[CERPEN] Perempuan Pembenci Stasiun

Ketika satu tempat hanya mengingatkan tentang luka

Dia membenci stasiun dan semua hal tentangnya. Tentu, kereta api menjadi salah satu hal yang dibencinya. Juga suara gemuruhnya yang hendak berangkat dan tiba. Jangankan diharuskan berada di stasiun, menatap foto suasana di sana saja dia takkan sudi. Dia akan meronta pergi dengan wajah yang sulit digambarkan oleh siapa pun. 

Wajahnya masam dan terlihat amat mengkal, tapi tatapannya berbeda. Mata yang tidak lagi berbinar itu akan menatapmu dengan sendu meminta simpati. Di ujung pelupuknya, akan terlihat bulir-bulir kecil air yang tertahan. Ya, air matanya hanya akan tertahan di sana. Ia takkan jatuh selama apapun dia menatapmu. Atau sesakit apapun perasaannya terluka.

***

Dulu dia sama seperti gadis-gadis lain di daerah ini. Dengan setia, mereka pergi ke stasiun kereta api tua yang hanya melayani keberangkatan lokal itu. Beramai-ramai mereka cekikikan menggosipkan pangeran tampan masing-masing. Menyombongkan berbagai hal romantis yang pernah mereka alami. 

Meski kebanyakan hanya bualan. Namun, jangan sangka mereka bodoh. Mereka tahu itu hanya kebohongan. Tapi tak masalah. Selama hati mereka berbunga. Pun selama hati kawan-kawannya bermekaran.

Bedanya, dia hanya akan menunggu sendiri di kursi panjang paling sepi di stasiun itu. Menjauh dari keramaian lalu-lalang stasiun. Senyum tulus akan melekat di sudut bibir dan matanya. Tatapannya hanya akan tertuju pada pintu kedatangan. Dia sudah sangat terlatih hanya akan bangkit dari duduk saat pangeran tampannya tiba dari ibukota provinsi. 

Begitu pula pangeran tampannya yang akan tersenyum lebar dan melambai kencang ke arahnya saat muncul dari pintu kedatangan. Dia akan bergegas lari menuju pelukan hangat pangeran tampannya. Tanpa peduli orang-orang lain yang memandang ingin tahu. Karena baginya saat itu, waktu membeku dan hanya menjadi milik mereka berdua. Orang-orang lain hanya butiran debu tak berarti. Tak terlihat.

“Kenapa kau harus pergi lagi?” Dia merajuk pada pangeran tampannya. “Tinggallah di sini lebih lama agar kita bisa bersama seperti dulu.”

Pangeran tampannya akan menatapnya lembut, lalu tersenyum semanis mungkin. Meski sejak pergi setahun lalu senyum itu sudah berbeda. Seperti ada yang hilang di sana. Seperti ada kepalsuan di situ. Dia tak peduli. Selama pangeran tampannya rutin mengunjungi, setiap minggu selama dua hari sebelum kembali ke ibukota provinsi pada minggu sore. 

“Aku harus kuliah, Sayang. Dengan begitu, nanti saat melamarmu, aku takkan malu pada ayahmu. Aku akan berbicara bangga menunjukkan kesuksesanku di ibukota provinsi,” rayu sang pangeran tampan sambil merangkul hangat dirinya. Matanya berbinar menatap dia.

Dia mengangguk senang. Ditatapnya wajah pangeran tampannya sejenak. Ingin ditumpahkannya seluruh rasa rindu yang mencekik selama penantian lima hari sebelumnya. Dia memperat genggaman tangan mereka. Ikut memandangi langit tanpa awan siang itu. Di hatinya dia berharap bahwa waktu akan rela membeku sejenak.

***

“Aku mencintainya, Yah! Sebenci apa pun Ayah padanya, aku tak peduli. Aku hanya ingin bersamanya!” Suara dia meninggi, tergugu, lalu meninggi lagi. Air matanya sedari tumpah. Pun sedannya yang mengeras. Di samping dia, ibunya hanya terdiam. Tak lagi kuasa ikut campur dalam pertengkaran ayah-anak itu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ayah tidak bisa merestuimu! Bagaimanapun kalian tidak bisa bersama!” Ayahnya bangkit menggebrak meja makan. Kedua tangannya mengepal keras. Urat-urat di lehernya bermunculan keluar, menahan emosi yang menggemuruhkan hatinya.

Dia menggeleng, keras kepala. Tak mau mendengar apa pun yang diucapkan sang ayah. Aku harus menguatkan diri, ulangnya terus menerus di kepala. Dia harus tetap setia dan teguh menjalani hubungan cinta dengan pangeran tampannya. Sesuai janji mereka berdua dua tahun lalu saat pertama kali saling menyatakan rasa.

“Kau dengar?! Kau harus memutuskan hubungan kalian!” teriak ayahnya yang lantas pergi meninggalkan ruang makan. Dibuntuti oleh sang istri yang masih tetap terdiam.

Dia menghela nafas. Kalut. Air matanya makin banjir, meliuk tak teratur di atas pipi mulusnya. Lalu mendarat di atas taplak yang menutupi meja kayu jati. 

***

Sudah setahun sejak kedatangannya yang terakhir, sang pangeran tampannya tidak pernah lagi berkunjung, tapi dia tetap setia. Menunggu dan menunggu. Setiap hari. Sejak pagi hingga malam. Ayahnya bahkan tidak kuasa untuk mencegah dan menghalanginya. Semua orang sudah kehabisan akal untuk menghentikan dirinya.

“Dia akan datang. Aku yakin itu,” ucapnya pada siapa pun yang menyuruhnya untuk tidak lagi mengharapkan sang pria tampannya.

“Aku sudah menjadi milik pria lain,” katanya ketika pangeran tampan lain berusaha merayu.

“Aku akan setia. Ya. Aku akan setia,” ucapnya pada diri sendiri meski dengan suara yang makin lama makin getir. Hati kecilnya tahu sudah hampir saatnya mencapai batas hingga dia jenuh menunggu dan mulai berpaling, namun dia terus teringat tentang janji mereka berdua beberapa tahun lalu. Di bawah beringin belakang sekolah, mereka saling menautkan janji bahwa selamanya akan saling memiliki. Selamanya akan tetap setia. 

Hingga di satu titik, dia merasa begitu lelah menunggu. Tidak pernah ada kabar apa pun tiba untuknya untuk sekadar menghibur hati yang ragu. Berulang kali dia pergi ke rumah sang pangeran tampannya, tapi bahkan kedua orangtuanya pun tak tahu keberadaan pria itu. 

Saat itu minggu ketiga bulan ketiga. Dia bergegas memasukkan baju dan uang secukupnya dalam tas. Meski tidak diizinkan orangtuanya, dia sudah bertekad untuk menyusul sang pangeran tampan ke ibukota provinsi. Dengan rindu yang buncah, dia tergesa pergi ke stasiun untuk membeli tiket kereta api paling pagi hari itu. Tapi saat sampai, dia terkejut. Terbeku. Sang pangeran tampannya ada di situ. Di sampingnya, seorang gadis dengan perut membuncit berdiri kaku. 

Sang pangeran tampannya menghampiri dia. Dijelaskannya semua urusan. Bahwa sudah lama ia meninggalkan hati pada gadis lain. Tidak lagi pada dia. Tidak hanya pada dia. Dan gadis dengan perut membuncit itu tengah hamil anaknya. Sudah dua bulan mereka menikah. Kedatangannya sekarang hanya ingin meminta restu pada orangtuanya dan juga meminta ampun pada dia. 

Dia masih membeku di kursi tunggu dalam stasiun saat sang pangeran tampannya menjauh pergi. Tentu disertai gadis dengan perut membuncit itu. 

Baca Juga: [CERPEN] Mimpi dan Jimat

S. M. Fatimah Photo Verified Writer S. M. Fatimah

Menulis adalah bekerja untuk keabadian. (Pramoedya Ananta Toer)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya