Diner With Philosophy: Short Stories-BAB 3

Penulis: A. Pradipta

Menu 3 : Susu Jahe Darimu yang Tak Terbatas Ruang dan Waktu

 

Kau mungkin tidak tahu bahwa ada yang dengan jeli selalu memperhatikan segala hal tentangmu.

Menghafal setiap gestur tubuhmu, mengamati detail tindak-tandukmu, menghayati setiap bentuk kata yang meluncur sejuk dari bibirmu.

Kau mungkin tidak peduli meski ada orang yang terang-terangan bertindak seperti itu. Atau mungkin saja kau sebenarnya tahu tapi tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang perlu dideklarasikan sebagai 'aku tahu'.

Namun segala kemungkinan itu selalu lebur setiap kali aku memandang senyummu.

 

"Lintang hari ini mau minum susu lagi?" tanyamu padaku, masih dengan suara sejuk yang kubenci-sebab terasa begitu jauh dan susah dimiliki.

"Eh, apa pun yang kamu punya," jawabku seakan tanpa tendensi apa-apa terhadap suaramu. Lalu kau hanya tersenyum ringan, berbalik badan, dan gerak jalan meracik minuman.

Setiap kali punggungmu berbalik hadap, aku bisa dengan terang-terangan memandanginya lekat. Rasanya bentuk bahu itu menyaru pantas dengan latar belakang warung tendamu. Menyatu dengan warna lampu merah-ungu. Seakan bentuk siluet sosokmu adalah juga satu bagian dari kanvas raksasa yang oleh orang lain sering dipisah-pisahkan menjadi 'objek' dan 'latar belakang'. Tapi bagiku, kaulah semesta lukisan itu sendiri.

"Kak Bos..." panggilku. Tak lama, kau menoleh sedikit untuk mengesankan bahwa kau mendengar panggilanku itu.

"Ya?"

"Apa ada yang beda sama warung hari ini?"

Tanganmu berhenti sejenak dari kegiatan menyiapkan cangkir enamel putih kesukaanku, lalu menjawab pelan dengan dilatarbelakangi derak halus suara susu sapi yang direbus dengan api kecil di atas kompor.

"Tidak. Masih sama dengan yang biasanya," lalu membalikkan badan menghadapku. "Memangnya Lintang melihat ada yang berbeda?"

Aku menelan ludah, sudah tak berani lagi menatap langsung pancaran di balik kacamata bulatmu. "Nggak juga, sih, Kak. Cuma rasanya... Hari ini agak sepi, ya. Lalu... Apa Kak Bos baru saja bercukur?"

Kamu diam. Aku pun diam.

Diam-diam itu dipecahkan oleh derak susu sapi yang harus segera diangkat dari kompor. Dan di akhir perlombaan diam itu, kau hanya menampakkan senyum tipis yang kubenci-sebab lagi-lagi terasa jauh dan susah dimiliki-kemudian cekatan mengangkat susu sapi lalu menuangnya ke cangkir enamel dari panci.

"Iya! Memang habis bercukur. Baru sempat bercukur," katamu dengan nada riang naik-turun yang aneh sekali. Bahkan kau mengucap kata 'bercukur' sebanyak dua kali.

"Oh, begitu," jawabku sebagai syarat saja-tidak mengandung makna apa-apa.

Lalu diam kembali. Dan pikiranku kembali mengembara persis seperti di awal cerita tadi.

Kau mungkin tidak tahu bahwa ada yang dengan jeli selalu memperhatikan segala hal tentangmu. Menghafal setiap gestur tubuhmu, mengamati detail tindak-tan-

Trek. Sesuatu diletakkan ke atas meja di depanku.

"Selamat atas kelulusannya, ya. Susu jahe hangat buat Lintang yang sedang berbahagia. Gratis."

Oh, begitu.

Ya, memang begitu.

Begitu hangat dan menyejukkan. Dan akan terus menyejukkan-meski kau masih saja menyajikan secangkir susu hangat untukku yang mulai akan beranjak dewasa.

Tapi tidak apa-apa.

Sebab ini rasa yang selalu aku suka.

Lho?

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Enak?"

"Dikasih jahe? Susu jahe?"

Kau mengangguk. "Enak?" kau mengulang pertanyaan.

Aku tidak tahu bagaimana rupaku saat itu. Tapi ini rasa baru yang jauh lebih menghangatkan dari sebelumnya. Kehangatan itu menjalar pada tenggorokan lalu perlahan menjalari seluruh badan. Rasa jahe yang dulu sama sekali tidak kusuka kini menjelma menjadi ramuan ajaib yang bisa membuat semangatku kembali kapan saja.

Oleh sebab apa? Mungkin karena kau yang membuatkannya?

"Enak banget! Wah, rasanya hangat ya di tenggorokan. Kukira bakal pahit-karena setiap minuman jahe yang pernah kuminum terasa pahit dan selalu meninggalkan rasa tidak nyaman di tenggorokan. Tapi ini beda... Mungkin karena-"

"Susunya, ya? Mungkin karena kamu sudah terbiasa minum susu makanya begitu saya campurkan ekstrak jahe ke dalam susu jadi rasanya familier."

"Oh, begitu," kataku seperti tidak ada lagi pilihan kata lain selain itu. Tapi perasaan hangat ini terus menjalar. Dan kuyakin sebabnya bukan cuma karena rasa susu jahe ini, melainkan karena kau yang membuatkan ini untukku. Untuk hadiah kelulusanku, katamu.

"Kak Bos makasih banyak ya. Ini enak banget," kataku padamu-sekali lagi mengulang kata-kata, seperti tidak ada kata lain yang bisa kupilih untuk diucapkan.

"Sama-sama. Minum sampai habis, ya!" katamu kemudian seperti biasa menepuk-nepuk kepalaku, lalu kembali mengalihkan perhatian pada seorang pelanggan yang baru masuk ke dalam warungmu.

Oh, ya. Aku tahu. Memang seharusnya begitu. Kau memang bukan hanya milikku. Dan selamanya akan terus seperti itu.

Aku lupa kalau dalam setiap gerakmu, setiap sajian olahanmu, bahkan setiap embusan napasmu pun adalah milik semua orang yang masuk ke warung ini. Memiliki bukan berarti secara sepihak mampu memonopoli hal yang kusayangi lalu menyuruh orang lain untuk pergi. Memiliki yang sejati berarti memberikan keleluasaan sebesar-besarnya untukku sendiri untuk merasa memiliki, tak terbatas ruang dan waktu. Itu artinya, ia pun harus kuberikan keleluasaan untuk memiliki apa pun tanpa batas ruang dan waktu.

"Sudah mau pulang?" tanyamu melihatku bangkit dari kursi setelah menandaskan habis secangkir susu jahe hadiah kelulusan tadi.

"Iya, Kak Bos. Besok harus ke sekolah lagi untuk mengurus administrasi," jawabku.

Senyum kembali mengembang pada bibirmu, "terima kasih sudah mampir kemari, ya. Kapan pun kau ada waktu, jangan lupa mampir kemari. Saya selalu punya susu dan jahe setiap saat, setiap waktu."

Aku memandang wajahmu lekat-meski melewati kedua matamu, sebab tak pernah berani.

"Setiap saat ada bahan buat bikin susu jahe? Tak terbatas?"

"Ya! Tak terbatas ruang dan waktu."

Rasa hangat itu kembali menjalariku. Aku terkikik perlahan mendengar jawabanmu yang selalu tak bisa kusangka-sangka.

"Kalau begitu permisi! Semoga rame, ya, hari ini!"

Kau pun melambai. Dan aku pun pergi.

Untuk kembali lagi menjumpai dirimu sekaligus secangkir susu jahe bikinanmu.

Melepas rindu.

Tak terbatas ruang dan waktu.

***

26-5-2020

1:55 p.m

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: Diner With Philosophy: Short Stories-BAB 4

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya