[CERPEN-AN] Sepatu untuk Mengantar Pagimu

“Saat besar nanti aku ingin menjadi pembuat sepatu..."

Aku melihat penampilanku di cermin kecil. Wajahku nampak kusam dan lesu. Aku rasanya memang masih sangat lelah karena perjalanan jauh kemarin. Setelah sampai pun, kami masih harus mengobrol panjang dengan Kepala Desa. Malamnya tidurku pun tidak nyenyak. Udara malam di desa ini terlalu dingin dan juga sangat banyak nyamuk. Ditambah lagi, biasanya memang sulit bagiku untuk tidur di tempat baru.

Rasanya aku ingin bermalas-malasan saja seharian ini. Tapi hari ini aku harus ke SDN 7 Marina, tempatku akan mengajar dua bulan ke depan.

Aku menghela nafas. Lelah dan sedikit gugup. Aku belum mengajar hari ini, tapi kami masih harus bertemu kepala sekolah dan memperkenalkan diri kepada siswa.

Aku memakai jas almamaterku saat kudengar Kiki, teman se-poskoku bertanya, “Rina, sudah siap?”

Aku hanya mengangguk dan melangkah keluar kamar. Aku baru mengenal Kiki kemarin. Kami berada di universitas yang sama tapi tidak satu fakultas. Faktanya, aku juga baru mengenal lima teman satu poskoku yang lain kemarin.

Aku memiliki sejarah panjang soal berakhir memiliki hubungan buruk dengan teman yang tinggal bersamaku dalam waktu lama, apalagi harus sekamar dan bersama sepanjang harinya. Tapi, aku sudah menanamkan dalam pikiranku, aku tidak akan membuat masalah dengan teman seposkoku. Kami di sini selama dua bulan dan aku tidak ingin menjalani hari-hari dengan hati berat, apalagi pulang dengan meninggalkan kesan buruk.

Aku tenggelam dengan pikiranku hingga tidak sadar kami sudah berada di depan sekolah. Kami langsung menuju ruang kepala sekolah dan disapa oleh ruangan kecil namun rapih. Percakapan dengan kepala sekolah berjalan lancar. Kami hanya perlu menjelaskan kedatangan kami lalu langsung mengatur jadwal. Aku satu-satunya yang memiliki program kerja mengajar sehingga jadwal tidak begitu sulit diatur. Aku mengajar Bahasa inggris pada Senin dan Kamis di kelas empat. Sementara di kelas lima, aku akan mengajar pada Selasa dan Rabu.

Aku memutuskan untuk memperkenalkan diri dulu di kelas empat. Keadaan kelas sangat bising bahkan sebelum aku sampai di depan pintu. Aku sudah memikirkan tantangan ini ketika memilih program kerja mengajar di SD. Kupikir mereka akan sulit diatur. Aku menghela nafas sebelum memasuki kelas.

Beberapa anak-anak melihatku dan berhenti bermain. Anak KKN sudah sering datang ke desa ini sehingga aku yakin mereka sudah tahu aku datang untuk apa. Butuh waktu beberapa menit sehingga mereka semua tenang.

Mataku menyapu seluruh kelas untuk memastikan semua sudah duduk di tempatnya. Aku cukup puas saat mataku tertuju pada seorang anak perempuan yang duduk sendirian di sudut paling belakang. Semua siswa memiliki teman sebangku kecuali dia. Semua siswa menatapku tapi dia nampak sibuk menulis. Dia mengingatkan pada diriku yang dulu. Selalu duduk di sudut belakang, sendirian. Bajunya yang sudah nampak lebih kuning dibanding yang lain bahkan sama persis denganku yag dulu.

Aku hanya mengabaikan lalu mulai memperkenalkan diri. Mereka terlihat antusias ketika mereka tahu aku akan mengajar Bahasa inggris. Berdasarkan percapakan dengan kepala sekolah, Bahasa inggris memang tidak diajarkan di sekolah ini. Mungkin karena itulah mereka senang.

Aku juga meminta mereka untuk memperkenalkan diri satu per satu. Saat aku bertanya siapa yang akan memperkenalkan diri pertama kali di depan kelas, mereka semua berteriak “Niar…!” Aku bahkan mendengar anak menyebut “Niar hitam..” lalu disusul tawa cekikikan.

Aku sempat kebingungan siapa Niar, tapi aku sadar saat mereka semua melihat kepada anak perempuan yang duduk di sudut belakang itu. Ia yang sedari tadi juga sibuk menulis akhirnya mengangkat kepala. Kini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ia memiliki wajah yang manis. Kulitnya memang lebih gelap dibanding kebanyakan orang. Tapi kupikir aku sudah cukup banyak membuka pikiran untuk bisa melihat kecantikan orang dengan versi mereka masing-masing.

Aku tersenyum kepada Niar saat ia menatapku. Aku memintanya untuk naik selembut dan seramah mungkin, berusaha membuatnya nyaman. Ia nampak ragu, namun beberapa saat mulai berjalan ke depan kelas.  Anak-anak lain mulai cekikikan. Aku mungkin orang paling cuek sedunia tapi aku tahu ada yang tidak beres di sini. Anak ini sangat mengingatkanku pada diriku di masa lalu. Masa kecil yang penuh ejekan.

Dia berdiri dengan kikuk di depan kelas sementara anak-anak lain terus tertawa kecil.

“Sepatumu kenapa?” tanya seorang anak laki-laki yang tadi berkata Niar hitam.

Aku melirik sepatu Niar. Sepatunya sudah kelihatan sangat tua bahkan ada robekan di sana-sini.

Kulihat Niar semakin menundukkan kepala. Kuputuskan untuk menghampiri dan merangkul bahunya.

“Namamu siapa?”

“Niar Rahayu”

“Namamu bagus sekali,” ucapku sambil tersenyum.

“Kamu tinggal di mana?” tanyaku lagi. Aku mendengar semua siswa berteriak “di gunung” lalu tertawa. Kali ini aku menegur mereka agar bisa lebih tenang.

Aku mengalihkan pembicaraan dan menanyakan cita-citanya. Ia nampak kebingungan saat aku menanyakan cita-cita sebelum menjawab tidak tahu.

Aku merasakan denyutan sakit di jantungku. Biasanya anak-anak begitu antusias saat ditanya mengenai cita-cita. Dulu, hal yang membuatku terus datang ke sekolah meski terus diejek dan dikucilkan adalah karena cita-citaku, meski itu berubah dari waktu ke waktu.

Aku menghela nafas kecil lalu mempersilahkan Nair duduk.

Mereka semua mulai memperkenalkan diri, meski aku rasanya tidak bisa berfokus. Hari ini sangat melelahkan. Pikirku.

 

****

Hari-hariku mengajar di SDN Marina terus berjalan. Bahkan tidak terasa sudah sebulan lebih aku menjalani rutinitas pagi ini. Kelas lima berjalan cukup lancar. Satu-satunya yang mengganggu pikiranku adalah masalah Niar di kelas empat. Aku mulai bertanya dalam hati, apakah wali kelas dan guru-guru di sini tahu soal Niar. Kupikir tidak mungkin mereka tidak tahu. Teman sekelasnya begitu terang-terangan mengejek Niar. Sementara Niar, seperti biasanya hanya duduk sendiri di sudut paling belakang sambil menulis. Pernah suatu ketika aku bertanya apa yang ia kerjakan. Ia bilang sedang mengerjakan PR. Saat kutanya mengapa ia tidak mengerjakan di rumah, ia hanya bilang tidak memiliki waktu. Aku hanya mengerutkan kening tapi tidak bertanya lebih lanjut.

Terkadang juga ia menulis puisi. Aku sering meminta padanya untuk memperlihatkan puisinya. Aku juga suka menulis puisi. Aku bahkan beberapa kali mengisi perut dengan cara mengirim puisi ke sana ke mari. Karena itu aku tahu, Niar anak yang sangat berbakat.

Aku cukup banyak menemaninya untuk tahu ia sangat pendiam. Ia hanya menjawab saat ditanya. Ia tak pernah berbicara soal dirinya sama sekali. Meskipun kupikir ia sudah cukup percaya padaku ketika beberapa kali ia bertanya soal pelajaran.

Pagi demi pagi terus berjalan seperti biasanya. Murid kelas empat sangat antusias belajar. Mereka berlomba-lomba menjawab saat ditanya, kecuali Niar. Ia hanya duduk tenang sambil memperhatikan. Kupikir tak masalah. Kadang aku mendekatinya dan bertanya apa ia mengerti. Ia mengerti dengan sangat baik. Catatannya pun sangat rapih. Ia anak yang pintar.

Namun pagi ini ada yang berbeda. Niar tidak datang ke sekolah. Aku bertanya kepada para siswa apa ada yang tahu mengapa Niar tidak datang, tapi tidak ada yang tahu. Mungkin ia sakit, pikirku.

Namun tiga hari kemudian, di hari Kamis, Niar masih belum datang. Kali ini aku bertanya pada wali kelas. Ia pun mengaku tidak tahu. Orang tuanya tidak memiliki telpon dan rumahnya sangat jauh. Aku mengernyitkan kening sambil bertanya di mana Niar tinggal. Ia bilang Niar tinggal di rumah kebunnya, di sebuah bukit.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, aku memutuskan untuk menjenguk Niar. Aku bertanya kepada kepala desa mengenai jalan ke sana. Bersama dua teman poskoku, Kiki dan Rara, kami mengikuti petani yang berjalan menuju kebunnya. Kami cukup banyak bercerita dengan petani itu sebelum berpisah. Ia bilang Niar tinggal hanya berdua dengan ibunya, ayahnya sudah meninggal saat Niar masih bayi. Aku tidak tahu bereaksi bagaimana dengan informasi baru ini.

Belum juga beberapa menit kami berjalan, aku sudah merasa kehabisan nafas. Kulihat Rara dan Kiki juga tidak jauh berbeda. Jalanan sangat mendaki dan banyak bebatuan. Kami sesekali bertanya pada petani yang sibuk di kebunnya. Tapi mereka bilang untuk terus saja berjalan. Mungkin sekitar sejam kemudian, kami kembali bertanya pada sekumpulan ibu yang sedang menanam bawang.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Mereka menunjuk bukit di samping kami, katanya rumah Niar ada di puncak bukit. Kami istirahat untuk kesekian kalinya sebelum melanjutkan perjalanan. Ibu-Ibu yang sedang memanen menawarkan kami minum. Aku memang haus sejak tadi. Aku tidak bisa membayangkan Niar harus menjalani ini setiap hari.

Saat sampai di puncak bukit, aku melihat sebuah gubuk kecil. Ada banyak pohon di sekeliling. Pohon paling besar adalah pohon jambu air yang sedang berbuah. Aku menelan ludah melihat jambu-jambu merah itu.

Aku masih melihat melihat ke arah jambu saat kudengar suara kecil, “Kak Rina?”

Aku berbalik dan melihat Niar sedang membawa beberapa potongan tanaman. Aku tidak tahu jelas apa itu. Tapi aku segera tahu saat ia meletakkan di depan kambing-kambing di kandang.

Aku terpaku. Potongan-potongan tanaman itu nampak sangat berat. Kulihat Kiki dan Rara juga terpaku. Kupikir Niar memang tipe anak yang akan mebuat orang dewasa malu karena sering mengeluh. Ia anak yang bisa meninggalkan kesan kuat semakin kita mengenalnya.

“Kak Rina sedang apa di sini?” tanyanya sambil memperbaiki letak-letak makanan kambing.

Aku berusaha tersenyum, “Kamu tidak datang sekolah beberapa hari. Kami khawatir jadi kami datang..” ucapku.

Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menunduk sambil terus membalik tangkai-tangkai berdaun agar kambing-kambing kecil itu bisa makan.

Aku ingin berkata sesuatu lagi saat seorang wanita parubaya datang membawa banyak tangkai berdaun lagi. Sepertinya ibu Niar, pikirku.

Kami sempat mengobrol basa-basi sebelum ia pamit untuk pergi menanam bawang bersama ibu-ibu di bawah sana.

Aku kembali menatap Niar. Aku sangat ingin bertanya mengapa ia tidak datang sekolah, tapi seperti yang kubilang, aku orang yang paling buruk memulai percakapan. Mungkin Kiki melihat keraguanku sehingga dia bertanya “Mengapa Niar tidak ke sekolah?” dalam hati aku berterimakasih banyak padanya.

Niar diam lagi. Aku berdiri tidak nyaman hingga akhirnya Niar menjawab “Sepatuku dirusak anak-anak,” ucapnya lirih sambil terus sibuk memberi makan kambing.

Kurasakan Kiki dan Rara memandang ke arahku tapi aku hanya terus menatap Niar.

“Ibu belum punya uang untuk membeli sepatu baru. Katanya perlu beberapa kali membantu menanam atau memanen baru bisa..” ucap Niar lagi. Aku hanya menelan ludah.

Terlintas dalam benakku untuk membelikan sepatu. Tapi apakah Niar apalagi ibunya tidak akan tersinggung. Aku tahu mereka pekerja keras.

Setelah lama hening, aku mengatakan pada Niar untuk datang bersekolah memakai sandal saja untuk sementara. Ia bilang ia pernah datang ke sekolah memakai sandal lalu dihukum. Aku meyakinkannya dan mengatakan akan berbicara dengan kepala sekolah. Ia dengan ragu mengiyakan.

Setelahnya, aku pulang dengan hati berat. Berpikir bagaimana cara membantu Niar. Hingga malamnya aku terus berpikir sampai-sampai tidak bisa tidur nyenyak. Paginya aku merasa sangat lelah, tapi sedikit merasa senang karena menemukan solusi yang bisa membantu Niar.

“Guys, kita masih harus membuat satu program kerja sebelum KKN berakhir. Bagaimana kalau kita mengadakan lomba?” Aku berkata dengan antusias, tidak sejalan dengan wajah kusamku.

Teman-temanku hanya menatap dengan wajah yang jelas masih mengantuk.

“Kita bisa mengadakan lomba puisi, lomba menulis cerita, lomba cerdas cermat, dan lain-lain..” ucapku kembali. Tidak banyak debat yang berjalan karena mereka semua setuju. Aku hanya berharap agar semuanya berjalan lancar.

 

****

Lomba kami adakan di pekan akhir kami melaksanakan KKN. Rasanya semua hal berjalan sangat melelahkan. Aku juga telah membujuk Niar untuk ikut lomba puisi. Ia seperti yang kuduga ragu namun pada akhirnya setuju.

Hari ini adalah hari lomba. Ketika giliran Niar membaca puisi, aku hampir meneteskan air mata. Ia berbicara soal ayahnya. Kupikir ia sudah menyimpan perasaannya itu sejak lama. Kulihat ibunya bahkan tak sanggup menahan air mata.

Pada saat pengumuman, aku merasa sangat gugup. Juri puisi adalah kepala desa, satu guru, dan satu perwakilan dari mahasiswa KKN yaitu kordinator desa. Saat nama Niar disebut sebagai juara pertama, aku tepuk tangan paling keras.

Aku menyerahkan kotak kado kepada Niar. Kado yang kupilih sendiri. Karena aku yakin dia pasti menang.

 

****

Hari ini adalah hari kepulangan kami. Kami pamit kepada kelurga kepala desa dan beberapa masyarakat sebelum aku meminta kepada teman-teman agar berjalan ke sekolah. Aku ingin pamit kepada murid-murid yang sempat kuajar.

Aku melihat Niar masih duduk di tempat biasanya. Kali ini ia tidak sibuk apa-apa. Sama seperti siswa lain, ia memperhatikan langkahku memasuki kelas. Aku melihat sepatu baru yang ia kenakan lalu tersenyum. Sepatu itu nampak cocok di kakinya, memang kupilihkan khusus untuknya. Aku hanya menyampaikan beberapa pesan sebelum berpamitan.

Aku sudah sampai di gerbang sekolah saat kudengar seseorang memanggilku. Aku berbalik dan melihat Niar berlari ke arahku. Ia memberikan sesuatu di dalam kantong plastik hitam. Dengan heran aku mengambil dan membukanya. Aku tersenyum, isinya jambu air.

Ia lalu memelukku dan berkata, “saat besar nanti aku ingin mejadi pembuat sepatu..” ucapnya.

 

******

Makassar, 22 Mei 2019

Baca Juga: [CERPEN-AN] Setan-Setan di Kepala Saya

Resty Photo Verified Writer Resty

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya