[CERPEN] Putra Jurnalis Si Penulis (Bagian 1)

Kadang terjadi salah paham sebab kita enggan memahami

Tidak ada yang namanya ibu menelantarkan putra-putrinya.

Seluruh manusia sering berbagi cerita menyangkut soal semesta. Tentang karma, takdir, dan kehidupan yang tidak tentu pemberiannya. Kesedihan, kebahagiaan, dan segala perasaan yang mudah sekali berubah dikarenakan semesta penyebabnya. 

Padahal butuh dua kali pengertian saja setelah sekali memikirkan semuanya, manusia itu sendiri bisa melakukan hal yang matang. Sebab, semua hal yang ingin kita lakukan tidak cukup hanya sekali perenungan saja. Untuk memakan sebuah apel yang baru matang dan jatuh dari pohonnya saja, kita sendiri perlu memilih untuk memakannya langsung, atau lebih baik mencuci apel itu terlebih dulu baru kita bisa makan.

Ada dampak berbeda untuk keduanya. Mau perut kita sakit, atau terbebas dari jeritan yang memalukan karena menahan mulas.

Aku sangat mencintai semesta, sebab semesta telah memberi semua keindahan yang sama sekali aku tidak meminta. Tempat untukku berdiam selama sembilan bulan yang tidak bisa aku definisikan kelebihannya. Seketika kedua mataku melihat dengan jelas keindahan semesta, aku tidak pantas menjadikan semua itu lawan dengan rahim ibu yang memberikanku tempat untuk menunggu.

Aku seorang anak laki-laki yang awalnya dirawat sepenuh hati oleh seorang ibu yang berusia empat puluh tahun. Sudah tidak muda lagi memang, tapi masih saja ibu bersikeras melaksanakan tanggung jawabnya itu dengan jiwa yang sangat luar biasa.

Jika waktu kecil aku bisa hidup mandiri pasti akan aku lakukan semuanya sendiri. Tanpa bantuan ibu. Sayangnya, untuk berjalan sendiri saja aku masih butuh kedua tangan ibu dan kesabaran dari ibu.

“Bu, kenapa ayah melakukannya? Kenapa ayah tidak bisa peduli bahwa dia masih punya anak yang hendak tumbuh dewasa?” Pernah saat itu aku berbicara terus terang menyangkut keadaanku yang tidak cukup baik kepada ibu.

Sejak usiaku masih sembilan tahun, ibu sudah berani menceritakan semuanya. Tentang di mana tempat ayahku berdiam. Ayahku meninggal ketika ibu masih mengandungku dalam waktu tujuh bulan. Dua bulan sebelum kelahiranku, pahlawan pertamaku itu sudah tiada. Meninggalkanku dalam jeritan dan gendongan seorang perawat rumah sakit.

“Kenapa, Bu? Kenapa ayah membiarkan ibu sendiri dan hanya akulah yang berfungsi sebagai pelampiasan kebahagiaan dan kesedihan ibu?”

“Ayahmu sudah di tempat yang indah, Nak. Sekalipun dia meminta sesuatu, dia tidak perlu menunggu lama untuk permintaannya bisa terwujud.” Sambil matanya menerawang menembus langit-langit rumah, ibu berbicara penuh ketegaran yang tidak aku ketahui maksud perkataannya.

Tidak banyak orang yang tahu bagaimana kondisi psikis seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun ketika mendengar cerita yang tidak bisa lagi diubah kejadiaannya karena itu sudah takdir-Nya. Pahlawan yang diharapkan bisa mengantarnya ke sekolah, kini berbalik arah. Salah jalan, tapi aku tidak tahu tempatnya berdiam setelah meninggalkanku.

Ibu bilang, itu tempat yang indah.

Aku hanya bisa percaya. Menyangga cerita dari seseorang yang usianya lebih tua dariku, tidak pernah aku lakukan. Bahkan, aku tidak pernah diajarkan oleh ibu untuk membantah atau menyangga cerita dari seseorang yang sudah terjadi.

Setelah masa sembilan tahun sudah terlewat dengan kisah nyata ayahku yang sekarang berada di tempat yang indah. Secara cepat, waktu menembus peraduan kabut hingga cahaya dan membawaku dalam kematangan usia.

Kalendar yang terpampang di dinding rumah pun sudah berganti delapan kali. Ibuku adalah seorang aktivis, tapi dia bukan sosialita yang kerap mengikuti perkembangan zaman. Seorang ibu yang dulu aku kenal sewaktu usiaku sembilan tahun, bahwa dia bukan orang super sibuk, kini otakku terpaksa harus dicuci ulang lagi oleh waktu.

Semakin matang usiaku, makin sering pula ibu meninggalkanku dalam kalut dan sendirian bersama peraduan malam. 

“Arga, ibu mau keluar kota besok. Ibu mau ketemu sama salah satu tokoh yang sekarang ramai diperbincangkan oleh media-media lokal.”

Aku hanya mengangguk. Sudah terbiasa sekali dengan izin ibu yang selalu sama dan selalu saja begitu. Bahkan, jika perlu tidak usah bilang saja kepadaku. Untuk tokohlah, organisasilah. Lantas, dibayar dengan apa jika dia pulang malam, atau bahkan tidak pulang selama satu minggu hanya untuk menemui seseorang yang tidak ada sangkut pautnya dengan masa depan anaknya sendiri?

Aku tidak terlalu berani menegurnya dengan perkataan seperti itu. Aku seorang laki-laki yang dibimbing untuk selalu tegar, bahkan sempat tidak dikenalkan maksud kata mengeluh atau bersedih sama sekali. Tapi, setelah kisah nyata dari ayahku yang aku dengar langsung dari mulut ibu, aku jadi mengenal apa itu kesedihan.

“Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa bilang Bi Asih, ya,” katanya.

“Iya, Bu.”

“Bi, tolong perhatiin Arga. Bantu dia dan temani dia ya,” kata ibu yang berucap kepada Bi Asih yang berdiri ramah di sampingku.

“Iya, Bu,” sahut Bi Asih.

Akan aku ceritakan siapa itu Bi Asih. Perempuan yang nyentrik dengan logat jawanya itu telah setia hidup berdampingan denganku sejak tiga tahun lalu. Pengganti sosok ibu ketika ibu kandungku sendiri pergi demi orang lain dan Bi Asih lebih unggul secara waktu. Dia menjadi mediasi yang baik ketika suasana hatiku berubah-ubah. Menjadi serupa taman yang indah ketika aku ingin berbagi cerita.

“Ada apa, Nak?” tanya Bi Asih.

Panggilan itu adalah dariku. Aku yang menyarankan panggilan “Nak” adalah sebutan ketika dia hendak memanggilku. Tidak ada perbedaan kasta antara aku dengannya. Meskipun dia seorang pembantu di rumahku, tetap saja dia bisa menjadi pengganti sosok ibu di rumahku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kenapa, Bi? Kenapa harus aktivis yang menjadi profesinya? Kenapa bukan penulis atau pemusik yang nanti setiap karyanya bisa aku nikmati? Kenapa kerelaannya hanya untuk orang lain, bukan untuk anaknya sendiri?” ucapku putus asa.

Aku memang sering bercerita lepas tanpa umpatan dengan Bi Asih.

Entahlah, jika ibuku sendiri ada banyak waktu buatku, kemungkinan aku tidak banyak cerita dengan Bi Asih, karena ibuku sendiri lah tokoh utama dari setiap ceritaku dan sumber kegelisahanku.

“Bibi kira, kamu sudah terbiasa dengan kesibukan Bu Sandra.”

“Aku memang bisa berlagak biasa saja ketika di depannya, Bi. Tapi tetap saja seorang anak butuh perhatian dan keluangan waktu dari ibunya sendiri. Masa hanya waktu pengambilan raport doang, ibu ada waktu untukku. Aku sudah jauh dari ayah, sekarang dipaksa harus jauh dari ibuku sendiri.”

Foto demi foto dibersihkan oleh Bi Asih. Entah seperti apa caranya mendengar perkataanku sambil fokus mencermati setiap debu yang menjadi permasalahan yang harus dia hilangkan. 

“Ini adalah foto dua tahun lalu. Ketika Bu Sandra sedang serius berbicara dengan Surya. Tokoh publik yang dua tahun lalu ramai diperbincangkan karena usahanya menuai pro dan kontra. 

Dalam foto ini tersirat bahwa Bu Sandra adalah aktivis paling berani dari para aktivis lainnya. Setiap momen pertemuannya dengan setiap tokoh publik selalu dia abadikan. Karena itu tidak mudah mendapatkannya. 

Bahkan, untuk meminjam waktu satu menit dari para tokoh, harus berdebat dengan aktivis-aktivis lain. Siapa yang paling berpengalaman dan cerdas berbicara, dialah yang berhak meminjam waktu dari tokoh tersebut.” 

Bi Asih sambil menangkup dan sesekali mengusap debu yang masih membekas di kaca pigora itu. Menunduk dan tatapannya kosong mengingat percakapannya dengan ibu, dua tahun silam. Aku tidak bisa memposisikan diriku seperti putra-putri Bi Asih yang mungkin tidak kerap protes dalam hati karena kepergiannya. 

“Apa anak bibi merasakan hal yang sama seperti yang Arga rasakan sekarang?”

Bi Asih menanggalkan kembali foto itu di dinding. “Tentu, Nak.”

“Lalu apa yang mereka lakukan?”

Bi Asih menghampiriku kemudian tersenyum. Mungkin dia mengerti kalau aku sedang menunggu jawaban dari setiap kebingunganku. Dan hanya dialah yang bisa menjawab dan membantuku mengatasi kegelisahanku.

“Ketika bibi pulang, mereka suarakan setiap rasa rindunya ke bibi. Maunya mereka. Segalanya mereka ceritakan. Lalu ada hal yang penting sekali yang mereka dapatkan. Dan mereka sendiri yang bilang langsung ke bibi. Tanpa bibi harus mengartikan sendiri kebahagiaan mereka setelah kepulangan bibi.”

“Apa, Bi? Hal penting apa?” tanyaku antusias.

“Mereka menjadi tahu, ibunya berjuang untuk siapa dan kenapa ibunya harus jauh dari mereka.”

“Kenapa?” tanyaku.

Aku berusaha memastikan kalau perkataan panjang lebarnya bukan hiburan semata. Aku tidak ingin hiburan yang isinya adalah karya fiksi dan itu tidak sungguh terjadi.

“Suami bibi meninggal tiga tahun yang lalu. Hidup tanpa suami adalah kesengsaraan terbesar bagi seorang istri. Bagaimana mungkin seorang istri harus berjuang sendiri untuk keluarga kecilnya, padahal dia punya dua seorang anak yang kebutuhannya semakin banyak dan memaksa harus dipenuhi. 

Padahal di luar sana, perjuangan seperti itu hanya tugas seorang suami. Jika saja ada bantuan finansial dari pemerintah untuk para istri yang ditinggalkan oleh suaminya, mungkin bibi tidak harus jauh dari putra-putri bibi.”

Aku cermat sekali mendengar ocehannya yang panjang lebar itu. Aku pikir, bahwa itu bukan cerita singkat yang diedit beberapa detik, yang hanya untuk menyadarkanku saja agar aku mengerti, apakah perjuangan ibuku sama seperti perjuangan Bi Asih.

“Sayangnya, ibu tidak seperti itu. Perjuangan ibu memang tidak mudah. Tapi tujuannya melakukan semua itu untuk siapa?”

Aku lekas meninggalkan ruang tamu seketika ibuku datang ke arah kami. Aku hanya meninggalkan senyuman yang terpaksa aku simpulkan.

Aku ingin pemikiran ibu tidak negatif kepadaku. Kalian tahu? Bahwa untuk berbincang serius dengan seorang ibu, selain membahas uang tagihan bulanan sekolah, tidak menyenangkan untuk dilakukan. Itu tipikal yang dilakukan laki-laki kebanyakan. Termasuk diriku. Entah, kenapa. Yang aku bingung di sini, aku sudah tujuh belas tahun berhuni dengan seorang ibu, dan segalanya tentangku, kebutuhanku, ibuku sendiri yang mengerti itu. Tapi kenapa setelah tumbuh remaja, kehangatan yang seperti dimasa kecil itu hilang?

Apa ibu pikir, guru sekolah sajalah yang cukup bisa membuatku mengerti akan kesibukannya? Apa ibu pikir, memakai tenaga seorang pembantu, berhasil membuatku mengerti perjuangannya?

Aku pergi ke kamar. Membiarkan ibu berbicara dengan Bi Asih, tanpa aku harus tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Harapanku, tidur terlalu awal bisa membuat mimpi indahku menjadi lebih lama. Sehingga setelah aku terbangun nanti, aku tidak mudah untuk melupa.**(Bersambung)

Baca Juga: [PUISI] Penerbangan Tujuan Surga

Renggarp Photo Writer Renggarp

kalau tidak setuju, gapapa

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya