[CERPEN] Putra Jurnalis Si Penulis (Bagian 3-Selesai)

Apapun rasaku, senduku, itu tak terlepas dari ibu

***

Setahuku, tidak ada acara menarik apapun yang rela disumbangkan oleh sekolah untuk mengisi keluangan waktu buat kami para pelajar.

Tapi barusan Sinta bilang ada yang menarik.

Apa? Apa bisa membuat pemikiranku sadar dan masa bodoh menanggapi kesibukan ibu?

“Seminar kepenulisan.”

“Seminar kepenulisan di sekolah kita? Bahkan mendengarkan seorang ustad ceramah yang tahun kemarin diundang oleh sekolah kita, teman-teman kita tidak terlalu antusias. Ini lagi soal kepenulisan. Jarang banget di sekolah kita ada pelajar yang suka menulis.”

“Terkadang seseorang bakal suka dengan sesuatu hal yang mereka kira tidak penting. Jangan sampai kamu menjadi korbannya.” Dia meninggalkan senyum. Setelah langkahnya semakin dekat dengan ruang kelas tiga ipa kimia.

Aku menunggu kegiatan itu dimulai. Seminar yang membuatku penasaran dan takut menjadi korban seperti yang Sinta maksud.

Menggubris ocehan teman-temanku yang mampu membuatku tertawa lepas. Lalu main game di laptop bersama temanku dan itu seru sekali. Tertawa ke sana kemari tanpa ada koreksi intonasi suara. Padahal siswi-siswi di kelas kerap sibuk mengingatkan bahwa suara kami bisa saja terdengar sampai ke ruang guru. Dan itu bahaya sekali jika sampai terdengar oleh salah satu guru.

“Eh, ayo keluar! Acaranya sudah mau dimulai,” kata salah seorang temanku. Nikky, namanya. Salah satu temanku yang punya semangat paling heboh dan tahu segala sesuatu yang baru di sekolah.

Jika aku bisa menyarankan soal karirnya dimasa depan, aku ingin dia menjadi presenter salah satu program televisi yang membahas soal gosip terbaru para selebritis.

Aku bisa membayangkan bakatnya tereksplor dengan baik di situ.

Aku keluar. Teman-temanku juga ikut heboh mendengar informasi Nikky. Tapi tidak semua. Beberapa siswa ada yang masih asik bermain game di laptop. Itu bukan karena mereka tidak peduli dengan acara yang akan berlangsung. Tapi mereka tidak mau menelan kekalahan jika harus meninggalkan satu detik saja dibabak permainan tersebut.

Aku melihat sudah sangat ramai di halaman tengah sekolah. Tidak disediakan panggung besar dan tinggi. Hanya terlihat kursi-kursi plastik yang sebagian sudah diduduki oleh pelajar-pelajar perempuan. Pelajar laki-lakinya tidak terlalu banyak yang ikut melihat.

Mungkin menulis bukan seseuatu hal yang menarik ketika mereka sedang berimajinasi. Tapi kenapa aku mau hadir untuk melihat acara ini? Kalian mau tahu? Begini, setiap orang yang mempunyai ego sepertiku, pasti akan setuju dengan perkataanku. 

Manusia akan besar sekali egonya ketika manusia tersebut dilanda rasa penasaran. Dan ingin secepatnya menghilangkan rasa penasarannya tersebut. Lalu merasakan kepuasan. Seperti aku saat ini. Sinta bilang yang intinya bisa aku tuliskan sementara di otakku, bahwa dia tidak memiliki penyesalan dengan kesibukan orangtuanya. 

Termasuk ibunya. Aku penasaran. Kenapa hanya dengan menulis dan mendengarkan cerita dari ibunya, bisa membuatnya tidak menyesali semua itu? Di sisi lain, aku begitu menyesali kesibukan ibuku. 

Aneh memang. Tapi aku harus tahu betul. Apa yang dimaksudnya menyenangkan hanya dengan menulis. Lantas, aku cari sosoknya di setiap sudut. Pikirku, pasti dia sedang heboh dan histeris dengan ekspresi muka yang sangat memuakkan. Setelah berusaha dengan peluang sukses yang sangat kecil, akhirnya aku menemukannya.

Dia duduk di kursi paling depan. Dipangkunya papan kertas dan pensil yang terselip di sakunya.

Salah parah penafsiranku sebelumnya tentang ekspresinya. Dia sibuk menoleh kanan-kiri demi menggubris ocehan teman-temannya. Bising sangat. Tapi aku harus mencari tempat duduk untuk menyaksikan seminar yang sama sekali tidak aku mengerti. 

“Sinta!!” teriakku.

Sinta tidak menoleh.

“Sinta!!” Aku teriak lagi.

Dia menengok. Mencari sumber suara yang baru saja menyebut namanya. Dia melambai ke arahku. Aku balas dengan perbuatan serupa. Senyumnya, tidak bisa ku abadikan dengan kamera. Tapi aku mengingatnya. Aku pula tersenyum ke arahnya. Singkat, tapi lucu sekali mengenalnya. Walaupun, baru tadi aku tertawa dengannya.

Tidak banyak tingkah ketika aku harus menunggu seorang penulis yang akan tampil. Aku duduk sambil mataku berkaca-kaca memikirkan ibu. Sedang apa dia sekarang? Dia baik-baik saja, kan? Andai semesta baik terhadapku, pasti ibu bukanlah orang yang sedang aku pikirkan sekarang. Tapi, entahlah. Seorang anak sepertiku yang dulu dirawatnya dengan sepenuh hati, hanya bisa menghargai setiap keputusannya. Aku juga tidak menuntutnya harus sesibuk ini, jika hanya demi membahagiakanku.

Berselang beberapa menit. Seseorang dengan wajah yang asing, keluar lantas menyapa semua pelajar yang tengah duduk diam. Melambai dan tersenyum ria. Pelajar perempuan di sebelahku yang sedari tadi sibuk main ponsel, berubah menjadi ikut ceria seketika melihatnya.

Aku tidak tahu. Apa istimewanya? Apa yang menjadikan mereka ikut terlihat bahagia dengan munculnya orang berwajah asing itu. Lantas, aku menunggu. Pria yang telah dibayar untuk mengisi seminar kepenulisan itupun akhirnya berbicara ke mana-mana. Mulai dari kisah awal sebelum dia menulis. Penyebab, kenapa dia harus menulis. Kebahagiaan yang dia rasakan ketika menulis. Dan tidak lupa, dia mengajarkan cara menulis yang baik.

Setelah puas dia berbicara. Lantas membiarkan kami semua pelajar dengan penuh keraguan, sekaligus pertanyaan yang sangat perlu dijawab. Dia membuka kesempatan kepada kami untuk bertanya. Semua pelajar diam. Takut harus disuruh memegang mikrofon. Karena jika melakukan itu, pasti akan sangat malu. 

Suara jadi semakin keras dan memecah suasana yang sedang hening-heningnya. Lantas, ada pelajar perempuan yang duduk di kursi paling depan, dia mengacungkan tangan. Berdiri, dan iya, diberikannya mikrofon oleh seseorang yang nampaknya adalah pembantu acara. Semua sorot mata tertuju hanya pada pelajar perempuan tersebut. Itu Sinta.

Suaranya terdengar dan aku hafal betul dengan suara itu, Sayangnya, aku hanya bisa melihat punggungnya saja. Sial!

Setelah tuntas Sinta bertanya, diberikan oleh penulis tersebut kesempatan untuk bertanya satu kali lagi. Tidak ada yang mau. Semua diam. Aku yang masih memikirkan jalan keluar untuk masalahku, lantas bersedia mengangkat satu lengan. Sorot mata semua pelajar tertuju padaku. Aku tak acuh dengan itu. Aku hanya fokus menyusun diksi.

Aku ingin mengatakan sesuatu. Jiwaku sedikit ada rasa gugup. Jantung berdetak secara tidak wajar. Cepat sekali. Belum mengucapkan apapun, keringat dingin sudah berani membungkus setiap kulit tubuhku.

Dengan sangat hati-hati, aku bersuara.

"Nama saya, Arga Dewantara Pratama. Kelas tiga jurusan sosial program sosiologi. Ada seseorang yang mengatakan kepada saya, bahwa dengan menulis bisa membantu seseorang mengatasi masalah?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Penulis itu berdiri. Mengecek mikrofon yang digenggamnya. Memastikan masih menyala atau tidak. 

“Lebih tepatnya, bukan membantu menyelesaikan masalah, tapi menjadi wadah dari masalah kita. Begini, seseorang yang mempunyai masalah jika terus-menerus dipendam, tidak akan pernah terselesaikan. Masalah yang ada dalam hidup, tidak layak dirasakan dan dipikirkan terlalu larut. 

Lalu seperti apa yang perlu dilakukan ketika dilanda masalah? Perasaan manusia yang sedang dilanda masalah, akan cepat berubah suasananya. Terasa kehidupan tidak begitu adil dan hanya orang itu yang merasa bahwa masalah datang hanya padanya saja. Tidak berlaku bagi orang lain. 

Padahal, kalau kita mau meluaskan pikiran dan berbagi cerita kepada orang lain, tidak memungkinkan jalan ceritanya tidak jauh beda. Kita bisa belajar. Kita bisa berbagi masalah. Kalau orang lain mau ikut memikirkan kita? Ringan jadinya, kan? 

Sama seperti jika Arga mau menuliskan masalah dan menuangkan pemikiran Arga ke dalam bentuk tulisan. Tidak bisa dipungkiri setelahnya Arga pasti membaca tulisan Arga sendiri. Dan dari situlah kita mengerti harus berbuat seperti apa. Menulislah! Kamu pasti tahu ketika sedang sibuk dan selesai menulis.”

Bel penanda sekolah hari ini sudah selesai berbunyi. Aku lekas beranjak untuk pulang. Berpapasan dengan Sinta di gerbang. Sedikit beda dengan waktu pertama ngobrol tadi pagi. Entah apa bedanya.

Perasaanku menilai beda. “Kenapa?” tanyaku heran.

Dia menggeleng. “Tidak,” katanya.

Senyum dia tampakkan. Aneh!

“Gimana?”

“Apanya yang gimana?”

"Sudah lega?”

“Lega kenapa?” kutanya.

“Habis berdiri dengan penuh percaya diri tadi.”

“Aku kan pengen tahu.”

“Sudah tahu sekarang?”

Aku diam sejenak. Aku memikirkan penafsiranku tentang ibu. Perlahan aku kembali ke dalam masa awal kesibukan ibu. Aku mengoreksi sedikit demi sedikit. Jika bukan aku yang mau memikirkan hal positif tentang kesibukan ibu, keadaan akan terus membelenggu. Dan akan membuat keadaanku semakin buruk. Aku tidak selalu harus mengumpat rasa sesal yang mendalam.

Seharusnya aku menuangkan langsung apa yang aku rasakan kepada ibu. Benar tentang makna dari ucapan Sinta dan penulis tadi pagi. Bahwa kita harus mau terjun dan menuangkan pikiran kita ke dalam masalah yang sedang kita hadapi. 

Aku menarik napas dalam-dalam.

“Sudah?”

“Sudah,” kataku.

“Kanu tahu jalan apa yang harus kamu lewati sekarang?”

Aku mengangguk.

“Apa?” tanyanya.

“Aku harus sepertimu.”

“Kamu akan menulis?”

“Tidak hanya itu. Aku akan menyebarkan perasaanku langsung kepada ibu. Dan aku akan meminta pengalamannya selama dia sibuk ke luar kota.”

Sinta tersenyum.

Aku pulang dengan motor yang sempat aku titipkan di warung Pak Broto. Sedangkan, Sinta masih teguh untuk pulang dengan jalan kaki.

Pulang, lekas aku buka buku mungil yang masih belum pernah ternoda oleh tinta hitam apapun. Laptop yang biasanya aku buka hanya untuk menonton film dan bermain Pes, sekarang mendadak menjadi halaman kosong di Microsoft Word. 

Kita harus sadar sebagai makhluk yang kurang tahu bagaimana menjalani liak-liuk kehidupan, dan dipaksa untuk menunggu waktu merubah kondisi setiap jiwa dalam diri. Keberhasilan bukan hanya soal mengangkat piala dan menyaksikan banyak orang melakukan standing ovation untuk kita. Tapi hasil akhir untuk mampu mengetahui jalan yang benar dan opsi yang bakal tidak merugikan siapapun, itulah keberhasilan mutlak.

Dari sinilah aku menatap diri untuk peka dalam segala sudut pandang. Seperti apa sudut pandang dari seorang ibu, dan seperti apa sudut pandang dari seorang anak.

Aku berhasil menguasai egoku sendiri. Aku berhasil meraih medali karena menemukan passion baru yang manfaatnya sangat bisa aku rasakan. Aku semakin dekat dengan ibu. Dan aku semakin bijak harus berbuat hal baik apa untuk menghabiskan waktu.

Baca Juga: [CERPEN] Putra Jurnalis Si Penulis (Bagian 1)

Baca Juga: [CERPEN] Putra Jurnalis Si Penulis (Bagian 2)

Renggarp Photo Writer Renggarp

kalau tidak setuju, gapapa

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya