[CERPEN] Wanita yang Sendiri Bersama Kesedihan

Tak ada ruang bagi tanah kering, segalanya menjadi basah.

 

Aku bertemu lagi dengan wanita yang duduk sendiri di sebuah kedai minuman. Wanita yang belakangan ini sering aku jumpai sendirian. Yang mana ia datang langsung duduk di pojokan dan selalu kudapati ia sering melamun. Aku hanya pegawai sekaligu pelayan. Tak perlu tahu apa yang pengunjung pikirkan, kecuali apa yang mereka pesan.

Sempat aku hiraukan. Lebih baik aku fokus pada pekerjaan paruh waktuku ini. Aku dibayar bukan untuk mengetahui alasan wanita melamun. Yang mana yang kutahu, pasti alasan mengenai cinta yang dibuat mendayu oleh mereka sendiri. Dan mereka akan baik-baik saja setelah waktu dan ingatan itu memudar.

Tapi, setelah berulang kali wanita itu datang, aku mulai penasaran. Kenapa ia sendirian? Kenapa terkadang menangis? Apakah ada masalah? Bolehkah aku bertanya?

Sebenarnya aku tak paham juga apa yang membuatku peduli pada wanita itu. Wanita dengan raut wajah muram dengan pancaran kesedihan di kedua matanya. Aku kira, rasa iba pada beban dan kedalaman perih yang membuat aku penasaran. Setiap aku melihat matanya kuingat hujan. Seperti hujan deras di bulan Januari. Tak ada ruang bagi tanah kering, segalanya menjadi basah.

Hai, wanita yang selalu bersedih. Aku akan menyebutmu itu, jika aku berani menyapamu.

Apa kiranya yang sedang kau pikirkan? Apakah rindu? Pada siapa kau merindu hingga sedalam itu? Kenapa kau tak sampaikan saja padanya? Hingga pikiran dan hatimu menjadi lebih lega.

Atau jangan-jangan luka? Siapa orang yang tega membuatmu terluka? Lalu kenapa kau biarkan dirimu terluka? Kenapa kau tak bagi luka itu? Sehingga kau tak perlu memikulnya sendirian.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Hai, wanita yang jarang tersenyum. Tak adakah segaris senyum dari bibirmu itu? Senyum untuk dunia atau setidaknya untuk pelayan yang selalu menghantarkan pesananmu dengan senyum itu. Pelayan lelaki yang kau buat penasaran dengan tingkahmu selama ini. Lelaki yang selalu menanyakan “Pesan apa lagi, mbak?” dengan tulus. Lelaki yang selalu menata segelas minuman dan sepiring makanan untuk kau santap. Lelaki yang melihat kau menyantap pesanan berhias air mata. Air mata yang mana selalu kau hapus saat aku datang mendekatimu. Seolah kau tak ingin aku tahu bebanmu itu. Iya, lelaki itu adalah aku.

Semakin sering kau mengunjungiku, semakin sering aku tertarik denganmu. Entah tak tahu alasannya. Andaipun aku tahu, aku belum mau memberi tahumu. Kenapa? Karena kau juga belum memberi tahuku kenapa kau selalu bersedih. Eits, ini hanya khayalanku. Mana mungkin kau mau bertanya padaku. Aku ini siapa.

Aku ini siapa?

Aku hanyalah orang yang mulai peduli padamu. Orang yang ingin mengajakmu bicara. Orang yang ingin datang membawakan kebahagiaan. Orang yang juga sudah bosan denganmu. Iya, aku sudah mulai bosan melihat kesedihanmu. Aku bosan melihat basahnya air matamu. Meski pada awalnya air matamu bak riasan bidadari, tapi lama-lama itu hanya menutupi cantiknya wajahmu. Aku ingin air matamu itu kering. Bolehkah aku menyeka air matamu?

Aku dan kau tak saling mengenal. Maka dari itu aku ingin memasuki duniamu. Aku ingin kau bercerita padaku. Aku tak akan membiarkanmu hanya membagi kesedihan agar kau tenang. Aku berjanji akan membagi kebahagiaan. Aku ingin kau bahagia.

Ah, khayalanku mulai tak karuan.

 

 

Rizqi Akbar Photo Verified Writer Rizqi Akbar

http://siakbar.com/

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya