[CERPEN-AN] Kertas Orange Berbentuk Kapal

Secarik kertas pemberian dia

Pagi yang muram.

Aku benar-benar tidak tau. Harus pergi ke mana aku. Napasku tengah memburu. Di luar sana segerombolan orang ingin mempermainkanku. Bukankah mereka cukup senang melihat wajah menyedihkanku sekitar lima belas menit yang lalu?

Samar-samar kudengar mereka berbincang. Sekedar lewat memang. Tapi itu sudah membuat jantungku terpacu kencang. Setidaknya mereka tidak tau bahwa aku bersembunyi dalam gudang.

Sekolah bukan tempat yang tepat untuk merasa tenang atau senang. Itu hanya opiniku, tapi berbeda setiap orang.

Kuputuskan untuk membolos jam pelajaran pertama. Setidaknya dapat menjauhkanku dari mereka. Hanya itu ide brillianyang terlintas di kepala.

Aku meringkuk.

Handphone yang ada di saku seragamku terus bergetar. Mereka terus menelponku dengan gencar. Mereka masih saja mengincar. Seingatku nomor-nomor mereka telah kuhapus dan kublokir dari daftar. Mungkin mereka gunakan handphone yang satunya atau milik teman mereka, tapi ini hanya perkiraan.

Aku ketakutan. Tak tau harus berbuat apa jika mereka menemukanku dan kembali melakukan kekerasan. Aku tau jika seharusnya aku melawan karena ini hal yang tidak boleh dibiarkan. Tapi aku sendirian.

Bagaimana bisa melawan orang-orang seperti mereka yang bekerja sama untuk menindas orang sepertiku yang tidak punya teman? Terlebih lagi ancaman mereka apabila berani mengadu kasus ini kepada guru, terutama wali kelas yang mungkin akan langsung segera menegur mereka habis-habisan. Tapi itu tidak akan kulakukan.

Sebut saja aku dungu atau apa. Tapi aku ini orang introvert, orang yang memilih menyimpan rahasianya. Dalam keluarga saja aku tidak pernah bercerita masalahku, apalagi di sekolah yang lingkungannya berbeda. Jika orang-orang di luar sana sangat menyukai bersosialisasi, maka menurutku itu hanya membuang tenaga.

Aku sering diledek pendiam atau antisosial, tapi tidak apa-apa. Karena orang-orang yang berbicara seperti itu hanya tidak mengetahui siapa yang sebenarnya.

Aku menggigit jariku. Setengah jam sudah berlalu, sedangkan aku tidak tau apa mereka masih mencariku. Ini masih pagi, tapi entah dari mana rasa kantuk mulai menyerang mataku. Kemarin malam aku kurang tidur karena mengerjakan tugas kelompok seorang diri, dan aku harus mengerjakan hampir sepuluh lembar sambil merangkum satu buku. Setidaknya tugas itu saat ini ada padaku, tepatnya lagi di dalam tas ransel abu-abu.

Aku menyandarkan kepalaku di atas ransel. Sebelum menutup mata, aku berbisik pada angin. Aku berucap bahwa aku lelah menghadapi situasi seperti ini. Dan kuharap angin akan menyampaikan doaku pada Tuhan.

Mataku terpejam.

Tapi tiba-tiba saja sepasang tangan dengan kasar menyeretku keluar gudang. Mereka menjambak rambutku tanpa belas kasihan, kemudian mereka semua tertawa kencang. Salah satu dari mereka maju, melayangkan tamparan keras pada salah satu wajahku dan menyiramku dengan air.

Seseorang anak lagi maju sambil menarik rambutku keras, hingga lepas beberapa helaian. Yang lainnya hanya mengangkat handphone mereka tinggi tinggi sambil merekam kejadian lucu itu.

Aku tidak bisa melawan. Tubuhku sangat lemas dan tenagaku habis tapi mereka terus saja melakukan kekerasan. Aku bukannya mengadu pada Tuhan. Tapi jika Tuhan belum mengabulkan do'aku maka itu berarti ini bukan saat yang tepat.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Tubuhku terjatuh, mereka menginjak tanganku tanpa belas kasihan. Samar-sama kulihat seseorang bertubuh tegap datang, tapi aku terlalu lemah untuk memfokuskan pandangan. Dalam hati aku hanya berbisik:

Siapa dia?

***

"--Ka? Tika?"

Aku mengerjap mataku cepat. "Oh, maaf. Aku melamun," ujarku sambil terkekeh pelan.

"Kamu lagi mikir apa?" Tanya Lia. Ia membuyarkan semua masa lalu yang tiba-tiba terulang kembali. "Jadi menurutmu gimana?"

"Kamu mau minta nasihat tentang temanmu yang saat ini jadi korban bullying?"

"Benar, temanku selalu dicampakkan teman sekelasnya. Aku jadi kasihan," tutur Lia. "Menurutmu apa yang harus dilakukannya?"

Aku memutar bola mataku, berpikir sejenak. "Kalau menurutku, jadi kuat saja! Jadi pribadi yang tahan banting!" Ucapku bersemangat.

Lia mengangguk sambil menghabiskan minumannya. Aku kembali memakan roti bakarku yang kini sudah mulai mendingin.

Jadilah kuat ya...?

Aku tersenyum kecil. Itu adalah kata-kata yang sama yang diberikan seseorang kepadaku saat itu. Seseorang yang kebetulan lewat dan langsung membantuku menghadapi bullying saat aku masih duduk di sekolah menengah akhir. Orang itu masih menjadi misteri hingga saat ini, karena sejak saat itu aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Bahkan aku tidak tau namanya. Hanya satu hal yang tersisa dari kenangan saat itu.

Kertas berwarna orange berbentuk kapal peninggalan orang itu yang ditulis dengan tinta hitam di atasnya. Kertas orange yang membuatku menjadi diriku saat ini, dan selalu kubawa ke mana pun. Kertas itu mampu membuatku berubah, dan dengan perubahan itu aku dapat mengubah takdirku. Kertas origami berwarna orange yang bertuliskan secarik kalimat,

"Jadilah Kuat."***

 

Jember, 28 April 2019

Baca Juga: [CERPEN-AN] Sebuah Nama dan Diagnosa

Shaula Photo Writer Shaula

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya