Kita Pulang Dik, Setelah Pemilik Rumah Pulang

Terkadang jika seperti ini aku tidak mau kalah sedih soal cinta-cinta dan perempuan, tapi rindu tetap memenangkan jiwaku untuk sedih

Pulau yang pisahkan aku dari rumah sejak aku egois tiga kali berpindah universitas karena orantgtuaku tahu bahwa aku lebih cinta seni dalam belajar, dan aku lulus menjadi orang yang terdidik dan harus mengabdi di pulau ini. Tak sekali aku minta air di pulau ini bahwa aku sangat rindu ibu dan bapak di rumah. Sedikit lega karena memang aku percaya air ini akan hujani bumi lagi, dan sampai di bumi aku dibesarkan.

Setiap hari banyak anak yang memanggilku bapak, lucu sekali aku mendengarnya. Kini sebutan laki-laki itu ada padaku, padahal aku tidak cukup banyak kumis dan belum pasti beristri. Sebutan laki-laki itu membuat aku terancam dalam bertanggung jawab dalam penyaluran sedikit ilmuku. Dan membuat ancaman bahwa laki-laki tidak boleh cengeng berada jauh dari rumah.

Pulau ini membuat aku pernah jatuh cinta beberapa hari dan setelah itu aku lupa. Karena ketika skripsi dan izajahku sudah ditangan berikut nama baru, aku langsung bawa ke pulau ini membawa kata saudaraku yang kejam mulutnya “Satu-satunya anak yang kuliah harus bisa kerja dan kaya”. Sampai aku tak peduli lagi sakit yang bapakku rasakan. Meski sempat aku di rumah mengerikan dan menjaganya beberapa hari. Aku pergi pun tanpa pamit pada ibu dan bapak, karena aku terlalu sakit dan tak mau mengadu, dan aku pergi.

Sehari aku jatuhkan hatiku di pulau ini si adik memberikan pesan ajaib dalam ponselku, karena memang pulau ini sangat susah signal. Pesannya berisi “Kamu kuat? Kuatkan doamu dari sana, aku harap Tuhan kita masih sama dan kabulkan semua yang terbaik untuk bapak kita.” Fikirku ini tak lain dari keadaan bapak yang belum aku periksa terakhir disana, kemudian aku menelfonya dan berkata “Aku akan lebih menyalahkanmu jika bapak memang tidak baik, bagaimana keadaanya? Aku pulang sekarang dan lusa aku di rumah lagi.” Dia menjawab dengan suara yang riuh tersedak “Jangan bodoh lagi, berapa rupiah lagi nanti yang akan kau minta jika harus pulang saja.” Sama sekali tak aku pedulikan rupiah tapi bapak. “Kau yang bodoh, jika benar terjadi apa-apa aku marah. Tinggal kau sebutkan bagaimana keadaannya!” seruku yang marah padanya, dan aku tak jatuh cinta lagi tempat ini. Dia tak lagi mau menjawab terakhir dia menutup telfonku dan isak tangisnya.

Peduli apa aku soal ini, aku terus terang kepada orang yang mempercayai aku di sini. Izinku untuk pulang lagi karena bapak sepertinya menginginkan aku datang ke rumah, mereka baik dan aku pulang. Setelah aku sampai di bandara medan aku aku menunggu satu malam, kemuidan aku akan mendapatkan pesawat. Tiba-tiba ada telpfon tangis adikku “Bapak sudah pergi, jangan pulang kata ibu. Berdoa saja kami kuat satu keluarga,” tak aku jawab dia menutup telfonnya.

Aku cengeng menangis di kota orang, aku tak merasa ada di bumi dengan berita duka itu. Aku tahu bahwa aku bukan anak yang terdekat dengan bapak, malah bapak lebih sering menegurku ketika rambutku gondrong brutal seperti orang yang tak suka beribadah, tapi tak mau aku jawab karena aku tidak mau menambah masalah. Kini bapak pergi tanpa menegurku pulang dulu bahwa dia akan pergi dan tak kembali. Aku rasa ini curang, aku pergi dan aku janjikan pulang dan aku masih di bumi, sedangkan bapak pergi tanpa pamit kepadaku dan tak pulang sepertiku saat ini.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Bapak pergi menutup dirinya di bumi, hati ini tak pernah sepatah cinta-cinta. Dan aku mendapatkan pesawat, aku terbang tapi seperti dijatuhkan, tak enak ragaku ini. Tiba ketika aku di kota yang satu tanah. Temanku menyambutku dengan peluk dan aku senyumi mereka. Mereka antarkan tubuhku yang lemah ini menuju rumah yang aku maksud. Tak aku berbincang dengan mereka, perjalanan aku nikmati dengan kosong.

Aku sampai rumah, kemudian mencium ibuku seperti aku kecil, lemah dan memohon ampun atas kesedihan ini. Aku tak mau ini terjadi sebenarnya, aku bukan laki-laki yang bisa menguatkan ibu dan aku pergi melihat bapak yang sudah menutup dirinya, aku nikmati tanahnya yang dingin. Aku harap bapak tak marah aku hanya bisa datang hari itu. Aku menangis layaknya lelaki, aku tahan kesedihan ini sekuat mungkin.

Kemudian ibu bercerita tentang bagaimana dia pergi yang tak hanya merindukan anak-anaknya. Tapi dia lebih rindu Tuhannya, dia pamit malam-malam membangunkan ibu bahwa dia bermimpi tentangku yang ada dalam keadaan hati tak memberi keadilan padaku. Bapak titipkan maaf padaku dan menanyakan aku dimana malam itu, bapak meminta maaf wisudaku tak dia hadiri karena memang dia sangat lemah. Mungkin bapak mengira aku pergi atas kemarahanku, padahal tidak sama sekali.

Kini, aku sangat merindukannya di pulau ini, begitu kecilnya aku setiap menunju senja ditepi laut, begitu besarnya rindu ini kalahkan aku. Tak pernah aku putuskan lagi pulang, aku hanya menguatkan lagi hati dan jiwaku sebagai laki-laki untuk kuat di sini. Karena doa tetap akan Tuhan dengar untuk ibu yang masih setia kepadaku dan untuk bapak yang sedang bersama Tuhan. Terkadang jika seperti ini aku tidak mau kalah sedih soal cinta-cinta dan perempuan, tapi rindu tetap memenangkan jiwaku untuk sedih.

Sekarangpun aku tahu adikku sedang berada jauh dari rumah, dan kesedihannya sama. Aku doakan dia agar menjadi perempuan kuat, dan tunggu aku menjemputnya. Aku ingin mengajaknya pulang, tapi setelah pemilik rumah juga pulang, -Bapak kita

 

Salsiah Saodah Photo Writer Salsiah Saodah

Mahasiswa Televisi dan Film angkatan 2016 Institut Seni Budaya Indonesia Bandung

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya