[NOVEL] Autopilot Romance: BAB 1

Penulis: Revelrebel 

1. Snow on The Sahara

 

Nana

Badai salju kali ini sungguh di luar prediksi. Dari berita yang kutonton di kamar hotel sembari sarapan, pihak pemerintah sudah mengimbau warganya untuk berhati-hati karena diperkirakan salju akan semakin turun. Ucapan ahli klimatologi yang jadi narasumber di acara talk show TV juga tidak menenangkan. "Kalau terus seperti ini, besar kemungkinan transportasi akan terganggu."

Sama seperti orang lainnya, aku berharap semoga ucapan si ahli iklim tidak terbukti.

Namun apa yang kulihat di sepanjang jalan dari hotel ke bandara justru kebalikan dari keinginanku. Putih di mana-mana. Jalanan juga sepi. Sepertinya orang-orang memilih untuk diam di rumah ketimbang harus berkeliaran di tengah udara yang sangat dingin ini. Tidak se-pertiku, yang mau tidak mau harus menempuh badai salju demi mengejar penerbangan pulang.

Pulang. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti mengapa aku selalu terburu-buru ingin pulang padahal aku sendiri tahu tidak ada seorang pun yang menungguku. Kecuali Chloe, kucingku, yang terpaksa kutitipkan pada Andari. Selebihnya, hanya apartemen kosong dan dingin. Meski begitu, aku selalu ingin pulang. Meski kosong dan sepi, setidaknya aku merasa aman. Tidak seperti di tempat asing yang membuatku selalu tidak tenang. Padahal, pekerjaan mengharuskanku untuk selalu bepergian dari satu tempat ke tempat lain, dari satu meeting ke meeting lain, tapi aku masih saja merasa kurang nyaman dengan daerah asing.

Bandara sangat bertolak belakang dengan keadaan di luar. Di sini sangat ramai. Aku suka bandara. Menurutku ini tempat paling kontradiktif. Tempat mengucap selamat tinggal, sekaligus menyapa selamat datang. Tempat meninggalkan masa lalu, sekaligus menginjak masa depan. Tempat meninggalkan cinta lama, sekalipun menyambut cinta baru. Bandara sama sepertiku, kontradiktif. Menginginkan dua hal yang saling bertolak belakang. Tidak ingin jatuh cinta namun di dalam hati ingin ada seseorang yang menungguku pulang. Mungkin, selain apartemen, bandara satu-satunya tempat aku merasa nyaman.

Ketakutanku terwujud. Badai salju ini semakin menjadi-jadi sehingga beberapa penerbangan terpaksa dibatalkan. Termasuk penerbanganku. Dari pengumuman, masih belum bisa dipastikan kapan pesawatku bisa berangkat. Pihak maskapai menawarkan hotel untuk setiap penumpang. Namun, aku menolak.

Aku memilih untuk berdiam di sini. Sendirian.

Sambil merapatkan jaket, aku memandang ke luar jendela. Salju masih berjatuhan, semakin menimbun landasan pacu di bawah sana. Melihat tumpukan salju, entah mengapa aku merasa sepi. Atau mungkin selama ini aku memang merasakan sepi, hanya saja aku selalu berhasil menutup-nutupinya. Namun tidak saat ini. Tumpukan salju membuatku terpaksa mengeluarkan sisi melankolis yang ternyata masih kupunya.

Puas menatap salju, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Masih banyak orang di ruang tunggu ini. Sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ibu-ibu yang menenangkan anaknya yang ketakutan. Bapak paruh baya yang menelepon dengan suara keras, meyakinkan siapa saja yang ada di seberang sana kalau dia baik-baik saja. Pasangan yang tengah dimabuk cinta, si pria merangkul si perempuan sekadar untuk mengalirkan kehangatan. Dan banyak yang bicara di telepon. Mungkin mengabarkan seseorang entah di mana bahwa mereka terlambat pulang.

Kembali aku menatap kaca, menatap bayanganku sendiri. Tidak ada yang bisa kutelepon. Tidak ada yang harus kukabari bahwa aku terlambat pulang. Karena kenyataannya, tidak ada yang menungguku.

 

Alan

Tidak ada yang menyukai delay. Termasuk aku. Itu hanya menghambat waktuku untuk tiba di petualangan selanjutnya. Namun, kali ini sepertinya aku harus berterima kasih pada badai salju yang membuat penerbangan ini tertunda untuk waktu yang masih belum bisa ditentukan.

Dengan begitu, aku tidak harus segera tiba di Jakarta.

"Banyak yang mengomel di luar." Gilang, yang menjadi kopilot di penerbangan ini, tiba-tiba menghampiriku.

Itu bukan hal baru. Penerbangan yang terpaksa delay selalu menimbulkan masalah di mana saja. Mulut-mulut menggerutu yang tidak habis-habisnya berkeluh kesah, seolah-olah gerutuan itu bisa menyelesaikan masalah–yang dalam kasus ini membuat salju berhenti turun.

"Akhirnya lo mau juga ambil flight ke Jakarta." Gilang berkata lagi, sambil meminum kopi.

"Terpaksa."

Sebenarnya ini bukan jadwalku. Namun, Pak Dewa–seniorku–tiba-tiba diserang sesak napas sehingga harus dirawat di rumah sakit. Kebetulan aku berada di Jepang, menghabiskan cuti dua minggu di sini, dan bersiap kembali ke Singapura. Karena cuaca membuat jadwal penerbangan jadi kacau dan saat terdesak, pihak kantor menghubungiku untuk menggantikan Pak Dewa. Aku tidak bisa menolak, karena tidak ada pilot lain yang bisa menggantikan beliau. Termasuk Gilang, yang jam terbangnya masih belum mencukupi.

Aku dan Gilang berasal dari batch yang sama di sekolah penerbangan. Kami sudah berteman sejak lama. Tapi, Gilang terpaksa mundur di tengah masa pendidikan karena ayahnya meninggal mendadak dan ibunya mengalami depresi. Gilang terpaksa menemani ibunya hingga sembuh, dan kemudian melanjutkan pendidikannya dua tahun kemudian.

"About time sampai akhirnya lo pulang lagi. Sudah berapa tahun? Tujuh?" Gilang menekuk jarinya, berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya yang sebenarnya enggak penting itu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Meski tidak menjawab, dalam hati aku tahu jawabannya. Delapan tahun adalah jawaban yang pas. Delapan tahun aku berhasil menghindar dari Jakarta. Namun, aku tidak bisa menghindar lagi. Beruntung badai ini bisa membuatku sedikit mengulur waktu, tapi tidak kuutarakan karena bisa mengundang amukan massa yang tengah menggerutu di luar sana.

Sebuah tepukan di pundak membuyarkan lamunanku. "Lo pasti bisa melaluinya," ucap Gilang pelan, lalu bangkit meninggalkanku.

Tentu saja aku bisa melaluinya. Aku cuma akan tinggal beberapa hari saja di Jakarta. Menginap di hotel semalam dua malam, tidak perlu mengabarkan kepulanganku kepada siapa pun, lalu kembali menerima tugas terbang ke tempat lain. Dua hari, cuma itu waktu yang kubutuhkan.

"Hi, gorgeous," sebuah sapaan kembali menggangguku. Aku mendongak dan mendapati Audrey, salah satu pramugari, tersenyum manis kepadaku. Tanpa meminta izin, dia menduduki kursi yang tadi ditempati Gilang. "Enggak nyangka kita ketemu lagi di sini."

Audrey baru tiga tahun menjadi pramugari dan selama itu pula aku mengenalnya. Dia masih muda, mungkin sekitar 25 tahun, aku tidak tahu. Dan sejujurnya, aku tidak peduli. Namun, dia salah satu pramugari paling menonjol, semenjak dia bergabung di maskapai ini. Harus kuakui, dia sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai tapi punya lekukan yang menggiurkan. Juga payudaranya yang membusung itu, selalu mengundang siapa saja untuk bermanja-manja di sana.

Audrey tahu dirinya menarik. Itu terlihat jelas dari caranya membawakan diri. Seperti kali ini, ketika dia dengan sengaja menyilangkan kaki, yang mengakibatkan belahan roknya tersibak dan menampakkan pahanya yang putih. Senyumannya yang menggoda membuatku sulit menahan diri untuk tidak menciumnya.

Dan itulah yang kulakukan, mencium bibir Audrey. Melahapnya seolah-olah sudah lama aku tidak mencicipi bibir ranum seperti miliknya.

Audrey tertawa kecil ketika aku melepaskan ciumanku. Aku tahu dia tidak keberatan, meski dia tahu aku tidak akan pernah memberikan hal lebih selain permainan singkat di tempat tidur. Audrey memang tidak selalu berada di penerbanganku, tapi jika dia ada, kami pasti akan berakhir di kamar hotel yang sama.

"I miss you," ucap Audrey, dengan suara yang sengaja dibuat mendesah.

Perempuan lain pasti berharap aku akan membalas dengan ucapan yang sama. Namun, aku tidak akan pernah mengungkapkan hal itu. Untungnya, Audrey tahu meski dia tidak pernah kuberi tahu alasan kenapa aku tidak mau terikat. Dia tidak seistimewa itu untuk kujadikan tempat berbagi pengalaman paling menyakitkan sekaligus paling memalukan yang pernah terjadi dalam hidupku.

"Berapa lama di Jakarta?" tanya Audrey. Jari-jarinya yang lentik mengusap pahaku, mengalirkan aliran panas ke selangkanganku. Damn, this girl knows how to make me turn on.

"Belum tahu," jawabku sambil membenarkan posisi duduk, tapi Audrey malah semakin menjadi-jadi. Dari ujung mata, kulihat dia tersenyum simpul, seakan sengaja membuatku semakin menderita.

"Can I come?" tanyanya.

Aku tertawa–atau mendengus–mendengar pertanyannya. Datang ke mana? Aku tidak punya tempat untuk menetap di sana. "Your hotel room, I mean." Audrey tersenyum. "Aku tahu kamu enggak mau pulang ke rumah."

"How did you know about that?"

Audrey tertawa kecil. "Kamu tahu, kan, kalau kamu itu bisa curhat apa saja kalau lagi mabuk?"

Pengakuan Audrey membuatku terperangah. Apa yang sudah tanpa sadar kuberi tahu pada perempuan ini?

"Apa lagi yang kamu tahu?"

Audrey mengedikkan bahu. Dengan senyum penuh arti, dia mendekatkan tubuhnya ke arahku dan berbisik tepat di telingaku. "Aku akan kasih tahu setelah kamu bisa bikin aku puas," bisiknya dan mencium pipiku.

Sambil mengedipkan mata, Audrey bangkit berdiri. Sialan, sepertinya aku harus berhati-hati di dekat Audrey kalau tidak ingin semua rahasiaku terbongkar.

Lewat lirikan matanya, Audrey menantangku untuk mengikutinya. Kulihat dia menghilang di balik pintu toilet. Aku tertawa kecil dan menghabiskan kopiku, sebelum menyusul Audrey.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Autopilot Romance: PROLOG

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya