[CERPEN] Nona Lizzy

Mengenai ketangguhan dan kesabaran seorang nona kecil

Senin, 1 Mei 1995

Dear Diary.

Sudah berlalu masa di Asrama. Oh rasanya, saya ingin berbuat sesuatu. Oh ya... saya tak yakin itu apa, ya? Lagi pula buat buat apa, sementara ini sudah lupa apa yang harus saya katakan barusan.

Dan sepertinya saya ini amnesia.

Atau...

Lebih baik begitu saja, biar tak merasakan apa-apa.

***

Dear Diary, pernah bujukanmu membawa ke alam ilusi, terbuai. Bibirmu berbisik di telinga dan mengatakan sesuatu yang membuat diri ini terlena. Masa-masa itu telah berlalu, tiada saya mempersalahkan kepergianmu. Setidaknya engkau pernah memberi sesuatu yang berarti, moment.

Sejak semula telah disadari, “Kau bukan milikku dan siap kapanpun kehilanganmu, berikut kebersamaan dengan dirimu.”

Tak terasa, telah lama masa berlalu, terkikis segala peristiwa bersama rintik-rintik hujan yang bersimbah membasahi bumi, malam tadi. Separuhnya gersang, diselang-seling kemarau, hingga setahun berlalu.

Tahukah dirimu itu, semalam hujan turun, seperti di awal pertemuan dulu kau mengetuk pintu kamar ini, membujuk untuk mempersilahkan kau masuk, memberikan diagnosa, tentang mengapa saya sakit, merasa sakit.

“Bukankah wajar seseorang itu pada akhirnya merasa sakit, dan betulan sakit.” Sanggah saya, begitu kau berhasil membujuk untuk membuka pintu kamar, lalu duduk menyimak apa yang pada akhirnya saya utarakan, kepadamu.

“Menjadi tidak wajar, bila seorang gadis sakit tak tahu cara mencari pertolongan, apalagi mengurung diri dan tidak mengijinkan orang-orang yang menyayangimu memberikan pertolongan, Nona Lizzy.” Dr. Beniqno, begitu saya membaca sebaris aksara di papan nama jas putih yang melekat bagus pada tubuhmu.

“Apakah dokter pernah merasakan sakit?” Saya menyela, dengan membiarkanmu mendiagnosa kondisi saya menggunakan stestoskop oleh tangan terampilmu, penuh kelembutan yang luwes.

Sesaat kau menatap balik, “Sakit... saya? Iya! Sudah sejak lama.” Lalu kau beranjak membereskan peralatan, sambil mengatakan, “setiap orang pernah merasakan sakit, itu betul. Dan tidak semua rasa sakit butuh penyembuhan, ada sebagian rasa sakit yang tetap dibiarkan, entah untuk alasan apa, tentunya bersifat pribadi.”

“Lalu apa hasil diagnosa dokter, terhadap saya?”

“Kau tidak tertolong lagi, sakitmu telah sangat parah, Nona Lizzy!” Kau mengatakan seolah tak punya perasaan, dan jahat! Seolah bersengaja membuat saya kesal, berlanjut ucapan, “Kau sendiri yang merasakan sakit, tapi berlaku egois dengan membawa orang-orang di sekelilingmu turut serta.”

Ingin rasanya saya menjerit, dan mengusir dokter muda itu keluar dari kamar, tapi wajahnya seolah beku merekam satu ekspresi yang mana sejak tadi tak berubah, tetap tenang. Bagaimana lelaki itu boleh tetap tenang, sementara dunia sudah sangat kacau? “Kau sama saja dengan semua orang yang saya jumpai, dokter.” Membuat saya harus mentaati apa yang mereka anggap benar.

“Kau belum berjumpa dengan semua orang, kau hanya bertemu dengan replika orang-orang rekaan dalam pikiranmu sahaja.” Seolah dr. Beniqno mengatakan, bahwa aku bukan ahli jiwa, dan bukan dokter umum seperti diriku untuk menangani orang sepertimu, Nona Lizzy.

Jahat sekali, padahal sekilas tadi wajahnya penuh kehangatan, seperti malaikat yang mengembangkan sayap putih di balik punggungnya, mendekat dan menyampaikan untaian kata-kata penuh harapan.

Tidakkah kamu tahu, mengapa saya begini, mengurung diri dan memutuskan sakit selamanya hingga tak tertolong lagi? Tidak seorang pun tahu, kecuali lebih baik saya menghilang saja. “Kalian selalu benar dengan segala otoritas atas saya,” tiba-tiba air mata ini menitik, mengenangkan setiap peristiwa yang mana saya ditempatkan seolah raga tak punya jiwa, dengan tanpa kewenangan untuk berfikir secara mandiri. Gadis bodoh, suatu bentuk material yang patuh untuk dipajang pada etalase sebagai simbol kecantikan dan kepemilikan.

Setelah kehilangan masa kanak-kanak untuk dididik sebagai gadis anggun penuh kelembutan, mereka mengirim saya ke Asrama Putri, bukan dididik untuk pintar, melainkan menjadi seorang wanita yang terhormat atas nama status sosial keluarga, sebagai putri kalangan aristokrat. “Sungguh saya tak mengingini kembali ke Asrama Putri, dokter.”

“Dan apakah kau marah, Nona? Itu artinya kau cukup sehat dan kuat untuk menunjukan kemarahanmu. Maka marahlah! Tunjukan nona mampu menyalurkan energi kemarahan lebih kepada memperbaiki apa yang dipadang keliru.”

Saya hanya perlu cangkang, dokter. Seumpama keong laut yang memutuskan menarik diri dari ruang terbuka, lalu meringkuk di dalam selnya atau memilih terpenjara, terperangkap dalam ruang yang saya ciptakan sendiri. Mungkin itu pertahanan, walau dengan lenyap dari kehidupan.

“Dengan membukakan pintu untukku, setidaknya kau masih percaya akan harapan, Nona Lizzy. Ada secercah antusiasme yang tak boleh kau bunuh begitu saja,” lepas berkata, kau pamit. “Selamat malam, Nona.”

***

Dear Diary…

Entah energi apa yang disalurkan olehnya kepada raga ini? Usai peristiwa bersamanya berlalu, sepertinya saya butuh bangkit dan memaafkan diri sendiri, tidak larut atas kekacauan yang selama ini terjadi, bahwa itu di luar kuasa siapapun. Bersikap wajar dan kembali ke asrama meniti pendidikan, bukan untuk berlari dari kehidupan konservatif yang mengukung kebebasan, tapi memang begitulah cara kerja kehidupan, yang mana sesuatunya tak senantiasa berjalan seperti harapan, namun mesti sesuai aturan.

“Kau tak harus kehilangan harapan, Nona Lizzy.” Saatnya keluar cangkang, Nona Lizzy. Demikian maksud tersirat, agar tetap tegar. Ada saat kau kehilangan segala keleluasaan, dan hidup dalam suatu otoritas. Untuk? “Pada saatnya kepompong terkoyak, menyeruak out of cell.”

***

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Dear Diary…

Dan angin berbisik bersama tirai-tirai malam di jendela yang mana saya terbaring di peraduan, sendirian di malam-malamnya, dalam Asrama.

Katanya; “Kamu kangen,” namun oh… saya memahami sepenuhnya itu ilusi.

Perjumpaan itu singkat, manalah boleh gadis belia semisal saya terpikat oleh seseorang yang hadir sesaat, dengan menjadikan perasaan semu tersebut sebagai keyakinan yang dapat dipegang? Ternyata perasaan terluka bukan oleh sebab seseorang di luar diri kita melakukannya semata-mata, tapi kita jua turut menaburi sendiri luka dengan garam. Memupuk harapan dan terluka oleh karenanya.

Walau sepenuhnya menyadari tak boleh memupuk perasaan terhadap dokter Beniqno dengan memujanya bak malaikat penyelamat jiwa, “Karena kau tak siap terluka, Nona Lizzy.”

Tidak! Saya tidak takut lagi terluka, lalu memberanikan diri menulis sepucuk surat buatnya, walau entah harus memulai dengan kalimat seperti apa, tepatnya.

Menyapa, “alo?” Bertanya kabar, atau cuaca yang tengah dirasakan di mana kau berada. Sambil mengingatkan diri, “Mungkin tak ada balasan.” Dengan pembelaan diri, ini demi memupuk semangat hidup, menanti seseorang dengan penuh keyakinan, seperti udara menyambung nafas kehidupan tiap saatnya.

Sore tadi hujan, di Asrama. Meninggalkan genangan air di halaman seolah cermin menghadap langit, saling memantulkan masa lalu dan yang akan datang kehadapan. Tiba-tiba, kau ada, setelah sekian peristiwa kehilanganmu, ya… “Kau ada!”

Hujan semalam membawamu ke mari, langkahmu nampak dari kejauhan gerbang masuk gedung Asrama mengenakan mantal jaket, kian mendekat.

Itu ilusi, tapi terasa nyata. Nyatanya itu memang, “Kau!” Seolah seluruh tubuhku melonjak, menatapmu di balik jendela, lalu bergegas menuruni tangga menuju hall asrama, ke pintu utama.

“Kau?” Saat ini saya menatapnya, dan ia pun balik menatap. Itu dua tahun lalu, dan bagaimana mungkin lelaki itu mengingat gadis belia dari sekian banyak gadis-gadis atau siapapun yang pernah dirawatnya.

“Nona Lizzy.” Senyummu terpulas manis, di bibir.

Dan sangat tak saya duga, kau masih ingat ternyata! Tiba-tiba antusiasme pertemuan ini redup, kau bilang bahwa kedatanganmu ke mari, merawat Suster Kepala Asrama, … tentu bukan untuk menemui saya.

“Alo dokter?” Dan itu tidak apa-apa. Saya tidak akan lagi mengijinkan diri ini terluka, oleh harapan yang tak sejalan realita. “Saya akan mengantar doker Beniqno ke ruang Suster Kepala.”

“Terimakasih, Lizzy.” Sambutmu, dan perasaan ini mengatakan surat yang saya kirim, bilapun sampai ke tangannya, entah. Mungkin tak sempat ia baca. Itu hanya kelakuan gadis bodoh, seharusnya saya malu.

Sebelum matahari tergelincir sepenggalan, dokter pamit dan mengucapkan terimakasih bahwa selama ia berada di Asrama, “kau sudah sangat membantu, Nona Lizzy.”

Dan saya meyakini, dokter itu tidak pernah membaca surat yang saya kirim padanya. Satu hal sebelum ia menaiki mobil yang terparkir di halaman gedung, sambil membuka payung, dan mengatakan bahwa, “Saya bangga kepadamu, Nona Lizzy.”

Tentu saja saya menyambutnya dengan senyuman terkembang, bukan sedang memupuk harapan buta, sebaliknya menguatkan agar tetap tegar, bahwa tak semua orang mendapat apa yang mereka inginkan.

***

Dear Diary... Liburan semestar ini, saya telah berada di beranda rumah, meracik teh buat Ibu yang duduk, tersenyum simpul. Sambil menyimak kehadiran ayah, menerangkan rencana-rencana bagi saya ke depannya. Lalu tiba ke pembicaraan rencana pernikahan saya kelak bersama orang yang terpandang lagi berada, “Demi masa depan dan kebahagiaanmu, Lizzy sayang.”

Hingga pada saatnya tiba, baiknya saya tetap tersenyum menyimak dan meng-iyakan pendapat semua orang yang memiliki otoritas terhadapku, dan bersabarlah. Secercah ingatan sebelum dokter naik ke dalam mobil waktu itu, tepat pintu terbuka. Dokter Beniqno, menolah dan menatap saya yang mengantarnya ke halaman, “sampai saatnya tiba, tetaplah tersenyum dan turut dalam segala rencana baik.”

Setelah itu....

“Lakukan apapun yang kau kehendaki, Nona Lizzy. Begitu kehidupan ada dalam genggamanmu.” Ia masuk ke dalam mobil. Terakhir sebelum kami benar-benar berpisah, “tetaplah di Asrama.”

Setelah itu saya akan pergi, bukan untuk kembali ke rumah. Mungkin mencari kehidupan yang saya rindukan, entah kemana. Begitu kendaraanmu melaju kian jauh, berupa bayangan di kejauhan yang nak hilang di bawah redup matahari, saya melihat tujuan. “Mungkin mencarimu, dokter.” Bila saat itu tiba, out of cell... tubuh ini akan merayap seperti keong laut menuju deburan ombak laun di pesisir pantai, atau menyeruak serupa kupu-kupu yang melayang keluar dari kepompong.

***

Dear Diary...

Pada hari itu tiba. Perang Dunia Ke II meletus, dokter Beniqno dikirim ke selatan untuk merawat para tentara perang. Dalam kecamuk perang, entah... apakah saat-saat itu akan tiba? Dan semuanya apakah akan tetap sama, seandainya kita bertemu untuk kesekian kali.

Selepas hari berlalu menamatkan pendidikan di Asrama Putri, di tepi pantai dan debur ombak, serta pasir-pasir pantai yang terhampar di mana kini kaki ini berpijak. Langkah ini menuju ke sana, bersama keong-keong kecil merayap dengan bergegas menuju deburan ombak.

“Saya benar-benar tidak akan kembali ke rumah.” Biar kehidupan menjadi rumah untuk kembali.

#EnRaga

Regan Farma Photo Writer Regan Farma

life is journal

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya