[CERPEN] Tamak

Karena baginya, sedikit sama sekali bukan bukit

Alkisah Ajoh, pemuda tanggung yang hidup sebatang kara. Tak pernah ia tahu siapa orangtuanya, apalagi siapa saudaranya. Bahkan mungkin namanya bukan Ajoh, tapi begitulah ia suka menyebut dirinya.

Ajoh menyambung hidup dengan menadahkan kedua tangan dimana saja ia merasa lelah untuk berjalan. Dan ia terus berjalan tak pernah menetap, sehingga ia tak kenal yang namanya kampung halaman.

Ajoh bisa kenyang dengan bermodalkan rasa kasihan. Ia kurus, tak terurus sehingga mereka yang punya perasaan pasti iba melihatnya. Tapi tak pernah ada yang tahu wajahnya. Mungkin saja dibalik rambut panjang awut-awutan, tersimpan paras rupawan.

Bahkan tak ada yang begitu mengingatnya, karena ia terus berjalan. Hanya berhenti sejenak untuk menadahkan kedua tangan.

Lama-lama Ajoh pun mulai bosan dengan dirinya sendiri. Ia inginkan lebih, seperti yang dimiliki orang-orang yang memberinya nafkah. Ia inginkan mendengar suara melalui kotak, tertawa sendiri sambil melihat kotak, berjalan dengan menggunakan kotak.

Sambil berjalan, ia dengarkan sekellilingnya. Bahwa ada tempat yang bisa membuatnya seperti mereka dan kemudian disusunnya rencana.

Ia pun berjalan ke sana dengan tekad yang kuat. Sekali ia menoleh ke belakang, dan berjanji bahwa ia akan kembali dan semua orang akan mengingatnya. Lapar dan dahaga tak dirasakannya. Panas terik dan hujan tidak melambatkannya. Kayu dan batu tidak menghambatnya. Hingga sampailah ia di sana.

Terkejut, itulah yang ia rasakan. Karena disekelilingnya adalah gurun pasir kuning terhampar luas. Ia pun bingung, dimanakah keberuntungan yang dijanjikan. Maka ia pun terus berjalan sambil tertunduk. Di situlah ditemukannya, butiran kecil berkilauan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Walaupun sangat kecil, Ajoh tahu betul akan seperti apa jadinya ia dengan butiran pasir berkilauan tersebut. Beruntungnya ia, butiran pasir tersebut hanya berkilau membentuk garis lurus di hadapannya. Maka dipungutnya pasir berkilau tersebut sambil terus maju berjalan.

1 menjadi 2, kemudian menjadi 5 hingga kemudian segenggam. Ajoh berpikir bahwa ini bisa membuatnya berjalan menggunakan kotak, berbicara menggunakan kotak hingga tertawa sendiri melihat kotak. Tapi ia inginkan lebih.

Ia ingin tidur beralaskan bulu angsa, beratapkan kubah-kubah selayaknya istana. Maka diteruskan perjalanannya hingga terkumpullah dua genggaman. Ajoh berpikir ini bahkan cukup untuk membuat dirinya terawat sempurna. Tapi ia inginkan lebih.

Ia inginkan dirinya sendiri yang memiliki kilauan ini. Tak ingin kehabisan pasir bercahaya ini. Tak inginkan bekerja lagi. Ia menolak menadahkan tangan lagi. Maka dibukanya satu-satunya baju yang ia miliki lalu terus berjalan mengejar batu berkilauan.

Entah berapa lama ia berjalan, ia tak tahu. Yang ia tahu, semua saku celananya telah berat, bahkan ia harus memikul baju yang menggembung penuh dengan butiran batu berharganya. Hingga sampailah ia diujung pencaharian.

Sebuah bukit menjulang tinggi yang menjadi sumber dari butiran-butiran batu berkilauan yang telah susah payah dikumpulkannya. Begitu besarnya, hingga seakan-akan menjadi matahari kedua. Giranglah Ajo. Tak terbendung bahagianya hingga terlepaslah baju yang dipikulnya dan berserakanlah isinya.

Tapi ia tak peduli, karena ia punya yang berkali-kali lipat lebih besar. Dipeluknya bukit batu tersebut, melompat-lompatlah ia seperti bocah di hari ulang tahun. Begitu kuatnya ia melompat, hingga bergetarlah tanah yang dipijaknya. Tanpa ia sadari, sebongkah batu tak lebih besar dari seluruh tubuhnya mulai menggelinding dari puncak sang bukit.

Ajoh terus bersorak-sorak dan melompat, hingga terlambat. Tiba-tiba ia tak bisa melompat dan sorak-soraknya berubah menjadi teriakan menyayat hati. Ia pun terduduk sambil memandangi kedua kakinya yang berubah kemerahan. Kemudian didengarnya, suara batu yang saling berbenturan menggelinding dari atas bukit. Dan ia pun menangis.

Entah berapa lama ia menangis, Ajoh tak tahu. Ia tak bisa merasakan tubuhnya, apalagi merasakan waktu. Ia pun berhenti menangis, karena ia tahu semuanya percuma. Semuanya terlambat. Ia tahu, bahwa sekarang ia harus berhenti berjalan.***

sely sely Photo Verified Writer sely sely

never too late to save and protect your environment

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya