[CERPEN] Putra Jurnalis Si Penulis (Bagian 2)

Ada satu temanku, dia suka lelah

Kelanjutan dari "Putra Jurnalis Si Penulis" Bagian 1

***

Esoknya, aku telat lagi untuk bisa menikmati fajar. Embun juga mulai mengering. Aku terbangun dan segera menepi ke jendela kamar. Menyapa mentari yang masih sehat-sehatnya berdiri di atas.

Gorden yang sudah terbuka, membuat sinarnya menembus dan spontan kedua mataku melebar. Pasti ibu yang masuk ke kamar. Tidak tega membangunkanku dan sengaja membiarkanku terbangun sendiri.

Hari senin yang sangat menyebalkan. Walaupun tidak ada upacara di sekolah yang kerap dijadikan alasan semua pelajar untuk berangkat lebih awal. Aku berangkat dengan malas. Hari ini tidak akan terlalu sibuk di sekolah. Banyak jam pelajaran kosong yang membuat semua pelajar ingin tidur di rumah saja.

Memang seperti itu kebiasaan sekolahku setelah selesai ujian. Seakan kemenangan sudah mudah sekali didapat.

Aku menemui bibi yang sudah lebih awal terbangun. Membuatkan sarapan yang apa saja masakan yang dibuatnya pasti enak. “Baunya harum seperti biasa, Bi,” pujiku.

“Sarapan dulu, Nak. Biar nggak gampang bosen di sekolah nanti.”

Aku lekas duduk. Garang sekali aku menyita lauk yang disediakan bibi.

“Sini, Bi. Sarapan juga.”

Bi Asih tersenyum. Lalu bilang, “Bibi masih ada urusan di belakang. Nanti kamu berangkatnya hati-hati ya.” 

“Iya, Bi.”

“Oh iya, tadi Bu Sandra menitipkan pesan ke bibi, Bu Sandra tiga hari tidak akan pulang.”

Mendengar perkataan Bi Asih itu, nafsu makanku jadi turun. Aku hanya mengangguk dan sekali tersenyum untuk meng-iyakan perkataannya.

Kenapa tidak pulang saja selamanya?

Ini memang bukan yang pertama kali atau kedua kalinya aku jenuh dengan kesibukan ibu seperti ini. Sudah sangat layak aku harus negosiasi dengannya tentang masalah waktu.

Tidak bisakah dia bekerja seperti seorang perempuan pada umumnya?

Dia lulusan magister Sastra Inggris, kenapa tidak menjadi dosen saja yang bisa pulang ke rumah setiap hari? Atau menjadi seorang guru yang mencerdaskan murid-muridnya? Sayangnya, seorang ibu yang ditinggal oleh suaminya karena kecelakaan itu, malah ingin menyibukkan dirinya sendiri.

Setelah pusing dengan suasana rumah yang membuatku ingin secepatnya menjauh, aku bertemu Sinta di pinggir jalan. Perempuan itu seusia denganku, asal kalian tahu. Dia anak Ipa Program Kimia. Kasihan dia. Jalan kaki sendiri menuju sekolah. Tas yang melingkar di punggungnya kelihatan tidak seringan tas yang aku bawa. Mentari tidak terlalu terik. Tapi tetap saja peluhnya ingin keluar.

“Baru kali ini aku melihatmu di pinggir jalan. Mau aku membantumu cepat sampai ke sekolah?”

“Nggak. Nggak usah. Saya lebih suka jalan kaki.”

“Kenapa? Semua orang benci kelelahan, bukan?” kutanya.

“Tergantung. Kamu anak Sosial Sosiologi, kan?” tanyanya. 

Kami berhenti menepi di pinggir jalan. Aku yang masih duduk di atas motor, sedangkan dia masih berdiri. Menolak tawaranku dia. Tapi, Sinta orangnya tidak secuek yang kalian pikirkan sekarang. Dia hanya menolak tawaranku saja. Aku tidak banyak tahu tentang dia. Aku juga tidak terlalu mengenalnya. Hanya saja, aku mengetahui sekilas tentang dirinya dan di mana kelasnya, itu karena dia termasuk siswi yang pernah meraih ranking paralel antar kelas.

Setiap ujian selesai dan ketika upacara, pasti ada pengumuman soal peraih ranking paralel setiap kelas. Saat itulah aku mengenalnya. Walaupun itu saja tidak cukup untuk aku jadikan alasan memberikannya tumpangan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Iya. Kok kamu bisa mengenalku?” tanyaku.

“Mamanya Arga adalah teman mama saya,” katanya.

“Arga siapa? Arga aku maksud kamu?”

“Arga Dewantara Pratama,” katanya.

“Itu aku,” kataku sebal. Sedangkan dia tersenyum. Apa-apaan!

Aku terkejut dengan ucapan itu. Memang terucap sederhana kalimatnya.Tapi maksud di balik kalimatnya itulah yang tidak pernah aku sangka akan terucap lewat mulutnya. Membuatku penasaran.

Lantas, aku menuju sekolah bersamanya. Jalan kaki. Motorku sementara aku titipkan di warung Pak Broto. Langganan aku biasa nongkrong setiap pulang sekolah dan ketika di kelas setiap tidak ada kesibukan.

“Eh iya, ibumu seorang aktivis juga?” kutanya. Sambil berjalan menikmati kebisingan motor-motor tua.

“Iya.”

“Super sibuk?”

“Tentu.”

 “Ayahmu masih ada?”

“Masih. Tapi sama-sama sibuknya seperti mama.”

“Apa kamu menyesal dengan kesibukan mereka?” Kutanya.

“Tidak banyak penyesalan, Arga. Mereka tetap orangtua saya.”

“Bagaimana bisa tidak ada penyesalan? Kamu perempuan, kebanyakan seorang remaja sepertimu sangat membutuhkan banyak waktu dari seorang ibu.”

Perbincangan dengannya mengarah dalam suasana sangat tegang. Serius. Aku terbawa suasana ketika aku harus mengingat kesibukan ibuku yang sekarang sama dirasakan oleh Sinta.

“Setiap mamah pulang, pasti diceritakan suatu kejadian tentang hasil kesibukannya. Saya sudah bahagia sekali karena mamah masih peduli denganku dengan membawa cerita baru untukku.”

“Apa baiknya untukmu? Kamu penulis?”

“Kamu tahu tanpa aku sendiri bilang tentang kesibukanku,” katanya.

“Kamu suka menulis? Untuk itu kah kamu bahagia sekali ketika ibumu membawakanmu cerita baru?”

“Iya. Menyenangkan. Itu berlaku juga terhadap keputusanku yang memilih jalan kaki daripada naik motor.”

Seketika bel masuk berbunyi. Jalan kami tidak searah lagi.

“Kamu tahu hari ini ada acara menarik di sekolah?”

Aku bingung. “Acara menarik?” kutanya maksud ucapannya itu. 

Baca Juga: [CERPEN] Putra Jurnalis Si Penulis (Bagian 1)

Renggarp Photo Writer Renggarp

kalau tidak setuju, gapapa

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya