[CERPEN] Ucapan Hujan

Semua ucapannya terngiang dan berbaur dengan bunyi hujan

 

Aku pernah berpendapat kalau manusia memiliki ciri khas masing-masing. Memiliki pembeda antara satu manusia dengan manusia yang lain. Analoginya, bulan tidak mungkin tertukar dengan matahari, karena mereka jelas berbeda, kecuali, memang manusia yang keliru. Bagiku, dia adalah contoh yang begitu rumit. Intinya, ia begitu sulit untuk dimengerti. Dan dia yang ku maksud adalah Ela. Gadis yang lebih dari sekedar dekat denganku. Mungkin bisa dibilang yang paling dekat.

Boleh diketahui aku adalah Aka. Laki-laki yang suka dengan hal yang santai, namun egois. Dan lelaki yang cinta dengan Ela. Aku dan Ela sudah lama saling kenal, hingga menjalin kasih. Di awal kudengannya semua berlalu seperti apa yang dipikirkan. Bertemu, bahagia, sibuk sendiri, lalu saling rindu, kembali seperti biasa, makin cinta, hingga akhirnya mulai curiga. Entah siapa yang memulai, juga siapa yang akan mengakhiri.

Hari masih teramat pagi, embun seolah enggan pergi. Keadaan sunyi nan sepi masih terasa menyelimuti. Alam yang ramai kini seakan telah tertelan bumi. Sunyi sekali. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah gelap. Alam sunyi yang berkasih sepi, kala para sebagian manusia bersua dengan cinta melupakan hari saat jiwa-jiwa mereka terhibur oleh mimpi.

Gadis cantik itu masih terpenjara dalam tatapanku. Sesaat matanya berkedip-kedip. Ku terlena melihatnya. Wajahnya masih tetap cantik terhias air wudhu. Rambutnya hitam lurus, kulitnya putih halus, indah mempesona. Menentramkan relung jiwa dikala aku nikmati auranya. Aku pun masih memandangnya dari tadi, tak jauh dari tempatnya. Namun posisiku itu tak disadari olehnya.

Ela meletakan kitab suci dan rukuhnya. Dari jarak yang tak dekat, kutemani dia bermandi air wudhu. Mengenakkan rukuh dan bertakbir seraya membisu. Aku yang sudah shalat pun hanya diam memperhatikan. Sambil menunggu dia yang sedang berkomunikasi dengan Maha Kuasa. Kuberalih mengambil secarik kertas yang telah kutulis.

Kuletakkan secarik kertas itu di kitab sucinya. Tepat setelah sholatnya selesai. Ia bangkit mengambil kitab suci yang ada disudut mushola. Aku rasa ia kaget melihat suratku. Ia membacanya seakan-akan tak percaya. Aku hanya diam dalam persembunyian dan memperhatikannya. Ia menengok ke kanan dan kiri mencari sesuatu yang aku sendiri juga tak tahu. Tapi aku rasa ia bingung. Ataukah aku yang ia cari? Entahlah aku hanya merasa.

Mentari pun terbangun dan mulai menampakkan sinarnya secara perlahan. Aku terbangun dan sadar kalau apa yang indah tadi hanya mimpi saja. Aku sedikit merasa kecewa, lalu beranjak berjalan melewati ruang keluarga. Kuhidupkan lampu. Dan mengecup kening bundaku disertai ucapan selamat pagi. Ia membalas dengan senyum. Itu menjadi penyemangat pagiku ini. Setelah ibuku, aku ingin menyapa wanita lain yang kusayangi.

Ya benar, Ela yang kumaksud. Kukeluarkan handphone ku dan mengirim pesan padanya. Pesan yang berisi ucapan selamat pagi dengan bumbu-bumbu romantis. Aku pun mulai mengawali hariku, ditemani dengan mendengarkan musik menggunakan headset.

20 menit berlalu, kuberniat mengganti playlist musikku. Disaat kubuka kunci handphoneku, muncul pemberitahuan pesan baru dari  Ela yang berisi. “iya, selamat pagi juga sayang. Maaf agak lama balasnya soalnya bantu bersih2 dulu. Love you.” Begitu dia membalas, percakapan kita semakin hidup. Berkembang kemana-mana. Dan pada pukul 09.00 kita berdua berhenti sebentar karena mau mandi. Mandi selesai, aku telepon dia untuk mengajaknya main. Namun, aku harus menunggu ijin dari mamanya.

Ela pun diperbolehkan.  Mamanya menyarankan agar main ke Mall sekaligus titip untuk dibelikan sesuatu. Aku berpamitan dengan mamanya dan aku diingatkan untuk hati-hati, tidak boleh pulang malam, jangan macam-macam dan nasehat lain yang kerap sekali dikatakan padaku sebelumnya. Aku pun jelas menyanggupinya karena bagiku itu tidaklah sulit. Dan menurut itu menjadi nilai plus ku selama ini dihadapan mamanya.

Kami pun berangkat hati-hati seperti nasehat mamanya. Di jalan kita menikmatinya meski terbilang agak panas tapi kita bahagia karena berdua.  Kita juga menertawakan keanehan yang kita lihat. Sampai akhirnya kita sampai di parkir Mall. Sesudah parkir kita langsung makan. Setelah makan kita nonton. Puas nonton kita makan lagi dan mengabadikan momen seperti anak muda lain.

Disaat kita menunggu pesanan datang, aku membuka-buka handphonenya. Kulihat banyak chat dari lelaki lain. Dan yang buat aku kagum dan makin cinta, tidak sekalipun dia membalasnya. Aku tersenyum melihatnya. Ku buka galeri kulihat foto-foto kegilaan ku dengan Ela.

Kugeser perlahan-lahan ada foto yang mengganggu pandanganku. Terdapat foto Ela dengan teman laki-lakinya saat perayaan ulang tahun temannya. Memang terkesan biasa tapi aku tak suka ada lelaki yang terlalu dekat posisinya dengan Ela saat di foto itu. Melihat ekspresi lelaki itu juga agak nakal membuatku tak nyaman. Tapi yang penting Ela. Dia tidak salah itu sudah membuatku biasa.

Selesai makan, kita langsung mencari barang titipan mamanya, yaitu baju dan jilbab model baru yang terbatas stoknya. Aku pun masuk ke gerai khusus pakaian wanita. Aku menahan tawa dan pikiran anehku saat liat pakaian-pakaian wanita yang di dalam. Ela mengambil barang yang dia rasa cocok. Lalu ia meminta pendapatku tentang warna apa yang bagus untuk mamanya.

Aku bilang ke Ela, “yang merah-merah lebih enak dipandang kok”.

Itu pernyataan untuk menggodanya, karena kebetulan dia memakai baju warna merah. Singkat saja, barangnya sudah cocok. Ela pun mengajak ke kasir buat membayar. Jalan ke arah kasir dia menggandengku dengan mesra. Entah ada maksud lain atau tidak, tapi aku merasa gatal di kantongku. Dan benar aku mau tak mau harus ikut membayarnya. Aku tak tahu memang mamanya yang sengaja nge-test aku atau Ela yang memanfaatkan momen.  Aku mengajaknya cepat-cepat keluar, agar uangku tak banyak yang keluar.

Saat keliling mall melintasi pakaian model baru dan barang diskon, aku selalu dekat dengannya dan mengajak ia mengobrol. Sepanjang jalan aku menggandeng tangannya. Mungkin bagi orang yang melihatnya memang terlihat romantis. Tapi sesungguhnya yang benar agar lebih ekonomis. Aku menggandeng agar dia tidak terpancing dengan diskon-diskon pakaian itu. Yang juga akan mempengaruh keuanganku juga.

Kita berdua pulang. Mamanya berterimakasih padaku. Ela juga dengan wajah agak mengantuk ia mencoba tetap senyum padaku. Aku pamit dan pulang. Saat kulewati persimpangan jalan. Kulihat gadis yang tak asing bagiku. Kuberhenti dulu. Kulihat gadis itu sendiri. Tak lama datang lelaki yang kurasa memang pacarnya. Melihat keduanya aku merasa agak aneh. Entah kenapa aku bingung dengan ini.

Apa aku ingin seperti mereka? Kayaknya tidak, aku sudah bisa. Cemburu dengan lelaki itu? Aku tak tahu, tapi aku sudah bahagia dengan Ela. Aku langsung beralih dan kembali pulang. Dalam perjalanan aku memikirkan Ela dan Gadis itu, aku membandingkannya. Aku bingung kenapa tiba-tiba aku berpikir seperti ini.  Padahal ku telah berjanji untuk setia. Aku memang akan setia, ya mau gimana lagi. Aku juga tidak berusaha menduakan Ela, tapi… aku jadi ragu.

Beberapa hari berikutnya, aku main dengan teman-teman lamaku. Aku juga bercerita dengan salah satunya. Yaitu, Tyo. Ia lebih tua dariku, dan juga memiliki kesamaan hobi.  Kadang aku juga meminta pendapat dengannya. Kesempatan ini pun aku juga meminta pendapatnya. Aku ceritakan apa yang kualami dan masalah yang kutemui.

Apakah aku harus begini, tanyaku padanya. Tidak, begini sajalah, jawabnya.

Dan dapat kusimpulkan aku butuh waktu sendiri. Kurasa aku sudah berada pada titik jenuh. Tak terasa memang sudah lebih dari dua tahun hubungan ini berlangsung. Memang sayang sekali bila harus diakhiri. Tapi aku sudah memikirkannya berulangkali. Dan jawaban hatiku mengatakan akhiri saja. Ya aku pun yakin buat itu. Namun ada beberapa hambatan lagi. Apa alasannya agar dia tidak benci padaku. Aku berpikir berulang-ulang juga belum menemukannya.

Selama aku berpikir, selama itu pula Ela tidak menyadari niatku ini. Sampai akhirnya disaat kita berdua bertemu. Kita saling bercerita, dan tak sengaja Ela menceritakan bahwa dia harus pindah keluar kota. Karena papanya hendak dipromosikan menjadi manajer di suatu perusahaan yang punya cabang di kota itu. Papanya pun menyanggupi, karena memang itu yang jadi targetnya. Dan bukan sesuatu yang mengagetkan, sudah rencana keluarganya sedari aku belum akrab dengan mereka.

Lalu dia meminta pendapatku. Apakah tetap lanjut satu tahun tapi tinggal dengan tantenya yang sibuk atau bahagia bersama orang tuanya di luar kota, namun berpisah denganku.

Ya tanya hatimu aja, aku juga ga bisa maksa gitu aja kan. Ikut orang tua juga gak akan rugi kok”.

Itu sedikit kode dariku agar ia ikut orang tuanya. Karena selama ini aku bingung cari alasan. Tetapi dia yang memberiku solusi. Entah ia akan menerimanya atau tidak aku belum tau. Lalu ia menggodaku.

“Memang sih, anak harus nurut. Tapi aku diberi pilihan kok buat tinggal. Aku kan masih mau dekat dan selalu bersamamu, Aka ku sayang” balas ia dengan manja sekaligus lebay. “Lagian pindah sekolah di kota itu kayaknya bakal gak mudah, deh”, lanjutnya dengan nada yang berbeda.

Itu membuat aku luluh. Dan menjadi tidak tega berpisah dengannya, sungguh aku bingung. Melihat kecantikannya juga membuat aku tidak rela. Dikala aku mendapatkannya aku tidak kuat mempertahankannya lebih lama. Padahal dulu aku mengerahkan segalanya untuk mendapatkannya. Seperti mengorbankan waktu dan sebagian materiku. Bahkan aku merelakan wanita lain yang pernah kudamba untuk orang lain. Wanita yang juga luar biasa kucinta sebelum Ela.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Disaat wanita itu jadi milik orang lain. Aku punya Ela. Tapi jika Ela sudah bukan menjadi milikku, aku punya apa? Itu menjadi perdebatan di dalam hatiku. Lamunanku ini membuat Ela heran. Lalu bertanya,

Heh. Ada apa, Aka? Kok ngelamun sih”

Respon ku, bersikap kembali seperti biasa. Terus aku tak sengaja bicara,

Kamu bayangin gak kalau kita putus?”

“Haa? Aku ga mau bayangin Aka.  Aku cuma ingin yang baik-baik aja.”

 Aku terdiam merasa bersalah bicara seperti itu. Kulihat wajah Ela, wajahnya sengaja dilipat setelah mendengarku berkata seperti itu. Aku berpikir, kalau sisa waktu ini akan terjadi apa saja. Sampai waktu di mana Ela akan benar-benar pindah, tepatnya sebelum kita berpisah. Bukan sekedar jarak, tapi mungkin juga ikatan.

 Setelah pertemuan itu aku rehat bertemu dengannya selama 2 minggu. Karena ia harus melaksanakan ujian. Sebagai lelaki yang ia percaya, aku kan selalu mendoakannya dan memberi ia semangat. Dihari ke dua ujiannya, kuberanikan menjemputnya. Wajahnya terlihat senang. Dan ingin melepas rindu. Aku minta ijin kepada orang tuanya untuk menemani ia belajar. Ku menemani sekaligus mengajarinya. Aku membantunya mengerjakan soal, kebetulan pelajaran kali ini adalah pelajaran yang kuambil diperkuliahan. Jadi, sekalian saja aku manfaatkan ilmuku.

Sudah 75 menit aku menemaninya. Aku rasa cukup. Aku hendak pulang dan membiarkan dia mandiri. Dan sebelum ku pamit. Kukecup tangannya dan mengucap doa-doa. Aku juga katakan,

Sukses buat ujian mu. Semangat”. 

“Siap. Makasih yaa”, balasnya dengan tersenyum.

Beberapa bulan berlalu. Banyak sekali kejadian yang kita rasakan. Dalam sebuah kesempatan ia memintaku untuk jujur. Ia mengintrogasiku. Aku ditanya,

“Aka, apa ada wanita lain yang kau puja selain aku sekarang?

Jelas kujawab tidak ada. Walaupun sesungguhnya belum. Dari semua jawabanku dia merasa lega. Tau-tau dia bilang,

Kita bisa nggak ya, bertahan lebih lama lagi? Walaupun dihalangi oleh jarak. Aka, menurutmu gimana? Sanggup gak ya kita bersama lebih lama?”

Aku merasa bingung apa ia menyindirku.

“Kenapa tidak?” jawabku singkat dan agak gantung.

Dan pertemuanku itu berakhir dengan penuh tanda tanya.Aku sempat mendengar dari Mita. Teman sekaligus saudara jauh dari Ela. Dia menceritakan kalau Ela positif akan pindah. Karena ayahnya sedikit memaksa. Dan mau bagaimana lagi Ela harus nurut. Mita juga bertanya mengenai aku dengan Ela.

“Apa kalian akan putus?” Tanya Mita padaku.

“Mungkin bukan kita, aku yang akan mengakhirinya jawabku datar.

Waktu bersejarah itu tiba. Diatas langit mendung menunjukan kemurungan hati kita yang akan pisah. Kita juga harus memilih. Pisah hanya berjauhan atau pisah saling melepas ikatan. Jawabannya ada pada ketidaksengajaan kita. Aku bicara panjang lebar, Ela pun juga. Dengan beban masing-masing kita berani mengungkapkan masalah masing-masing. Aku yang memulai,

Terimakasih, buat selama ini. Kamu yang mengisi hatiku selama ini. Dan memberiku banyak pengalaman indah”

 “Aka, kamu mau bilang apa? Bilang kita….” Ucap Ela pelan-pelan, belum selesai berkata. Hujan gerimis jatuh dari langit mengenai genting dimana kami berlindung. Seketika hening karena aku meneduhkan motor juga alas kaki kita berdua. Terkesan tidak sopan aku. Tapi aku tak tega mendengarnya. Hujan perlahan makin deras hingga membisingkan telinga.

“Ditengah hujan ini. Kita sampai disini saja yaa. Mungkin aku egois. Maaf, aku menyakitimu. Terserah kamu boleh membenci ku. Dan kusarankan lupakan saja aku, agar kamu tenang. Ini saranku karena aku peduli padamu.”

 Ela terlihat siap, dia pasti sudah tau dari Mita. Tapi tetap saja menangis meski sedikit demi sedikit.

Tak apa kita putus. Aku berterima kasih padamu Aka. Dan boleh kamu tau aku tidak perlu membencimu” balasnya.

Buat apa aku membenci orang yang aku cintai dulu. Kamu pun tetap baik diakhir hubungan ini. Aku sekalian pamit” sambung Ela mencoba tegar. “Jujur, meski ingin tahu, aku sepertinya tak mau tahu alasanmu”

Semua ucapannya terngiang dan berbaur dengan bunyi hujan. Ucapan kesedihan, ucapan tangis, menjadi satu dengan rintik hujan. Seperti hujan yang mengucapkan semuanya padaku. Iya, rasanya ini ucapan hujan.

Anggap hujan yang terjadi ini kenanganku dengan Ela, dan awan itu aku. Aku yang menjatuhkan semua kenangan itu ke tanah. Yang tidak menutup kemungkinan air itu akan menguap kembali jadi awan. Dengan bentuk dan letak yang tak lagi sama. Tapi yang kini terjadi awan berusaha mengeluarkan semua bebannya. Hujan tak akan berhenti sebelum awan itu menyudahinya.

 

Rizqi Akbar Photo Verified Writer Rizqi Akbar

http://siakbar.com/

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya