[CERPEN-AN] Waktu yang Berlalu

Cukup memaafkan tanpa harus kembali mengusiknya

Langit sore ini begitu cerah. Aku mengamatinya dari ruangan di kantorku yang paling atas. Terletak ditengah-tengah ibukota. Ditemani teh hangat, nikmat sekali rasanya sore hari ini. Meskipun diluaran sana selalu saja dipenuhi oleh banyaknya kendaraan yang berlalu lalang bersiap untuk kembali pulang.

Sungguh aku sangat bersyukur dengan hidupku sekarang. Hijrah ke ibukota setelah berbagai pengalaman pahit yang aku jalani di tempat tinggalku dulu. Bersama ibu juga kakakku, aku memulai kehidupan yang baru yang jauh lebih baik. Terkadang aku bangga akan diriku sendiri yang bisa mencapai di titik sejauh ini.

Jika teringat 7 tahun yang lalu, bagaimana terpuruknya aku karena sikapnya. Hingga membuat kondisiku berada di titik terendah dalam hidupku. Bagaimana tidak? Ia melenyapkan semua mimpi-mimpi dan citaku.

***

“Ra, sini” Fey memanggilku yang baru saja sampai di sekolah. Ia berada di depan mading sekolah yang sedang ramai karena ada pengumuman baru.

Aku mendekatinya.

Fey menarikku menerobos kerumunan orang-orang yang ada di depan mading itu, hingga kami berada tepat di posisi paling depan mading.

“Liat nih, ada nama lo, Ra” Fey berseru sambil menunjuk mading yang berisi pengumuman seleksi siswa yang lolos lomba puisi tingkat nasional.

Aku masih terdiam, masih belum sadar sepenuhnya. Seolah mimpi yang tidak ingin rasanya aku terbangun. Sampai akhirnya Fey memelukku erat, “selamat Ara, akhirnya satu mimpi lo bisa terwujud” bisiknya ditelingaku.

Aku merenggangkan pelukan Fey, “gue lagi ngga mimpi kan Fey?” Tanyaku.

Seketika Fey mencubit kedua pipiku.

“Aw sakit ih” aku meringis.

Fey langsung tertawa terbahak.

“Lo ngga mimpi, nih liat nama lo” Fey berucap tegas sambil menunjuk namaku yang ada di mading. “Aksara Dwi Putri ada diperingkat pertama dan itu artinya lo yang akan mewakili sekolah kita ke tingkat nasional untuk lomba puisi.”

Aku menarik tangan Fey untuk keluar dari kerumunan itu dan langsung memeluk erat sahabatku itu. Sambil berucap syukur dengan tidak henti-hentinya.

*

Tidak terasa jam istirahat pertama berbunyi. Seperti biasa, aku dan Fey segera keluar dari kelas untuk menuju ke kantin. Tapi, baru kami melangkah keluar pintu, ada yang memanggilku. Aku menyuruh Fey agar duluan ke kantin, kemudian aku berlari ke arah suara yang memanggilku. Arah aku dan Fey berlawanan. Aku masih mendengar Fey berteriak “hati-hati Ra”. Aku hanya melambaikan tangan kanan keatas dan membentuk simbol “ok”.

Jam istirahat begini koridor kelas terlihat sepi, karena hampir semua siswa-siswinya berada di kantin, tapi sebagian lagi juga ada yang memilih tinggal di perpustakaan.

Sari, dialah yang tadi memanggilku. Siswi kelas XII yang terkenal dengan geng centilnya. Bukan, dia bukan ketua dari geng itu. Dia hanya salah satu bagian dari trio tersebut.

“Kenapa kak” tanyaku saat sudah ada di hadapannya.

Posisi kita ada di tangga yang menghubungkan kelas atas dan bawah.

“Sini lo ikut gue” katanya sambil menarik tanganku membawa ke arah pojok tangga.

Disana ternyata sudah ada 2 orang temannya yang tadi aku sebut trio.

“Jadi elo yang namanya Aksara Dwi Putri?” tunjuk seorang bernama Rika. Iya, dialah pentolan dari trio tersebut.

“Iya kak”,jawabku dengan suara yang bergetar.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Pegang kedua tangannya”. Perintah Rika kepada 2 temannya yang langsung saja memegangi kedua tanganku.

“Apa-apaan ini? Lepas--..” belum selesai aku berbicara, mulutku sudah dilakban. Tentu saja aku brontak, tapi tenagaku tidak seberapa dibanding kedua orang temannya Rika yang memegangi pergelangan tanganku.

“Percuma lo berontak, ngga bakal ada yang dengar suara lo disini, mereka lagi pada sibuk makan”. Ucapnya dengan sinis.

Keringat dan air mataku sudah mulai bercucuran. Pasalnya, trio ini terkenal garang bagi siapa saja yang berurusan dengannya. Dan kini giliranku yang menjadi korban mereka. Aku lemas, sudah tidak ada daya lagi untuk mencoba berontak. Aku terdiam mendengarkan Rika berbicara.

“Dengar yah, gue ngga akan biarin siapa pun menghalangi keinginan gue untuk tetap mewakili sekolah di tingkat nasional, termasuk elo”. Setiap ucapan Rika ini penuh penekanan.

“2 tahun berturut gue jadi wakil sekolah dan gue bakal menggenapinya di tahun ketiga ini, tapi tiba-tiba lo muncul dengan polosnya merebut tahta gue” Rika menarik rambutku yang dikuncir. “Jangan mimpi lo.” Ucapnya lagi dengan nada tinggi tepat di teligaku.

Rika melirik kedua temannya, entah apa maksudnya. Seolah berbicara untuk menggeserkan tubuhku mendekat ke arah tangga. Jam istirahat memang segera berakhir. Rika menggerakkan tangannya di udara seraya berhitung, 1, 2, 3.

Kedua temannya melepaskan tanganku, tapi Rika justru menendang kakiku yang benar-benar sudah tidak berdaya. Dengan kesadaran yang hampir habis, tubuhku terjatuh dan menggelinding menyusuri tangga. Hingga akhirnya semuanya gelap.

*

Bau obat-obatan beegitu menyengat di penciumanku. Perlahan aku membuka mata untuk memastikan bahwa aku masih baik-baik saja.

“Alhamdulillah kamu sudah sadar nak.” Ucap ibu seraya mengusap lembut rambutku.

“Bu, kenapa ibu menangis? Bapak mana?” Tanyaku dengan suara yang begitu pelan tapi aku yakin ibu bisa mendengarnya.

Ibu hanya terdiam, tidak menjawab apapun. Justru semakin dalam menundukkan kepalanya.

Aku menyadari sesuatu yang janggal pada diriku.

“Bu, kakiku kenapa tidak bisa digerakkan? Bu, jawab aku bu..” masih dalam posisi tidur aku menangis meronta-ronta karena menyadari kakiku kini tidak bisa digerakkan.

Ibu langsung memelukku. Aku bisa sedikit reda setelah ibu memelukku dengan sangat erat serta tangannya yang terus mengusap kepalaku. Selalu ada kehangatan yang ibu ciptakan. Aku mengontrol diriku. Tangisku mereda. Aku menarik nafas panjang untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk yang aku alami.

*

3 hari berlalu setelah aku dinyatakan boleh pulang. Aku diantar oleh Ibu dan mas Reyno, kakak kandungku. Hari-hari terberat yang aku jalani. Saat ibu, mas Reyno dan dokter yang menanganiku menjelaskan keadaanku.

Kakiku lumpuh total. Iya, semua mimpi dan anganku hancur seketika. Terlebih saat aku mengetahui bahwa bapak juga meninggal karena serangan jantung saat tahu aku dinyatakan lumpuh total.

Mas Reyno yang tidak tahan melihat keterpurukan aku dan ibu, akhirnya mengajak kami untuk pindah ke kota. Tujuannya jelas, agar aku dan ibu bisa melupakan semua kenangan buruk yang menimpa keluarga kami, terutama aku.

***

Di sinilah aku sekarang. Seorang direktur utama di perusahaanku sendiri, Aksara Publishing, dengan tetap masih berada di kursi roda.

Matahari sudah hampir turun, jam kerja juga akan habis. Aku menyempatkan waktu untuk memerika beberapa surat lamaran pekerjaan yang sudah ada di meja kerjaku. Ada satu nama yang menarik perhatianku. CV dengan nama Rika Mayasari dengan status janda beranak 2. Ya, dialah seseorang yang sudah membuat kakiku lumpuh 7 tahun yang lalu.

Tanpa berpikir panjang, aku meremas kertas lamaran tersebut dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di ruang kerjaku. Sungguh aku tidak ingin berurusan dengannya lagi, walau memang aku sudah memaafkannya dan juga karena dialah aku menjadi wanita kuat seperti sekarang.

Tangerang, 23 April 2019

Baca Juga: [CERPEN-AN] Dua Hari untuk Vita

Rizna Hidayah Photo Verified Writer Rizna Hidayah

Sharing | Travelling | Writing

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya