[CERPEN] Mimpi dan Jimat

Tangisan anak-anak menguar, doa-doa mengudara

“Aku kemarin bermimpi.”

“Mimpi apa, Mbah?”

Mata tua itu menerawang langit-langit gedek yang mulai lapuk. Seolah mencari rayap yang menjadi biang keladinya. Mbah Mo, begitulah mereka memanggilnya, mengisap cerutu lintingannya dalam-dalam, bagai meresapi asam garam selama hidupnya.

“Hewan akan mangkir, bumi menjadi hitam. Menurut tafsiranku, hal buruk akan terjadi.”

Beberapa orang yang duduk bersila di depan rumah itu saling pandang. Apakah bencana akan datang? Semua berkasak-kusuk, membiarkan orang tua itu mengisap kembali cerutunya. Seseorang bangkit, berdalih ingin mencabut singkong untuk makan.

***

Hari masih dingin. Seorang pemuda sudah mengenakan capingnya. Tiba-tiba suara kentungan dengan irama satu kali berulang-ulang bertalu.

“Siapa yang meninggal?” tanya pemuda itu pada penduduk yang lewat.

“Mbah Mo!”

Pelataran rumah Mbah Mo dipenuhi penduduk desa. Beliau ditemukan terbujur kaku di kamar dengan sebuah kendi yang menggantung di langit-langit. Itu jimat Mbah Mo. Jika kendi itu jatuh dan pecah, hal buruk akan terjadi.

Desa itu berkabung, kehilangan orang yang disegani, kehilangan juru kunci gunung yang berdiri gagah di sana. Di kakinya-lah mendiang dikebumikan.

***

“Para perempuan menyiapkan sayur dan buah. Biar kita yang menyiapkan kerangka gunungannya.” perintah kepala desa itu diangguki warganya.

Kata-kata Mbah Mo-lah yang membuat kantor kepala desa ramai hari ini. Mereka akan membuat gunungan, lalu diarak dan ditaruh di gunung itu. Untuk menolak bala katanya. Ketika bapak-bapak sibuk menyiapkan bilah bambu, seorang pemuda berjingkat pergi dari sana.

***

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Pyaar!

Suara itu memecah kesunyian bilik berdinding gedek. Tangan pemuda itu telah menyelesaikan uneg-uneg di hatinya.

“Akhirnya kendi itu pecah juga,” gumamnya.

“Era sudah berganti, masih saja percaya dengan jimat, takhayul, apalah itu!”

Ia bergegas keluar dari rumah Mbah Mo sebelum ada yang datang. Tapi, pintunya terkunci!

***

“Hari ini panas, ya.” ujar seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster.

Mereka mengangguk. Seseorang bergegas mengisi cerek dengan pereda dahaga. Tiba-tiba, keadaan menjadi ricuh. Hewan-hewan berlari menuruni gunung dengan mengeluarkan ceracau. Mata kepala desa menatap titik terjauh di depannya, mendapati asap tebal keluar dari puncak bumi.

“Gunung mau meletus! Gunung mau meletus!” teriaknya pada warga yang mulai panik.

“Semua tenang! Segera bawa apapun yang bisa dibawa. Bapak-bapak bawa barang berharga dari rumah jika masih mungkin. Ibu-ibu segera membawa anaknya. Sebagian membawa sayuran dan buah yang tadi mau dibuat gunungan. Kita harus segera mengungsi! Segera pergi dan berkumpul di sini!”

Desa itu dipenuhi para manusia yang berlari dengan kelabu menyelimuti cakrawala. Semuanya lalu lalang berusaha menjaga jiwa agar tak senasib dengan raga tak bernyawa. Tangisan anak-anak menguar, doa-doa mengudara.

***

Mentari yang hilang dari pandangan telah bergantian dengan rembulan berkali-kali hingga gunung itu tak mengamuk lagi. Raga-raga berjiwa pun kembali, menuju kampung halaman yang tertutup abu. Pilu menghujani mereka, tetapi kini saatnya bangkit.

Sapu lidi dan pengki sudah di tangan. Dengan masker yang menutupi mulut, warga membersihkan warisan gunung itu bersama-sama. Banyak rumah yang hangus tak tersisa, tetapi kediaman Mbah Mo masih berdiri.

Abu mengisi tiap sudut ruangan. Di kamar mendiang, kendi itu masih tergantung, seolah tak ada kekuatan yang mengguncangnya. Penduduk semakin terkejut tatkala menemukan mayat seorang pemuda di samping dipan tua Mbah Mo.

Baca Juga: [Cerpen] T-Time

Sena Lestari Photo Writer Sena Lestari

Masih berusaha menapak anak tangga yang lebih tinggi. Menulis demi keabadian.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya