[CERPEN] Sejumlah Alasan untuk Hidup 

"Coba aja lo pejam mata dan dengarkan sekitaran lo."  

Seorang lelaki yang memiliki pipi bulat seperti bulan purnama menaiki puluhan anak tangga yang rasanya seperti menaiki bukit terjal dan berbatu. Tanda nama yang tergantung di leher tertera Yudhistira Hadi Sutrisno meliuk-liuk mengikuti arah angin yang berembus melalui celah udara. Wajahnya tampak lesu, diikuti dengan permukaan bibirnya yang kering. Jika ada orang yang pertama kali melihatnya mungkin ia tampak seperti orang yang tidak pernah makan selama beberapa hari.

Lelaki yang akrab disapa Yudi kini berhenti ketika raganya sadar kalau ada di rooftop. Matanya mengamati hamparan langit yang berperan hanya sebagai atap. Saat itu, hampir semua warna biru yang mendominasi ditemani hamparan awan tipis. Terangnya sang mentari yang bersinar di atas kepala membuat awan itu pudar.

Matanya tidak mengarah ke hamparan langit lagi. Kini dia menangkap punggung seseorang berambut pendek yang berdiri di dekat pembatas besi. Dua tangannya terlipat di pembatas tersebut dan pandangannya ke arah gedung-gedung yang berdiri kokoh dan megah dari jauh. Makanya dia tidak menyadari kalau ada orang lain yang diam-diam mengintai.

Yudi yang tidak terlalu mengenal pemilik punggung ini melanjutkan langkahnya ke pembatas besi tanpa ingin ambil tahu tentang pemuda itu. Dia tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Lagi pula, gedung TPI Broadcasting Station―tempat dia bekerja―bukanlah tempat yang amat sepi untuk dikunjungi. Makanya siapa saja  bisa mengenal rooftop ini.

Dia berhenti. Dua tangannya juga memangku kepala yang butuh sandaran. Posisinya jauh dari orang yang tidak dikenali. Dia sengaja menjauhkan diri. Dia hanya ingin menikmati pemandangan kota bersama siang yang saat itu akan meninggalkan Bumi sebentar lagi.

“Kok muka lo kusut gitu?”

Ketika mendengar ada suara berat seorang lelaki yang mengajaknya bicara, Yudi segera melirik ke sumber suara. Tahu-tahu saja, orang yang tadi menjadi titik fokusnya sudah berada di samping sang tuan. Lelaki itu mengenakan kemeja yang bagian pinggangnya dimasukkan ke dalam celana kain, namun tampilannya tampak kumal.

Yudi memutar bola mata ketika tidak sengaja bertemu pandang dengan orang ini. Dia sebenarnya malas menanggapi sang lawan bicara. Dia juga merasa kesal dan kesan pertamanya sudah buruk hanya bertemu pandang. Baginya, orang lain juga akan merasa dongkol ketika bertemu dengan orang ini. Mereka tidak saling kenal, tetapi dia sudah memulai pembicaraan dengan bahasa santai seolah-olah sudah akrab saja. Nama sang insan juga dia tidak tahu.

“Gue lagi ada masalah, sih, sama kerjaan,” jawabnya yang juga menggunakan bahasa santai. Dia tahu ucapan itu terdengar tidak sopan, namun orang itu yang memulainya lebih dahulu. Jika saja dia bisa menendangnya, sudah pasti orang itu berada di angkasa.

“Berat banget, ya, sampai lo capek gitu?” ujar lelaki berseragam lusuh dengan nada prihatin. Tatapannya juga seolah memasang tampang ingin mengulurkan tangan dan memberi bantuan saat ada orang kesulitan. Dia mencoba bersimpati, walaupun bagi Yudi terdengar sok akrab.

“Berasa pengin banget menghilang dari dunia, tapi pasti gak bakalan dikabulin. Mau gimana lagi. Hidup berasa mati, ketika mau mati pun malah diminta tetap ngejalanin hidup. Berasa ada di tengah-tengah tau gak,” tutur Yudi berterus terang. Dia juga tidak peduli bagaimana reaksi orang itu mengenai kejujurannya. Dia yakin pasti orang itu tidak akan peduli juga dengan keadaan dirinya.

Lelaki berseragam lusuh itu memalingkan muka. Pandangannya kembali ke gedung-gedung yang jauh lebih tinggi dibandingkan gedung ini. “Mungkin ada sebabnya kenapa lo gak diizinin menghilang dari dunia,” balasnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kenapa?”

“Karena lo masih dikasih kesempatan untuk ngelihat dunia yang belum lo temui. Lo pasti belum tahu kalau ada dunia yang jauh lebih indah dibandingkan ini. Pemandangan kota dan langit, masih kurang. Lo harus eksplor lagi ke hal yang lebih jauh,” jawab lelaki berseragam lusuh dengan nada serius.

“Terus gue harus ke mana? Perasaan gak ada yang lebih menarik,” ujar Yudi yang mulai tertarik untuk hanyut dalam pembicaraan tersebut. Dia tampak amat penasaran mengenai inti dari pembahasan yang kini terdengar lebih serius.

“Gak jauh banget, kok. Coba aja lo pejam mata dan dengarkan sekitaran lo. Lo pasti bakal paham apa maksud gue,” balas lelaki berseragam lusuh lagi. Dia menambahkan, “Ingat, ya! Amatinya pakai telinga, bukan pakai mata.”

Yudi tidak menjawab, namun dia segera menutup mata sesuai arahan lelaki tersebut. Dalam keadaan tidak melihat apa pun, dia mencoba untuk menajamkan indra pendengarannya. Semula, hanya suara angin yang bertiup kemudian masuk ke daun telinga. Dia juga mendengar suara klakson motor dan mobil yang saling bersahutan. Tidak ada yang menarik, juga membuatnya ragu.

Hingga saat itu, telinganya menangkap satu suara yang terdengar dari jarak jauh. Suara alunan musik dari instrumen yang terdengar merdu, berpadu suara gendang yang mengetuk sesuai irama, berhasil menenangkan jiwanya. Suara musik dangdut.

Sepintas kemudian, dia menemukan tujuan akhirnya. Dia tahu ke mana hatinya ini akan berlabuh. Dia sudah memutuskan apa yang harus dipertimbangkan. Oleh karena itu, dia membuka mata. Dia ingin bertukar profesi menjadi penyanyi dangdut.

Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya perlahan. Senyumnya menyungging dari sudut bibir. “Makasih, ya. Gue sekarang tahu apa yang harus gue lakukan,” ucapnya yang kini merasa lega. Setelah itu, dia berniat masuk ke dalam gedung. “Kalau gitu, gue cabut dulu, ya. Makasih juga sekali lagi,” ucapnya sebelum berbalik badan.

Yudi memutar badan tanpa menunggu balasan dari lelaki berseragam lusuh itu. Dengan hati yang mantap, kakinya melangkah menuju pintu yang sudah siap menyambutnya dari arah seberang. Dia akan masuk lagi ke gedung untuk melanjutkan pekerjaannya. Sekaligus menggapai niatnya.

Hanya beberapa langkah, Yudi mendadak berhenti. Dia lupa akan satu hal. Dia dan lelaki itu sudah saling bertukar pikiran, jadi tidak ada salahnya juga jika bertanya nama. Mereka memang tidak saling kenal, namun dia merasa asing dengan kehadiran lelaki tersebut. Pasalnya, dia tidak pernah melihat keberadaannya. “Ngomong-ngomong―”

Saat berbalik badan, dia terdiam. Tempat ini kosong. Tidak ada orang, bahkan lelaki berseragam lusuh itu tidak ada. Sama sekali tidak ada siapa pun. Dia ditemani udara saja. Jaraknya saja belum terlalu jauh dari pembatas besi. Pintu keluar dari tempat ini juga hanya satu arah saja.

“Gue tadi ngomong sama siapa, jir!”

Baca Juga: [Cerpen] Redum

Riska Septia Photo Writer Riska Septia

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Debby Utomo

Berita Terkini Lainnya