkrong anak muda, suguhan kopi di kafe kami memiliki daya tariknya tersendiri.

Sudah semestinya kafe menjadi tempat pertemuan antara para pencinta kopi dan minuman berkafeinnya, bukan sekadar tempat foto-foto guna diunggah ke sosial media demi menyemai puluhan bahkan ratusan tanda hati sebagai pujian.

Entah bagaimana, aku seolah tersihir untuk kembali mengarahkan pandangan ke lelaki di sudut ruangan. Masih senyap. Sepi seolah mengerubungi atmosfer di sekitar lelaki itu. Dia ada, tapi juga tidak ada di saat waktu yang bersamaan. Tubuhnya berada di sudut ruangan, menghadap ke sisi jendela luar. Tatap matanya menembus jendela kaca dan barangkali kerumunan lalu lalang kendaraan. Mungkin mencari jiwanya yang tak tahu di mana rimbanya.

Suara teriakan di luar kafe memecah konsentrasiku. Samar terdengar seorang perempuan berteriak. “Toloooong, jambret,” pekiknya. Bunyi selanjutnya yang terdengar adalah derap kaki sekian orang berlarian menuju ke sumber suara si perempuan. Berada di kawasan padat penduduk tak menurunkan intensitas tindakan kriminal di sekitar sini. Aku berlari keluar dari kafe, mengikuti rombongan pengejar si penjambret. Penasaran dengan nasib barang si perempuan korban jambret juga nasib penjambret jika nantinya tertangkap. Yang terjadi di masa depan masih misteri, bukan?

Kakiku tak perlu dipacu lebih jauh untuk ikut mengejar si jambret. Di dekat persimpangan dekat toko pakaian, si penjambret mesti mengakhiri lomba lari siang ini setelah hampir tertabrak mobil ketika ingin menyeberang. Adegan selanjutnya berubah cepat menjadi laga film aksi kekerasan. Pukulan brutal berkali-kali melayang ke sekujur tubuh si penjambret. Lengkap dengan kalimat main dan sumpah serapah dari para pemukul. Seorang bapak-bapak menyerahkan tas kepada perempuan korban jambret yang berlari terengah-engah ikut mengejar. Aku hanya memperhatikan dari jauh tanpa ikutan memukuli.

Sekian menit menerima pukulan bertubi-tubi dari pengejarnya, si penjambret terbaring tergeletak bersimbah darah. Lebam di sekujur badan dan cairan merah yang semakin banyak mengucur dari tubuhnya menghentikan penyiksaan orang-orang di sekitar. Dua orang polisi datang dengan mobil patroli tak lama setelah itu. Mengamankan si penjambret yang telanjur jadi korban amuk massa untuk kemudian diproses secara hukum.

Usai drama penangkapan jambret, aku melangkahkan kakiku kembali ke kafe. Rombongan pengejar—dan pemukul—jambret tadi juga telah bubar, kembali ke aktivitas masing-masing. Melewati jendela kaca dekat si lelaki yang duduk di sudut ruangan kafe, dapat kulihat dari luar tatapan kosong di matanya yang tak terinterupsi oleh aku yang berlalu di depannya. Apa yang tengah dia pikirkan?

Setelah mendorong pintu depan, aku tergerak untuk menghampiri lelaki di sudut ruangan. Sambil terus mengira-ngira apa gerangan yang membuatnya belum juga meminum kopi pesanannya, aku akhirnya tiba di mejanya. Kugeser kursi di depan lelaki tersebut agak kasar, membuat bunyi decit sebab gesekan dari kaki kursi dengan lantai. Berhasil. Lelaki di depanku memalingkan wajah ke arahku. Aku dengan segera duduk di depannya.

“Kenapa belum diminum, bro?” Aku memulai percakapan, tanpa tedeng aling berbasa-basi.

Lelaki di depanku menyunggingkan sebelah bibirnya membentuk senyum yang jelas tampak dipaksakan.

“Menurutmu?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kamu lagi patah hati...mungkin?” jawabku ragu-ragu.

“Perempuan yang kucintai meninggal dunia kemarin. Aku tak tahu apa patah hati dapat mendefinisikan perasaan yang kualami saat ini.”

“Turut berduka cita kalau begitu, bro.” Ucapku lirih.

“Tak masalah, Bung. Lagipula dia juga sudah telanjur mati.”

Aku memanggil seorang pelayan ke arahku, meminta dibuatkan espreso ke Barista lain. Sebentar saja, secangkir espreso sudah berada di atas meja. Lelaki di depanku kembali menatap ke arah jalanan di luar. Pandangannya tak lagi kosong seperti sebelumnya, membuatku tak terlalu ragu untuk kembali memulai percakapan. Kusesap espresoku untuk sesaat.

“Entah merayakan kebahagiaan paling luar biasa atau duka paling nestapa, kopi tetap teman terbaik, bukan?” Kuangkat cawan kopiku ke arah depan. Lelaki di depanku tersenyum lagi, seolah membenarkan kalimatku. Diangkatnya cawan kopi yang sejak awal tadi tak tersentuh olehnya.

“Untuk perempuan yang tak akan kembali hidup,” ucapnya.

“Untuk kopi yang tak akan pernah mati,” balasku.

Kami menyesap kopi bersama-sama. Selang beberapa detik, cawan kopi kami telah mendarat kembali ke atas meja. Ada gejolak berbeda yang kurasakan di dalam diriku sesaat setelah bibirku melepaskan diri dari cawan espresoku. Dapat kurasakan jarum merah di arlojiku detaknya terasa melambat. Berhitung dengan waktu, kuajukan pertanyaan basa-basi, guyonan tentang kopi.

“Kau tahu, kopi, kopi apa yang paling berbahaya?”

Alis lelaki itu menekuk. Bingung dari mana datangnya pertanyaan yang lebih mirip teka-teki anak sekolah itu kuutarakan.

“Entahlah, Bung. Aku menyerah.”

Ahh, mudah sekali dia menyerah. Ini jadi kurang mengasyikkan. Aku melirik kembali ke arlojiku, kembali berhitung. Lelaki di depanku menatap heran, menunggu jawaban yang agak lama kutangguhkan.

Oke, ini saatnya.

“Kopi...lih perempuan yang salah untuk diajak bercinta.”

3...2...1 Lelaki di depanku tumbang ke samping, langsung mendarat ke lantai. Satu nyawa lagi lenyap oleh secangkir kopi.

Baca Juga: [CERPEN] Tentang Siapa yang Membunuhmu dan Terkubur di Tempat Entah

Redyantino Susilo Photo Writer Redyantino Susilo

Ingin jadi penulis agar supaya. Senang mendengarkan musik dan cerita kekasih

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya