[CERPEN] Aku (Bukan) Penulis Tanpa Nama

Curahan hati perempuan pekerja kata

Segelas kopi hitam tersaji di atas meja kerjaku. Rasanya pahit, toples gulaku malam ini sudah terkikis sampai ke dasarnya. Hanya ada selembar lima ribu dalam dompet lusuhku. Kata simbah, itu bahkan tidak cukup untuk membeli gula barang seperempat kilo saja.

Di saat seperti ini, aku berharap gajiku berubah menjadi saldo rekening dengan enam nol. Ah, faktanya mereka lagi-lagi hanya berjanji akan melunasinya, tanpa membayar yang sebenarnya. Aku ini apa? Pekerja sukarela atau yang sejenisnya?

Aku menghela napas. Rasanya seperti tidak ada lagi sisa oksigen dalam kamarku yang gelap. Mungkin semuanya sudah berkemas. Bermigrasi ke ruangan yang lebih terhormat dari sekedar ditarik dan dihembuskan.

Orang bilang aku mungkin depresi. Tatapan mataku kosong, wajahku layu, perasaanku tidak menentu. Aku menolak itu. Meskipun saat lupa aku lebih berharap seketika ‘lenyap’ tanpa jejak. Saat menangis meringkuk di ujung ranjang tidak menyelesaikan semuanya.

Alih-alih diberi sepiring nasi, saat ini aku lebih suka ditanya, “Apa kamu baik-baik saja?”

Nyatanya, tidak ada yang seperti itu. Tidak ada yang mengusap air mataku. Tidak ada yang menggenggam tanganku untuk sekedar menguatkan. Tidak pula memeluk tubuhku untuk menenangkan. Dunia terlalu sibuk dengan masalahnya masing-masing. Memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk membeli beras dan cabai yang kian mahal.

“Mungkin sore ini,” hanya itu pesan terakhir yang selama beberapa hari aku terima. Tidak terkecuali hari ini. Tapi sore yang dijanjikan sudah berganti jadi malam. Tidak, mereka tidak menepati janji lagi. Apakah aku kecewa? Ya.

Kopi di gelasku tinggal setengah, sama seperti harapanku. Seperti catatan harian, tulisan-tulisan yang sudah kutulis panjang kini terhapus satu per satu. Hanya tersisa selembar kertas yang tidak lagi putih. Mimpi yang sempat kutancapkan di awal tahun ini perlahan kulepas. Mungkin akan kubuang ke lubang sampah di belakang rumah, atau kubiarkan bermukim manis di dalam gudang, siapa tahu suatu hari nanti aku merindukannya.

Aku seperti ingin mengutuk pilihanku di masa seperti ini. Tapi, bukannya aku sendiri yang sudah memilihnya? Jadi, siapa yang akan aku salahkan? Siapa yang harus kumaki? Diriku sendiri?

Satu, dua, tiga, sudah lima puluh judul yang dihasilkan jariku belakangan ini. Tidak, tidak akan ada satu pun yang bisa mengenali itu milikku. Itu karena namaku tidak ikut lahir saat setiap karyaku dirilis. Aku hanya sosok bayangan dengan karya-karya yang membesarkan orang lain. Karyaku dijual tanpa ‘nama’ dengan imbalan rupiah yang tidak selalu mulus kuterima.

Tuanku sekarang ini lebih sering membuatku bertanya, “Kapan?” Memintaku bergegas memberinya ‘bayi’ baru untuk meraup sekodi koin, tapi lupa untuk membuatnya aku butuh sesuap nasi yang tidak bisa dibeli dengan janji.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Haruskah aku bercerita, menjadi penulis tidak akan menjadikanmu kaya? Bahkan akan ada masanya, melihat sebungkus nasi rendang hanyalah angan-angan. Tapi, untuk apa aku bercerita demikian jika ada mereka di luar sana yang meneguk secangkir takdir ‘manis’ dengan mimpi yang sama. Mungkin, aku hanya belum beruntung. Mungkin aku masih perlu meniti jembatan dan mendaki tebing terjal demi mencapai puncak. Tidakkah puncak terlalu menakutkan? Akankah aku terjatuh saat lupa menjaga tubuhku tetap seimbang di atas sana?

Jariku kembali menari, meskipun ditemani perasaan yang masih saja pahit. Kata-kata yang seharusnya kurangkai terkadang hilang. Pikiranku lebih suka bertanya, “Kapan karyaku dibayar?” Aku hanya tidak ingin menyerah. Sungguh, hanya itu yang saat ini bisa aku lakukan. Taringku tidak akan mempan untuk sekadar menyerang, apalagi mencabik.

Otakku yang lapar harus bisa ditanya sepuluh jari yang siap menari. Akan diisi apa lembaran putih di hadapanku hari ini. Sesekali jariku begitu mudah menerjemahkan setiap kata yang terlintas dalam pikiranku. Sesaat kemudian berhenti, tiba-tiba lupa tanda baca. Jika sudah seperti ini, jariku lebih sering menekan ‘hapus’ daripada melanjutkannya.

Aku bukan tipe orang yang hanya memperbaiki bagian yang kurang tepat. Salah satu huruf dalam satu kata yang kutulis, satu kata itu akan kuhapus. Aku akan memperbaikinya bukan dengan mengganti huruf yang salah. Itu hanya akan merusak imajinasi yang terus berlanjut tanpa tanda koma di dalam otakku. Menghapus satu kata dan melanjutkannya sebagai kata yang utuh untuk melengkapi bagian berikutnya jauh lebih menyenangkan.

Apa aku harus menerapkan hal yang sama pada tuanku kali ini? Dibanding harus terus mendengar janji manis yang tidak kunjung direalisasikan, aku lebih suka membiarkannya tidak mendapatkan ‘bayi-bayiku’ lagi selamanya. Tapi, masih ada hitam di atas putih itu yang mengikat namaku. Mungkin aku tidak akan baik-baik saja jika bertindak tanpa berpikir matang. Ah, bodoh.

Lebih bodoh lagi aku menghabiskan segelas kopi terakhirku sebelum tengah malam. Padahal aku tahu mungkin mataku akan tiba-tiba jatuh terlelap sebelum tulisanku kali ini selesai, tanpa kopi. Aku ingin menyeduh segelas lagi. Tapi, kali ini rasanya pasti tidak begitu pahit, apalagi manis. Jangan berharap lebih kalau pada kenyataannya aku hanya bisa menyeduh ampas sisa segelas kopi yang tadi kunikmati. Setidaknya ada segelas kopi yang air panasnya masih baru untuk menemaniku sampai pagi.

Bayangan di layar komputerku berbisik, “Berhentilah! Carilah pekerjaan yang lebih menjanjikan. Lalu menikah.” Aku selalu tergoda dengan kata-kata semacam itu. Terlebih membayangkan banyaknya rupiah yang mungkin bisa kudapatkan. Sayangnya, selembar kalender lusuh di dinding kamarku mengatakan hal sebaliknya. Aku ini gadis seperempat abad yang bahkan belum mendapatkan gelar sarjana. Jadi, pekerjaan apa yang sekiranya lebih menjanjikan untuk gadis sepertiku sekarang ini?

Sejak kecil aku hanya seseorang yang pandai berkhayal. Aku lebih suka merangkai kata-kata dibanding menghitung angka. Kata-kata yang tersusun rapi dalam sebuah karya adalah jiwa. Aku mungkin diam di dalam sebuah ruangan gelap selama berjam-jam, tapi di luar sana tulisanku sedang ‘bercerita’ di hadapan orang-orang yang membutuhkannya. Mengingatnya saja aku senang. Meskipun sekali lagi, mereka tidak bisa mengenaliku, atau mungkin mereka bahkan tidak peduli siapa aku.

Sayangnya, aku tidak selalu sebahagia itu. Adakalanya aku mengutuk jari-jari dan imajinasiku yang membuat mereka kecewa. Ya, saat karyaku tidak sesuai dengan apa yang ingin mereka baca. Apa aku harus mengemas kotak pensilku dan pensiun? Aku hanya ingin menjelaskan pandangan yang tertulis di hadapan mereka, tapi aku tidak bisa. Mungkin aku tidak punya hak untuk menjelaskan hal semacam itu, tanpa mereka mengenal siapa aku.

Penulis ini, yang namanya tidak bisa ditemukan dalam catatan, selalu sadar karyanya ibarat dua sisi mata pisau. Saat aku lalai, mungkin kata-kataku bisa menjadi mata pisau tajam yang melukai pembacanya. Mungkin sekelas komentar jahat yang dilayangkan untuk publik figur. Tunggu, tapi bukankah komentar jahat semacam itu juga muncul dari opini yang dilahirkan penulis sepertiku? Menulis apa yang belum diketahui faktanya, demi rupiah, demi pamor yang bisa melambungkan tulisannya. Aku baru sadar, itu jahat! Aku bukan sosok mengerikan seperti itu. Jadi, siapa aku?

 “Jawablah. Aku ini siapa?”

Mungkin suatu hari nanti aku bisa mengulurkan tangan sambil dengan bangga menyebut nama yang terpampang di lembaran karyaku. Tapi, sampai waktu itu tiba, cukup panggil aku si (bukan) penulis tanpa nama. Itu aku, pemilik tulisan yang sedang kamu baca.

Reksita Galuh Wardani Photo Verified Writer Reksita Galuh Wardani

Menulis adalah bekerja dalam keabadian - Pramoedya Ananta Toer

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya