[CERPEN] Bu, Aku Sempat Ateis

Ibu boleh marah dan bersedih, adukan aku pada Tuhan yang selalu ibu agungkan itu

Aku, laki-laki dewasa yang panjang berjalan ke samping dan sempit berjalan ke depan. Bumi ini pun, yang aku tahu hanya sebatas pijakan tanpa aku mau rubuhkan badanku bersamanya. Bumi yang Tuhan ciptakan, isinya hanya membuat aku tidak percaya aku adalah ciptaan-Nya. Aku menuhankan ibuku, sebab dialah yang maha mengasihi aku dengan susu-susu penuh nutrisi. Tapi ibuku kukuh sejak kecil memperkenalkan Tuhan dengan aturan-aturannya yang susah aku mengerti.

Apa boleh buat? Aku adalah hamba yang dilahirkannya, maka aku menyayanginya yang tak pernah menyakiti aku sejak kecil. Aku berbohong, taat kepada Tuhan. Aku hanya taat untuk ibuku terhadap Tuhan. Ibuku hanya tahu itu sampai sekarang. Sampai pada aku mulai memilih jalanku sendiri, berjalan di atas mauku dalam hidup. Hidup tanpa aturan-aturan Tuhan, pencarianku di kehidupan ini semuanya aku persembahkan untuk mencintai ibuku.

Berbohong demi kebahagiaanya aku lakukan, hatiku tetap tidak dimiliki Tuhan. Banyak hal yang membuat aku tak mau menduakan ibuku, mulai dari aku sangat menunggu Tuhan yang ibu agungkan untuk selalu ada ketika dia menangis. Tuhan diam saja, bahkan di sekitarku kesedihan bisa didapatkan bagi siapa saja yang mau memilih untuk sedih, kebahagian pun sama seperti itu. Dari situlah aku bangga dengan pilihan kakiku untuk tidak berjalan menuju keagungan yang tidak di depan mata.

Memang ibuku bukan pencipta bumi ini, terserah untuk semua seisi bumi ini milik siapa. Aku cukup tahu bahwa ibuku yang memiliki aku dan aku yang memilikinya, aku taat dan mencintainya sebab dia yang ciptakan aku dengan nutrisinya yang selalu tumbuh sampai saat ini.

Sampai pada suatu malam, saat aku –seperti biasa– memanjakan diri pada ibu. Dia manjakan aku seperti bayi, aku nyaman di bawah tangannya. Sampai pada ibuku berkata dan berandai hendak pamit menemui Tuhan, aku sangat tidak setuju itu. Tuhan hanya mau kematian saja, hanya mau kepasrahan saja atas hambanya. Maka aku melawan ibuku untuk segera tinggalkan apa yang dia cintai selama ini. Dia menangis tersedu mendengar ungkapanku, hatiku sangat sakit. 

Aku telah berdosa menjadi membuat ibuku menangis sesedih itu, yang dicintainya telah aku murkai. Aku menutup kata atas kebohanganku selama ini terhadap ibuku, dan aku pergi dengan kesakitan yang telah aku buat sendiri.

"Ibu boleh marah dan bersedih, adukan aku pada Tuhan yang selalu ibu agungkan itu. Aku menjalankan perintah-perintahnya atas pengajaranmu, atas lisanmu sendiri. Aku tidak setuju kau mencintainya, dan menangis sebab aku tidak bisa mencintainya seperti ibu. Aku punya jalanku sendiri".

Aku mengutuk semua yang ada pada malam itu. Ingin aku kembali dan memeluk ibuku lagi, usia enam belas tahun yang aku anggap dewasa ini belum lagi siap ternyata bersedih sendiri tanpa ibuku. Aku ingin lari kembali malam itu, tapi aku belum yakin jika kesedihanku ini karena cintaku yang masih saja belum terhadap Tuhan.

Aku berjalan di jalan sepi, sampai aku mendengar suara bayi dan wanita menangis sambil memanggil Tuhan di gubuk penyimpanan sayur petani daerah ini. Dia perempuan cantik tertutup badannya, seumurku. Lalu aku menegur dari sampingnya, yang tampak bayi dan ari-ari yang belum putus, darah di tanah, dan tangisan di kedua manusia itu. Begitupun aku dengan hati yang masih menangis

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Sedang apa? Kau ini melahirkan?", tegurku.
"Aku sedang merasakan nikmat Tuhan yang tiada duanya aku rasakan di dunia ini, aku melahirkan anak dari suamiku yang sedang pergi mengangkut sayur ke pasar. Dan aku melahirkan di sini", dengan mata yang berlinang syukur.

Aku memotong "Panggil suamimu, itu anaknya.. bukan anak Tuhan, bukankah Tuhan tidak beranak? Atau kau? Tuhanmu lain lagi?". Dia menyimpan tangis bahagianya dan menegurku "Minta ampunlah kau kepada Tuhan sekarang, kau dalam ketidakpastian".

"Aku tidak melihat Tuhan yang kau panggil itu, bahkan ini yang kau sebut kebahagian? Dia tidak di sini, dia akan ada saat kau bersedih".
"Kau benar, Tuhan selalu ada saat aku bersedih, tapi aku cukup tahu diri bahwa Tuhanlah yang anugerahi tangis kebahagianku saat ini," menggendong bayinya yang masih berdarah ke atas pangkuannya.

"Bodoh, kau berdarah-darah, menangis dan masih memujinya?" tegasku.
"Pergi kau bodoh, Tuhan masih mengasihimu. Coba lihat darahku ini darah kebahagian, darah penyempurna pernikahanku dengan suamiku. Daging yang hidup ini adalah bayiku yang Tuhan berikan, Tuhan berikan hidup padaku dan pada bayiku. Sedangkan kau? Mati dengan keangkuhanmu", dia membetulkan duduknya.

"Apa maksudmu? Kau seperti ini? Kau percaya Tuhan? Kau hidup dengan aturannya? Menyembahnya?"
"Jelas, aku menyembah-Nya sebab tidak ada yang patut berkuasa dan tidak ada yang bisa menandinginya di jagat raya ini. Dia satu, kebesarannya tidak tertandingi" ibu muda itu mulai menyusui bayinya.

Aku pergi tanpa melawannya lagi, dua langkah membelakanginya dia berkata lagi.

"Berterimakasihlah pada Tuhan, hatimu belum penuh. Berusahalah mencintai jiwamu dengan ketenangan, dengan memilih Tuhanlah jalan semua kebaikan. Jika masih berat bagimu, aku tahu kau bukan manusia biasa. Kau sudah tahu Tuhanmu sendiri tapi kau belum meyakininya. Berat bagimu mencoba mencintai Tuhan? Jangan kau anggap berat aturan-aturannya, sebab Tuhan lebih mencintai ciptaanNya maka dia mengatur semuanya. Jalani peraturan apa saja yang berhubungan dengan Tuhan, sampai kau merasa yakin".

Aku berjalan pelan setelah perempuan itu bicara dan disusul dengan suara bayi. Aku berharap dia bicara lagi, aku tak mau hatiku bicara sendiri di perjalanan malam yang tidak jelas arahnya. Malah mengarahkan mataku berlinang dan menghentikan nafas yang tak teratur dalam menyimpulkan maksud wanita itu.

Aku pergi tertusuk dengan perkataan perempuan itu mengenai kata 'Ciptaan' dengan apa yang aku lihat tadi. Bayi dengan tangisannya, ibu dengan air susunya, kesakitan dengan kebahagiaanya. Aku pun ciptaan-Nya dengan segala yang aku pikirkan saat ini, aku tidak memiliki apa pun termasuk keyakinan. Ibuku tercinta, aku pulang aku putuskan untuk kembali. Belajar memaknai ketaatanku terhadap apa yang aku rasakan saat ini.

Salsiah Saodah Photo Writer Salsiah Saodah

Mahasiswa Televisi dan Film angkatan 2016 Institut Seni Budaya Indonesia Bandung

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya