[CERPEN] Sebatang Lilin, Seterang Bintang

Kau hanya menangis bisu ketika hampir padam

 

Aku duduk di sudut jembatan sambil memandang indahnya kelap kelip bintang dan lampu jalan yang menyinari ibu kota ditemani dengan sebatang lilin. Sungguh dingin sekali, rasanya ingin pingsan. Dari kecil aku sudah dibesarkan di Jakarta. Aku cukup mengenal kota ini, tempat pejabat-pejabat menggoyangkan kakinya di atas meja kaca. Aku selalu berharap dan berdoa agar keajaiban datang kepadaku dan adikku.

Setiap hari aku mendorong gerobak ke tempat pembuangan sampah dan mengambil barang-barang bekas yang masih bisa kujual. Setelah terkumpul, kujual sampah yang bisa didaur tadi ke pabriknya. Hal ini kulakukan setiap hari untuk bertahan hidup.

“Kak, apakah kita bisa membeli lilin hari ini?" Tanya adikku.

“Ya tentu saja, kakak akan membelikannya hanya untukmu." Kemudian aku dan Tatan pergi ke toko untuk membeli sebatang lilin. Aku sangat bahagia ketika melihat Tatan tersenyum, walau hanya membelikan ia lilin yang tak mahal. Aku tak tega jika harus membawa Tatan ke sana ke sini. Ia masih kecil, aku tak mau ia merasakan panasnya jalanan, namun aku juga tak mau meninggalkannya di bawah jembatan.

Keesokan harinya, aku terbangun dari tidurku dan menatap keadaan di sekitarku dan kurasakan seperti ada yang berbeda. “Di mana Tatan?” Aku langsung bangun dan terkejut. Kutanyakan pada orang-orang yang lewat di depan rumah kardusku.

“Pak, bu, apa kalian melihat anak laki laki berumur lima tahun dan memakai baju berwarna biru?”

“Maaf, kami tidak lihat!”

Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, ketika semua orang hanya sibuk dengan urusan mereka sendiri.

“Tak adakah yang bisa menolongku? Kumohon, aku tak ingin ditinggalkan lagi setelah kedua orang tuaku."

Tak lama, setelah aku melangkahkan kaki ke seberang jalan, kulihat sekumpulan orang sedang mengerumuni sesuatu.  Aku pun segera melihat apa yang sedang terjadi di sana. Tiba-tiba jantungku berdebar, kulihat adik kecilku tergeletak di atas aspal, kakinya memar. Aku langsung meminta bantuan kepada orang di sampingku untuk membawa Tatan ke rumah sakit.

Setelah beberapa hari di rawat di rumah sakit, aku harus membayar seluruh perawatan atas kaki Tatan yang patah. Karena aku berasal dari orang yang kurang mampu, rumah sakit memberikan keringanan dengan membayar setengah saja. Namun biaya hasil potongan itu tetap saja masih banyak dan orang sepertiku sulit untuk melunaskannya.

Aku pun berpikir keras bagaimana agar bisa mendapatkan uang yang banyak. Tiba-tiba, seorang wanita datang menghampiriku. Ia duduk di sampingku dan berbicara padaku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Saya akan membayar semua perawatan adikmu, dan mengubah nasibnya menjadi lebih baik." Mendengar ucapan tadi aku menjadi bingung, namun wanita itu terus meyakinkanku. Setelah berbincang cukup lama dengannya, menurutku ia adalah orang kaya yang ingin mengadopsi adikku.

Namanya Ibu Tuti, ia tinggal di komplek sukaramai, katanya. Wanita itu tidak membolehkan aku sering-sering bertemu Tatan. Hanya sebulan sekali saja. Kemudian aku berpikir lagi, berat rasanya jika ditinggalkan orang yang disayangi, bahkan aku dan Tatan telah melewati kenangan bersama. Namun apa yang harus kuperbuat? Akhirnya aku mengikhlaskan Tatan di rawat oleh wanita itu. Aku pun berterimakasih padanya.

Kemudian aku menuju kamar perawatan adikku. “Tan, kamu akan tinggal di tempat yang mewah sebentar lagi, tidur di atas kasur yang empuk, bukan di atas kardus (sambil menahan isak tangis)."

“Maksud kakak apa?” Tanya Tatan.

“Ya,  kamu akan lebih baik di sana, dik. Tinggallah bersama Bu Tuti, ia akan merawatmu dengan baik. Jika kamu ingin menemui kakak, kita berjumpa di taman biasa oke!!"

Sungguh, aku tak sanggup menahan air mata. Tuhan, jangan biarkan air mata ini jatuh. Aku segera berkemas dan memasukkan barang Tatan ke tasnya. Saat aku melepaskannya, ia mencium pipiku dan ia berkata, “Kak, aku menyayangimu!” Kemudian ia pun pergi. Aku sangat terpukul dengan ucapannya tadi, dan menjatuhkan air mata.

Sebulan sudah, aku pun segera menuju taman untuk menemui Tatan dan tak lupa kubeli lilin yang tak berharga dibandingkan yang ia beli dengan Bu Tuti. Setelah menunggu cukup lama, kulihat Tatan keluar dari mobil hitam itu. Langsung kupeluk erat tubuhnya dan memberikan lilin itu padanya. Kami terus tertawa bersama, membuat lelucon dan menyanyikan lagu yang biasa kami nyanyikan.

Beberapa menit kemudian, ia harus kembali ke dalam mobil  itu. Tak lupa ia mencium keningku. Hal itu terus kulakukan setiap bulannya. Namun, di bulan ini saat aku bertemu dengannya seperti ada yang berbeda. Raut wajahnya  sangat pucat, ia seperti sedang sakit, tapi aku terus menghiburnya membuat ia tertawa. Ketika aku bertanya padanya, “Tatan kenapa, Dik?” Ia tak menjawab apapun, seperti ada yang ia sembunyikan. Ia memelukku dengan erat. Tetapi kali ini ia seperti tak ingin melepaskanku. Namun, ia harus kembali kedalam mobil.

Pada bulan selanjutnya, di hari itu Tatan berulang tahun. Aku pun dengan senang membeli sebatang lilin dan sepotong donat yang mahal untuknya, aku membelinya di toko ternama di kota itu. Aku kembali menemuinya di taman, tetapi hampir beberapa jam ia tak mucul-muncul. Aku mulai cemas, takut terjadi sesuatu dengannya. Aku segera berjalan mencari alamat rumah Bu Tuti.

Sesampainya di komplek Sukaramai, aku bertanya pada orang-orang yang tinggal di daerah tersebut. Saat kutanya di mana rumah ibu Tuti pada ibu-ibu yang sedang membeli sayur, mereka bilang wanita itu berkasus. Ibu Tuti berkasus atas penjualan ginjal, sudah banyak korbannya.

Setelah mendengar perkataan tadi, hati ku seakan tergores-gores. Kue donat beserta lilin mahal yang tadinya ingin aku berikan pada Tatan jatuh seperti sampah. Penjual sayur itu lalu memberikan aku selembar koran di mana tertera foto korban yang telah tewas. Aku pun mengambilnya, dan melihat foto-foto itu. Air mataku berjatuhan dengan deras. Terlihat jelas bahkan sangat jelas. Tatan merupakan salah satu korbannya. Aku segera melaporkan bahwa aku saudara korban yang terlibat kasus ini.

“Tuhan, bangunkan aku dari mimpi ini, berjanjilah ini takkan pernah terjadi dalam hidupku, KU MOHON!"

Di malam itu, hanya ada baju hitam yang kukenakan dan sebatang lilin untuk menemaniku menerangi pahitnya malam itu. “Terimakasih Dik, atas hari-hari yang telah kita lewati. Berbahagialah di sana. Kau bagaikan lilin yang seterang bintang dan tak pernah mengeluh hingga kau padam."***

callmefa Photo Writer callmefa

[kosong]

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya