[CERPEN] Evanescent

Kenangan yang cepat memudar dari ingatan

Petang itu, kota tua Großenkirchen dibungkus gerimis. Menciptakan riak-riak air yang bergemericik indah pada kubangan di jalan raya. Orang-orang berlalu lalang dengan payung besar di genggamannya, anak-anak masih berkeliaran basah-basahan di sekitar bangunan ruko yang sudah tak terpakai. Sedang, pelabuhan Großenkirchen masih berkawan dengan kesibukannya.

Para kuli mengangkut barang-barang sang saudagar, memasukannya ke kapal-kapal yang melepas jangkar di dekat dermaga. Kereta-kereta dari pelabuhan membawa penumpang menuju rumah masing-masing, bergemeletuk nyaring ketika sang kusir memecut kuda agar berlari lebih kencang.

Di sudut sepi kota, Erash berdiri termangu menatap jalanan. Ditelisiknya dengan seksama tiap sisi kota yang mampu dijangkau oleh netranya. Pandangan nanar terlukis jelas di matanya. Ia sedang mengharapkan kedatangan seseorang, seseorang yang menurut orang-orang tidak patut untuk ditunggu.

Penat berkutat dengan harapan sia-sianya, Erash akhirnya menarik tas besarnya menjauhi lokasi tersebut. Dihampirinya sebuah kereta kuda di sudut jalan raya. "Tuan, tidak ada penumpang?"

"Tidak, Sir, mau kuantar ke mana?" Sahut si kusir.

"Ke pelabuhan." Jawab Erash tertahan, sesuatu yang bening hendak memberontak keluar dari pelupuk matanya, namun lelaki dua puluh enam tahun tersebut sebisa mungkin menahannya.

Kereta kuda yang ditumpanginya berderap menuju ke pelabuhan. Melewati bangunan-bangunan tua yang menjadi saksi bisu masa lalu Erash. Gerimis masih berjatuhan, mengerti benar suasana hati Erash, membuat pikiran pria itu sesekali singgah ke masa lalu.

Melihat bocah-bocah yang asyik bermain di bawah tampias hujan dengan kaus basah kuyup mengingatkan Erash pada anak-anak di panti asuhan tempatnya pertama kali berjumpa dengan Elsie. 

Terbayang lagi wajah perempuan bergaun putih tulang yang menyambutnya di depan pintu panti asuhan, menanyakan apa gerangan yang menyebabkan pria berada macam Erash datang ke panti asuhan malam-malam dengan kemeja basah oleh air hujan.
Malam berkanopi hujan deras tersebut mengharuskan sosok Erash menumpang di panti tersebut untuk berteduh, tatkala dirinya terpisah dari rombongan teman-temannya. Ia disambut hangat, dibuatkan teh, dihidangkan kue-kue. 

Anak-anak panti sungguh antusias kala menatap kemeja licin yang dikenakan Erash, terlebih lagi jam saku mahal dalam genggaman pria itu. Namun bukan semua itu yang menarik perhatian Erash. Siapa sangka, perempuan baik hati yang mendedikasikan dirinya untuk anak-anak panti asuhan tersebut di kemudian hari akan menjadi pendamping hidupnya. 

Kala melewati hamparan hijau taman kota Großenkirchen, memori Erash terbang pada saat-saat di mana dirinya dengan percaya diri menyodorkan seikat bunga pansy kepada Elsie, membuat perempuan manis itu bersemu bahagia.

Elsie sama sekali tidak menjawab saat Erash meminangnya, ia hanya menundukkan kepala dalam-dalam, menyembunyikan rona merah yang merekah di sekitar pipinya. Namun, semua itu cukup untuk membuat Erash dengan percaya diri mengecup punggung tangan Elsie. Lantas menyematkan cincin cantik ke jemari mungil perempuan itu. 

Cincin yang serupa dengan waktu itu hingga saat ini masih setia melingkari jari manis Erash. Melihat toko kain di pinggir jalan mengingatkan Erash pada hari dimana mereka berdua dengan lihainya memilih kain sebagai bahan gaun pengantin, saat Erash terkagum-kagum dengan pilihan elegan dari calon istrinya. 

Gaun manis berenda putih itu kini terlipat rapi dalam tas besar di pelukan Erash.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Menatap langit, Erash teringat pada hari paling bahagia seumur hidupnya. Di bawah semburat jingga senja, di antara deretan pohon konifera, di antara riuh tepuk tangan para tamu. Dirinya dan Elsie bersanding bak raja ratu di altar pernikahan, mengucap janji suci yang mengikat mereka. 

Senyum tipis tercipta di bibir Erash, menghias dagu lancip pria itu. Dadanya selalu bergetar tatkala mengingat dirinya dan Elsie yang dahulu selalu merangkai masa depan bersama di sela-sela kesibukan mereka. Tentang keinginan memiliki sebuah rumah kecil di bagian tersepi kota. Tentang bayangan akan kaki-kaki kecil buah hati mereka yang berlari mengitari pekarangan. 

Ah, saat-saat yang indah.

Namun sayang, sebuah toko roti di tikungan jalan sana seketika merenggut senyumannya. Memorinya berputar menuju kejadian dua tahun lalu. Toko roti, api, asap, jeritan, besi yang ambruk, dan Elsienya yang menghilang.Hari itu mereka keluar apartemen dengan gembira, berbincang banyak perihal rancangan kue yang akan mereka pesan. Minggu depan genap tiga bulan usia pernikahan mereka. Erash yang merupakan seorang pria berada, tentu tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu untuk membahagiakan istrinya.

Rencananya, mereka akan mengadakan pesta kecil-kecilan di taman kota Großenkirchen. Mengundang kolega bisnis Erash, dan anak-anak panti asuhan yang dulu diampu oleh Elsie. Namun nahas, manakala takdir berkata lain. Terjadi ledakan besar di counter dapur toko roti yang mereka kunjungi. Api melahap hampir seluruh bangunan toko tersebut, memisahkan Erash dan Elsie dalam kebingungannya masing-masing.

Sejak saat itu, Elsie seolah pergi. Tak pernah ditemukan walau hanya jasad sekalipun, benar-benar raib ditelan semesta. Air mata tak lagi mampu ditahan oleh Erash, kerinduannya membuncah sudah. Dua tahun kasus itu diusut, jejak Elsie barang puluhan kilometer dari lokasi kejadian sama sekali tak pernah ditemukan. Dua tahun pula Erash selalu berharap, ia selalu berangan-angan tentang Elsie yang masih hidup di suatu tempat entah berantah.

Kereta kuda yang ditumpangi Erash berhenti di depan gerbang dermaga. Gerimis yang sedari tadi menghujam bumi perlahan-lahan ikut berakhir. Erash turun dari keretanya, menatap jauh ke belakang. Bibirnya bergetar menahan isakan.

"Terima kasih, Tuan," Erash menyerahkan upah pada kusir yang barusan mengantarnya. Sekuat mungkin berusaha agar wajah murungnya tak sampai tertangkap basah oleh si pria paruh baya.

"Baik, Sir. Saya permisi," Pamit si kusir, menghentakkan keretanya berbalik, menjauh dari pelabuhan. 

Erash menelan salivanya gusar. Bagaimana pun, tetap saja ada setitik keraguan dalam batinnya untuk meninggalkan Großenkirchen. Rasa-rasanya Elsie masih ada di sana, berbisik di telinga Erash, melarang lelaki itu untuk pergi.

Gerimis sudah sepenuhnya berlalu, namun nabastala masih terlihat mendung. Mungkin saja semesta memang sengaja membiarkan sosok Erash merenungi tanah tempatnya tinggal selama kurang lebih lima tahun belakangan. 

Sang surya sudah siap menutup hari di ufuk barat sana, menyisakan semburat keemasan yang berdansa bersama burung-burung di puncak cakrawala. Angin Oktober berembus lembut, membuat tenang siapa saja yang menyadari eksistensinya. Erash menghirup oksigen kuat-kuat, memantapkan hati untuk segera pergi. Lelaki itu kini mulai menyadari bahwa harapannya kosong, mustahil. Dirinya hanya mengukir beban sendiri, dua tahun berpura-pura, saatnya ia melanjutkan hidup.

Kakinya melangkah yakin menuju sebuah kapal besar di bibir dermaga. Tangan kanannya menggenggam erat tas besar berisi pakaian, sedangkan tangan kirinya bergerak mengeratkan mantel. Baiklah.

Tepat hari itu, genap dua tahun kepergian Elsie. Erash melepaskan rindunya dalam-dalam, mengasah hatinya tajam-tajam. Dari geladak kapal, Erash menepis segala rasa bersalahnya, ditatapnya kota Großenkirchen dari kejauhan. Erash berdamai dengan masa lalu, berdamai dengan rindu. Walau sesungguhnya ia tak tahu, bahwa Elsie masih menunggu.

Baca Juga: [CERPEN] Alasan

Le DixAiles Photo Verified Writer Le DixAiles

Terbiasa dipermainkan oleh hidup

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Debby Utomo

Berita Terkini Lainnya