Diner With Philosophy: Short Stories-BAB 2

Penulis: A. Pradipta

Menu 2 : Sate Telur Puyuh Seribu Tusuk

 

Anak itu bernama Bimoseno. Meski namanya seperti nama seorang tokoh wayang Pandawa Lima dalam epos Mahabarata yang bertubuh besar dan gagah, anak itu bertubuh mungil dan kurus. Rambutnya dipotong model batok dengan poni lurus tepat di atas alisnya-membuat wajahnya tampak bulat sebulat telur puyuh kegemarannya.

Malam ini dia kembali datang ke warung saya, kali ini sehabis belajar kelompok di rumah tetangga.

"Pak Bos! Pak Bos! Hari ini ada itu?" tanyanya sambil melompat-lompat dengan girangnya. Saya nyengir.

"Ada, ada. Tapi setelah ini langsung pulang, ya. Saya antar sampai ke depan gang."

"Asyiiik!" ia melompat tambah tinggi. Kegirangannya memang di luar kendali. Anak sekurus itu begitu aktif dan bersemangat. Tapi, menurut ceritanya yang saya dengar beberapa kali, rasanya agak susah dipahami mengingat apa yang terjadi di sekolahnya. Ah, nanti saja saya ceritakan soal itu. Sebab si Bimo ini sudah menyambar setusuk sate telur puyuh dari wadah yang saya sodorkan padanya. Ia makan sate itu dengan nikmat.

Sate itu saya buat sendiri di rumah. Saya siapkan dari telur-telur puyuh sisa restoran yang tidak terpakai karena bentuknya jelek atau terlalu kecil untuk standar mereka. Telur-telur itu saya bumbui dengan kecap dan beberapa bumbu lain yang biasa digunakan untuk membuat bacem. Saya sengaja memasak telur-telur itu dalam waktu lama, direndam agak lama dalam kuahnya supaya rasa manis kecap dan bumbunya dapat meresap sampai ke dalam. Kalau telur-telur itu sudah berwarna gelap dan teksturnya agak mengeras, baru saya keluarkan dari kuah lalu tinggal ditusuk-tusuk saja. Satu tusuknya ada enam butir telur. Dan enam butir itu dengan cepat tandas dimakan si kurus Bimoseno.

"Enak?" tanya saya. Ia mengangguk-angguk cepat sehingga poninya bergerak naik-turun.

"Enak banget, Pak Bos! Lebih enak dari buatan Mamah! Tapi..." ia berhenti sejenak. "Enaknya sama sih sama sate telur yang di sekolah... Hehehehe."

"Hehehe..." saya ikut tertawa mendengar tawanya yang renyah. Saya heran, apakah ceritanya mengenai apa yang terjadi di sekolahnya itu benar. Sebab dia terlihat begitu ceria di sini... Lalu saya pun mengantarkannya pulang hingga ke depan gang.

***

Perempuan muda itu bernama Ruci. Mengingatkan pada saya tentang kisah Bima dan Dewaruci dalam salah satu babak epos Mahabarata.

Malam itu ia datang ke warung saya sendirian dengan wajah berseri.

"Anak-anak itu susah dimengerti ya, Bos," katanya setelah menuntaskan makan sebungkus nasi kucing, gorengan dan setusuk sate telur puyuh.

"Ada cerita apa lagi hari ini?" tanya saya.

Ia menengadah lalu menopangkan tangan pada dagunya. Tersenyum. "Kemarin ada muridku yang dijahili lagi oleh teman-temannya hanya karena ia tidak pernah jajan apa pun selain sate telur puyuh."

Saya penasaran, apa hubungannya antara wajah berseri itu dengan murid yang dijahili. Lalu saya pun mendengarkan dengan saksama ketika Ruci mulai menceritakan pengalamannya.

"Anak itu memang kurus tapi pandai luar biasa. Ia sangat aktif dan tidak jarang hyper-aktif. Tapi aku paham itu semua karena dia begitu suka mengeksplorasi hal-hal baru di sekitarnya. Mungkin itu yang membuat anak-anak lain iri padanya.

"Si kurus ini tidak tinggal dalam keluarga kaya. Ia seringnya tidak membawa bekal atau uang yang cukup untuk membeli nasi di sekolah sewaktu istirahat. Uangnya cuma cukup untuk membeli sebuah jajan yang tidak mengenyangkan. Entah sejak kapan, ia memilih sate telur puyuh yang dijual di kantin untuk dibeli-yang sebenarnya menurutku rasanya biasa saja dan lagi isinya cuma tiga telur per tusuk-lalu jadi tergila-gila padanya. Tidak sehari pun ia melewatkan istirahat tanpa makan sate telur puyuh mungil itu. Melihat kebiasaannya itu, kurasa teman-temannya melihat celah untuk menjahilinya, ah terima kasih Bos," ia berhenti sejenak ketika kusodori segelas air putih.

"Gratis," kata saya kemudian disambut dengan ucapan terima kasih darinya sebelum kemudian minum dan meneruskan bercerita.

"Anak-anak lain mulai memanggilnya 'Si Telur Busuk' apalagi wajahnya memang bulat seperti telur. Tapi anak kurus itu sama sekali tidak terpengaruh oleh panggilan itu. Ia malah balik mengejek teman-temannya, mengatai mereka tidak memiliki lidah seorang syef karena tidak bisa merasakan kenikmatan sate itu. Saya tertawa geli setiap ia mengatakan hal itu. Kata-katanya persis orang tua."

Ruci tertawa geli sejenak, baru kemudian melanjutkan. "Nah, kemarin tidak ada sate telur puyuh di kantin. Pembuatnya libur. Si kurus kecewa. Meski sudah ditawari makanan lain, ia tetap tidak mau. Saat itulah kawan-kawannya semakin gencar mengoloknya. Mereka berkata, "Telurnya diculik! Telurnya diculik! Telur Busuknya nangis! Dan... Yah. Dia betulan nangis. Meraung-raung. Sungguh aku kasihan melihatnya. Lalu kupisahkan dia dan anak-anak lainnya. Kubawa ke meja kerjaku di kantor, kuusap air matanya.

Ia berhenti sejenak untuk minum lagi. Saya rasa ia masih emosional.

"Besok mungkin telurnya ada lagi. Besok mau ibu belikan? Mau berapa? Dua tusuk? Tiga tusuk? begitu kataku menghibur hatinya. Dan tangisnya perlahan berhenti. Tapi ia menggeleng. Katanya, setusuk saja, Bu..."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ruci terdiam. Mengusap matanya yang terlihat agak basah.

"Tadi pagi kubawakan ia sekantong penuh sate telur puyuh itu. Kuminta ia membawa semuanya. Tapi ia masih menggeleng. Dan benar, ia hanya mengambil setusuk saja..." Ruci tersenyum sebelum melanjutkan, "lalu si kurus berkata dengan wajah berseri padaku. Bu Ruci, katanya, kalau sudah besar nanti, Ibu akan saya belikan sate telur puyuh seribu tusuk! Yang enak banget kayak sate telur ini! katanya kemudian makan setusuk itu dengan lahapnya. Mas Bos tidak perlu kuceritakan lagi bagaimana perasaanku saat itu kan, ya."

Iya, saya dapat menangkap perasaan Ruci melalui binar matanya dari sejak ia masuk ke warung beberapa saat yang lalu.

Lalu sebelum pergi dari warung, Ruci sempat berkata, "sepertinya dia betul-betul tidak tahu kalau akulah yang membuat sate-sate telur puyuh yang dijual di kantin itu."

***

Lelaki itu bernama Bimoseno. Seperti nama seorang tokoh wayang Pandawa Lima dalam epos Mahabarata yang bertubuh besar dan gagah, ia pun demikian. Sembari memakan sate telur puyuh yang ia sukai sejak kecil dulu bahkan hingga dirundung kawan satu sekolahnya, ia bercerita.

"Hari ini muridku ada yang dirundung karena kesukaannya makan manisan pepaya di kantin. Dia nangis karena manisannya sengaja ditumpahkan temannya yang lain. Aku terenyuh melihatnya, teringat pada kisahku sendiri sewaktu kecil dulu.

"Lalu aku membelikannya beberapa manisan pepaya dan berkata padanya untuk jadi orang rendah hati. Kuminta ia membagikan manisan itu pada teman-teman yang merundungnya. Kubilang padanya, biarkan mereka ikut mencicipi rasa enak makanan yang ia suka supaya mereka tahu mengapa ia begitu menyukainya. Kubilang juga kalau dia harus bangga dengan seleranya tapi tidak boleh lupa kalau ada orang yang tidak suka juga. Sebab dia hidup di dunia yang orangnya macam-macam. Lalu dia bertanya apakah aku macam orang yang suka manisan pepaya. Aku mengiyakan kemudian dia menawariku sebungkus buat dimakan bersama. Sialnya aku mau nangis melihat tindakannya itu dan dia memergokiku! Hahaha!" Bimoseno mengakhiri ceritanya dengan tawa. Saya merasakan kelegaan yang sama dengannya. Beberapa pengunjung warung ikut tertawa termasuk seorang wanita setengah baya yang duduk di pojok.

"Yah, aku cuma teringat oleh guruku semasa SD dulu. Yang membelikanku banyak sate telur puyuh ketika aku dirundung juga. Entah bagaimana keadaannya sekarang. Aku sudah tidak pernah bertemu dengannya sejak-"

"Bimoseno?"

Bimo yang mendengar suara memanggil namanya, menoleh ke arah sumber suara. Ke arah pojok, tempat sang wanita setengah baya duduk. Wajahnya seperti kebingungan.

"Ya. Saya Bimoseno. Ibu-"

Suaranya terhenti ketika wanita tua itu berjalan mendekatinya. Dan sebuah reuni kecil pun terjadi. Sebuah kuasa tak tampak menyatukan lagi dua kejadian yang terhubung oleh satu benda kecil nan lucu-sate telur puyuh. Tidak ada yang tahu media apa yang mampu membawa pelajaran bagi masing-masing manusia. Semungil atau seremeh apa pun, ia ada untuk membuat manusia belajar. Kadang kala, yang terlihat remeh justru membawa pelajaran yang lebih besar.

Saya pun meletakkan sepiring penuh sate telur puyuh di tengah percakapan riang mereka berdua.

"Walau belum seribu tusuk, Bimoseno akan membelikan ini semua untuk Ibu Ruci seperti yang dijanjikan. Gitu, ya?" tanya saya agak jahil kepada Bimoseno yang kini tidak lagi mungil itu. Tapi tawanya masih renyah seperti dulu.

"Ibu masih mau kan, Bu? Meski ini rasanya tidak seenak buatan Ibu yang dijual di kantin SD dulu..."

Ruci tersentak. "Kamu tahu?"

"Yah..." Bima menggaruk-garuk belakang kepalanya, "Saya sering melihat Ibu pagi-pagi menata dagangan di kantin diam-diam. Karena saya tahu sate itu buatan Ibu, saya jadi lebih bersemangat membelinya."

Ruci tersenyum lebar. Bimoseno pun demikian. Dan saya ikut menyimak perbincangan mereka dengan saksama, sembari memberikan pada mereka kantong untuk membawa sate-sate telur puyuh itu pulang.

***

22-5-2020

2:37 a.m

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: Diner With Philosophy: Short Stories-BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya