[CERPEN] Mencari Keadilan

Saat keadilan hanya perkara fiksi

Menjadi anak teladan di sekolah memanglah menguntungkan. Tetapi, dalam beberapa kondisi, hal-hal sepele menuntut kita untuk tetap dalam posisi itu. Di sekolahku, tindakan menyontek, baik melalui buku ataupun gadget adalah hal yang sudah biasa dilakukan. Bahkan guru-guru yang menjadi pengawas seakan menormalisasi praktek itu dengan membiarkannya. Tak terkecuali kawan-kawan di kelasku.

Aku yang punya sifat ambis terhadap ranking pun tak mau membiarkan hal ini terus terjadi. Bagaimana tidak, dengan adanya praktek menyontek, anak-anak yang tidak belajar pun bisa mendapat peringkat. Bahkan mereka bisa menendang anak yang mendapatkan peringkat satu berturut-turut. Awalnya, aku putus asa melihat guru-guru membiarkan hal ini. Aku harus menegakkan keadilan lewat apa? Kepada siapa? Itulah yang membuatku membiarkan temanku yang biasa saja merebut tempatku di peringkat pertama.

"Ciee, turun, nih, ya!"
"Kapan, nih, peringkat pertama lagi, haha!"
"Besok aku yang nyalip, boleh?"

Deretan hinaan mulai teman-temanku lontarkan kepadaku.

Pagi itu adalah hari pertama kami ulangan semester pertama. Aku pun menyiasati untuk menggertak Wakil Kesiswaan supaya tidak diam saja. Tak seperti biasanya, aku berangkat lebih pagi, yaitu sekitar jam 6 lewat, supaya teman-temanku tak melihat apa yang aku rencanakan. Ku tulis surat kecil yang berisi keberatanku dengan pembiaran itu.

Pada secarik surat tersebut, tertera nama teman-temanku yang langganan mensontek di kelas saat ujian. Selain itu, aku juga melampirkan ultimatum untuk Wakil Kesiswaan bahwa jika dia masih diam saja, dia tidak pantas untuk berada di posisi tersebut. Ku letakkan surat itu di atas buku administrasinya supaya langsung terlihat.

Di jam pertama, Wakil Kesiswaan datang ke kelas. Aku sangat merasa lega karena kemungkinan dia akan menggeledah anak-anak yang langganan menyontek. Memang benar dia menggeledah mereka, tapi tak ku sangka dia juga membeberkan tentang anak yang menulis surat untuknya ke seluruh isi kelasku dengan nada marah.

"Sesuai permintaan kalian yang nulis surat ini, Ibu bakal menggeledah kalian-kalian yang suka nyontek. Rafi, Galang, Dina, Ikhsan, Pandu, Ega, Kinan, Imel, Eka, dan Doni cepat taruh buku dan HP kalian yang ada di rak di depan kelas! Sebenarnya Ibu gak akan datang ke sini kalau gak ada yang gertak Ibu. Memangnya kalian siapa? Okelah, terserah kalian mau bilang Ibu kerjanya gak becus atau gimana," tukas Ibu Wakil Kesiswaan dengan muka yang sedikit memerah dan serasa enggan menatap ke arahku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Seketika nafasku terasa sesak. Tak ku sangka langkahku ini akan dianggap salah oleh Wakil Kesiswaan. Toh, aku menggertak dia supaya dia bergerak karena selama ini tidak ada gerakan apapun yang dia dan guru-guru lain lakukan untuk mengatasi praktek menyontek. Tapi ternyata yang terjadi tak sesuai ekspektasiku. Setelah momen penggeledahan, teman-teman langsung menatapku dengan tajam, seraya menginterogasiku.

"Zein, kamu, ya, yang nulis surat itu?," tanya Rafi, ketua OSIS yang juga ku tulis sebagai salah satu anak yang suka menyontek. "Nggak, kok, aku gak nulis itu. Mana berani aku nulis gertakan ke Wakil Kesiswaan, sama Wali Kelas sendiri aja masih malu-malu," ucapku sambil memainkan pulpen dengan jari-jariku supaya lebih relaks. "Pokoknya yang nulis surat itu abis nanti! Liat aja, sok suci banget!," tegas Imel dari belakang kursiku sambil menodongkan penggaris besi yang cukup panjang.

Berbagai bisik yang heboh karena ulahku terus ku dengar. Di tengah ketakutanku dengan kemarahan teman-temanku, aku masih berusaha bersikap biasa saja. Untuk mengatasi itu, aku yang biasa pergi ke kantin lalu makan di kelas, pindah tongkrongan ke sebelah mushola sekolah. Di sana memang isinya anak-anak yang katakanlah 'nakal', namun dia sangat mentoleransi kedatanganku. Mereka suka membuat lelucon yang sedikit menenangkan jiwaku. Rasanya lebih baik aku berteman dengan mereka daripada teman sekelasku.

Setelah sepulang sekolah, aku selalu dihantui rasa bersalah. Aku berharap waktu bisa diulang lagi supaya aku tak perlu mencari keadilan yang sulit dicapai itu. Di kamarku yang lumayan minimalis, aku terus menangis. Jujur, aku bukan anak yang cengeng, tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa tidak mampu untuk melanjutkan sekolah esok harinya. Ujung-ujungnya, teman-temanku juga akan mengetahui kalau aku yang mengirim surat itu. Untunglah ibuku datang ke kamar dan menanyaiku.

"Zein, kenapa nangis?," tanya ibu sambil mengelus rambutku. Aku masih menangis. Aku tak punya cukup nyali untuk bercerita ke ibu. "Zein, kalau punya masalah cerita. Ibu bakal berusaha bantu," ucap Ibuku lagi. Ku mencoba mengontrol kesedihanku dan berceritalah aku kemudian, "Aa.. Aku gak tau lagi harus gimana, Bu. Aku ngelapor kawan-kawanku yang suka nyontek di sekolah, tapi malah Wakil Kesiswaan marah ke aku karena dia ngerasa aku lancang. Aku takut, Bu, kalau nanti mereka tau aku yang ngelapor," jawabku dengan terbata-bata dan segudang air mata yang masih mengelus pipiku. Rasanya memang sedikit lega.

"Ya Allah, jadi gitu, Nak. Ibu bukan mau marah sama kamu, ya, cuma nasehatin aja. Sekarang keadilan itu susah dicari, Nak. Mau sekeras apapun kamu nentang kalau lingkunganmu gak suka, kamu yang bakal disalahin," ucap Ibuku sambil menghapus air mataku.

Pengalaman itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagiku. Sekarang aku lebih ingin bersikap bodo amat terhadap hal-hal yang tidak wajar karena memang keadilan terkadang hanya akan menjadi perkara fiksi yang tak bisa kita tuntut di dunia yang sudah tua ini. 

Baca Juga: [CERPEN] Akseptasi

Le DixAiles Photo Verified Writer Le DixAiles

Terbiasa dipermainkan oleh hidup

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Debby Utomo

Berita Terkini Lainnya