[CERPEN] Hujan

Aku mencintai hujan, tapi itu dulu. Sekarang aku benci!

Aku baru saja memulai langkahku ketika setitik hujan jatuh di keningku. Seketika itu juga aku merasakan beku menjalar disekujur tubuhku. Setitik hujan merampas kehangatan yang semula terjaga dibalik kulitku, menghancurkan kehidupanku sampai ke bagian yang terdalam. Tawaku, hatiku, jiwaku, tak lagi ada setelah hujan datang dengan pasukannya yang tak berperasaan. Aku benci hujan. Benci amat sangat benci.

“Nona, kamu menjatuhkan bukumu!” Teriak seorang pramuniaga dari dalam toko buku.

Air dengan cepat menggenangi tepi jalan, hujan membasahi buku yang baru saja kubeli. Untung saja buku itu belum aku keluarkan dari plastik pembungkusnya.

Aku merendahkan badanku tepat dimana bukuku tergeletak. Kuulurkan sebelah tanganku untuk meraihnya. Tapi baru sedikit saja tanganku melewati perlindungan dari atap toko, titik-titik hujan menghujam jemariku. Terkejut, aku segera menarik tanganku menjauh dari hujan.

Aku tidak suka ini. Aku tidak suka kebekuan menjalar di sekujur tubuhku hanya karena aku menyentuh hujan demi sebuah buku. Tidak. Jangan harap aku akan mengambilnya dan membiarkan hujan tertawa melihat kekalahanku.

Aku berdiri, menengadah menatap hujan dihadapanku. Awan kelabu tipis meremangi langit sore itu. Matahari telah undur diri, satu jam lebih cepat daripada hari-hari sebelumnya tanpa hujan.

“Puaskan dirimu menghukumku, hujan! Aku akan menunggu hingga kau lelah dan berhenti bermain-main di sini.”

Dari tempatku berdiri aku dapat melihat bangunan memanjang dengan tinggi dua lantai di hadapanku. Bangunan berarsitektur serupa dengan bangunan tempatku berada sekarang. Ya, tentu saja, fungsinya sebagai pertokoan. Dan ini toko buku langgananku, satu toko istimewa yang berdiri diantara puluhan butik dan restoran.

Sekian menit berlalu hujan tak juga reda, dari suaranya dapat kusimpulkan hujan semakin merajalela. Kulirik bukuku yang masih tergeletak di sisi jalan. Hampir ditenggelamkan air yang menggenang. Aku khawatir seseorang melintas dan menginjak bukuku yang tak begitu jelas terlihat. Untungnya hujan yang lumayan deras ini membuat orang-orang enggan berkeliaran. Pun di toko ini, belum ada pengunjung lain yang datang setelah aku.

Tiba-tiba pintu sebuah toko aksesoris di depanku terbuka, tiga orang remaja menghambur sambil tertawa-tawa. Mereka setengah berlari berkejar-kejaran di bawah hujan. Sesekali mereka berhenti, bercanda, memukul-mukul hujan agar hempasannya mengenai teman mereka yang lain. Suasana yang kulihat begitu hangat, hujan terasa sangat bersahabat.

Pantas jika kau marah padaku, hujan. Mereka adalah gambaran sepenggal kisah masa laluku.

“Ayo, Anna masuk! Nanti kamu sakit,” pinta Papa, berusaha menarik paksa tanganku.

Tapi aku berkelit, dengan lincah melepaskan tangan Papa, lalu lari lebih jauh lagi. Papa tak dapat menangkapku ketika hujan turun, selalu begitu. Sampai gelegar petir datang membuat ku dengan sendirinya menghambur ke dalam rumah. Aku selalu ingat cerita Papa, kalau tersambar petir kita bisa hangus. Aku tidak suka apapun yang berbau hangus, karena itu aku memilih berhenti bermain hujan daripada hangus. Tapi jika ternyata hujan tak berpetir. Tak ada seorang pun yang dapat menghentikanku.

“Hujan tidak akan membuatku sakit,” ujarku setiap kali Mama mengoceh tentang kebiasaanku bermain di bawah hujan.

Seolah kau ingin mengingatkanku tentang hal itu. Aku yang seperti katak setiap saat bernyanyi berharap kehadiranmu. Aku yang selalu tergila-gila pada desir rintikanmu. Aku yang selalu memeluk hangat dinginmu. Aku gadis yang jatuh cinta pada hujan. Tapi itu dulu, ketika kamu belum merenggut segalanya dariku.

Desember 3 tahun lalu, saat itu hujan turun sangat indah. Hari sebelumnya Papa berjanji akan mengajakku ke puncak. Dan aku menagih janjiku.

“Papa kan sudah janji!” Desakku sambil menarik tangan Papa untuk segera beranjak dari kursi malasnya.

“Tapi di luar hujan, sayang. Kita tunggu sampai hujannya reda ya!” Pinta Papa lembut.

“Hujan itu pertanda bagus. Pertanda hari akan menyenangkan. Ayolah Pa, kita berangkat sekarang saja! Lagipula aku sudah minta Mama bersiap-siap”.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Tapi dengar deh, ada suara petir,” sahut Papa masih juga mencari alasan untuk tidak berangkat.

“Tidak apa-apa kita kan di dalam mobil, petir tidak akan menyambar kita. Kalau pun disambar nanti kita hangusnya bersama-sama.”

“Argh… Baiklah. Kamu ini paling pintar merayu. Papa ganti pakaian dulu.” masih sambil menggerutu papa bangkit dari kursi malasnya untuk berganti pakaian.

Sepanjang perjalanan tak henti kudendangkan lagu Hujan-nya Utopia, kadang kuselipkan dengan lagu Hujan yang seringkali kunyanyikan saat masih kanak-kanak. Selama hujan membuatku senang selama itu pula aku terus bernyanyi.

Mama dan Papa tertawa-tawa melihat tingkahku. Sesekali Mama menutup lubang telinganya dengan jari telunjuk, lalu Papa ikut menggoda dengan meminta Mama meminjamkan telunjuknya untuk menyumpal telinganya juga.

Kami semua bahagia. Keluarga yang sangat bahagia. Hujan yang menghadiahkan kami kebahagiaan itu. Tapi ternyata yang hujan hadiahkan adalah kebahagiaan terakhir kami. Hujan yang tak juga berhenti membuat jalanan menuju puncak licin. Mobil kami tergelincir, hilang kendali dan terjatuh ke jurang yang tidak terlalu curam namun dipenuhi pepohonan besar. Mobil kami menabrak salah satu pohon.

Saat aku sadar kulihat mobil kami rusak bagian depannya. Mama yang duduk di bangku depan merintih menahan sakit, dengan sisa-sisa tenaga Mama berusaha keluar dari dasbor mobil yang menghimpit mereka. Sedangkan Papa, ia sudah tidak lagi bergerak.

Saat itu hujan. Aku mendapati Papaku telah tiada dan Mama dalam keadaan sekarat berjuang untuk tetap hidup.

Saat itu hujan. Aku berhasil mengeluarkan Mama dari dalam mobil. Kedua kaki Mama telah remuk, terlalu banyak darah yang keluar dari tubuhnya.

Saat itu hujan. Aku berteriak minta tolong, tapi yang terdengar hanya desir rintik hujan. Aku menggendong Mama berusaha mendaki sampai kembali ke jalan raya, tapi aku malah terjatuh.

Saat itu hujan. Satu jam telah berlalu dan aku tidak lagi sanggup membedakan mana hujan yang menetes di wajahku, mana air mata yang mengalir di pipiku. Karena Mama tidak lagi sanggup mempertahankan nyawanya untuk menemaniku.

Saat itu hujan. Dan saat itu aku berteriak memaki hujan. Hujan yang telah merenggut harta yang paling berharga yang kumiliki. Hujan yang telah merebut cinta yang tak dapat kuambil kembali. Hujan yang telah menorehkan luka yang pedihnya tak dapat terobati.

“Aku benci Hujan! Benci!” Teriakku dengan suara mengalahkan desir rintik hujan.

“Tapi sampai kapan?” Tanya seorang pria.

Entah kapan ia datang. Pria itu berdiri di hadapanku, memakai payung berwarna biru transparan. Ia memungut bukuku yang sudah tenggelam oleh genangan air hujan.

“Ayo, pulang Anna!” Pintanya.

“Tidak mau! Aku mau tunggu hujan berhenti!”

“Aku kan sudah berulang kali bilang padamu. Jika kamu takut hujan, biar aku yang memayungimu. Aku tidak akan membiarkan setetes pun dari mereka menyentuh kulitmu”

Aku menatap Lyan. Matanya teduh seperti hujan yang dulu pernah akrab denganku. Seperti hujan yang dulu selalu membawa kehangatan di hatiku. Seperti hujan yang entah bagaimana caranya, memaksaku tersenyum lagi.***

Baca Juga: [PUISI] Pada yang Redup

Ressa Novita Photo Writer Ressa Novita

Ketika hidup tidak seindah imajinasi, maka yang kubisa hanya menuliskan mimpi...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya