Diner With Philosophy: Short Stories-BAB 4

Penulis: A. Pradipta

Menu 4 : Malam-Malam Makan-Makan

 

"HUAHAHAHA-uhuk! Uhuk!"

Segelas air putih segera mendarat di mulut orang yang tertawa terbahak tadi. Dibawakan oleh seorang pemuda berumur awal 20-an yang tertawa tertahan, seperti menahan kentut. Ia dengan patuh (atau pura-pura patuh) menyorongkan gelas pada mulut orang yang tertawa di sebelahnya, seorang laki-laki setengah baya berwajah kocak.

"Minum dulu, Pakde," kata si pemuda pada si tua dengan aksen Jawa yang kental. Si pria tua mendorong ringan tangan si pemuda setelah menenggak habis seluruh isi gelas.

"Haa! Elu yang selalu bikin gue ketawa sampai jantung mau copot gini! Hadeh... Bocah zaman sekarang ye, aneh-aneh mulu..."

"Lha, habisnya..."

Lalu keramaian itu sunyi sesaat. Dari area "dapurnya", Mas Bos melihat perbincangan itu dalam diam. Tersenyum lebar. Kedua pelanggannya itu memang kompak dalam hal keriuhan malam-malam.

Sebut saja mereka Si Sopir dan Si Kernet. Dan profesi mereka memang sopir dan kernet. Si tua yang tersedak ketika tertawa tadi, adalah sopir bus Trans Kota yang hari itu mendapat giliran shift malam. Si pemuda adalah kernetnya, yang hari itu juga mendapat giliran shift yang sama. Setiap mendapat giliran shift malam yang berakhir pukul dua belas, mereka selalu menyempatkan diri mampir ke warung Mas Bos, memesan sepiring penuh makanan lengkap beserta segelas besar teh hangat.

Biasanya Mas Bos diminta untuk membuatkan nasi dengan sayur sop, sayur bayam atau tumis kangkung tergantung ketersediaan bahan hari itu. Lalu untuk lauknya, Mas Bos biasanya menawarkan tempe goreng, ikan goreng atau telur dadar-lagi-lagi tergantung ketersediaan bahan hari itu-plus sambal dan buah yang melengkapi menu makan malam besar mereka.

Tapi hari itu berbeda.

"Heh! Elu kalau kagak mau makan itu jatohnya paling sakit, bukannya kurus! Inget kerjaan lu juga dong, Tong! Kudu makan banyak dan bergizi!" Si Sopir menonjok pelan bahu Si Kernet diakhiri kekehan yang di kuping Si Kernet terdengar memuakkan-padahal biasanya ia respek dengan kekehan khas itu.

"Njenengan bukannya support malah ngejek! Saya kan juga lagi berusaha, to..." protes Si Kernet. Dahinya mengerut dalam, membuatnya wajahnya menua seketika.

Si Sopir perlahan berhenti tertawa sebelum berkata, "Kenape, sih? Padahal elu kan kagak gendut-gendut amat. Aman lah sebagai cowok."

"Tapi..." sambar Si Kernet, "Dia sukanya sama yang kurus..."

"Tau dari mane?"

"Tau aja lah, Pakde..."

"... Si Winda yang jualan tiket bis di Terminal Kota itu, kan?"

Perkataan Si Sopir membuat Si Kernet terenyak. Matanya membundar, sebundar telur ceplok di piring penuh makanan milik Si Sopir, seakan bertanya tahu dari mana, Pakde?

Si Sopir menyahut sinyal itu, "Keliatan banget dari cara lu ngomong ke dia. Lu kira gue kagak pernah muda, apa? Yang lu tiba-tiba izin ke toilet padahal belok mampir buat kasih gorengan ke dia itu gue juga liat. Yang lu nawarin pulang bareng ke dia sampe rela ujan-ujanan karena jas ujannya lu kasih ke dia itu juga gue tahu."

Si Kernet muda menundukkan kepalanya, lalu menggaruk-garuk belakang telinganya. Jelas sekali membenarkan perkataan Si Sopir tua. Di antara percakapan mereka, Mas Bos kembali tersenyum di balik bayang-bayang warung tendanya. Di saat seperti itu dia memilih untuk diam saja dan mendengarkan. Persis hantu.

"Dia cewek baik yo, Pakde?" tanya Si Kernet kemudian. Lirih.

Si Sopir berdecak sebelum menjawab, "Ya kagak tahu. Tapi kalau saran gue-itu kalau elu mau denger. Mau kagak juga nggak papa-mending lu cari yang lain. Dia terlalu cantik buat ukuran orang kayak elu, ups jangan marah. Maksudnya dia bukan tipe yang gampang elu pegang..."

"Saya tetep akan berusaha, Pakde," tanpa diduga Si Kernet berkata mantap. Karenanya Si Sopir tak berkata apa-apa lagi selain diam dan mulai makan makanannya.

Dan di akhir kunjungan mereka, tidak sedikit pun Si Kernet muda meminta makanan meski di sebelahnya, Si Sopir tua tampak menikmati makanannya yang menggunung di piring. Namun wajahnya pucat, entah oleh apa. Tidak ada yang tahu.

Persis hantu.

***

Malam berikutnya, Mas Bos mendengar cerita dari Si Sopir tentang apa yang terjadi padanya hari itu. Mas Bos awalnya terkejut ketika melihat wajah Si Sopir tua yang bengkak-bengkak dan terluka di beberapa bagiannya tapi ia urung bertanya sampai Si Sopir menjelaskan sendiri alasannya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Cerita bermula dari Si Sopir yang sedang berbincang dengan Winda-si-gadis-penjual-tiket mengenai sesuatu-yang belum juga ia ceritakan pada Mas Bos sampai titik ini. Ketika Si Sopir tua memegang tangan Winda karena sesuatu-idem-datanglah Si Kernet muda. Seperti adegan opera sabun, Si Kernet muda marah lalu menarik bahu Si Sopir tua dan berkata kasar.

"Jadi ini alesan njenengan minta saya buat pergi dari si Winda?!"

Lalu bak-buk-bak-buk! Mereka berkelahi-ah, mungkin itu yang diingat orang. Tapi sebenarnya, hanya Si Kernet muda yang terus memukul Si Sopir tua hingga datang orang-orang yang memisahkan mereka. Si Sopir hanya diam dipukuli. Pasrah. Mengapa demikian, mungkin itu ada hubungannya dengan perbincangan antara Si Sopir dan Winda-si-gadis-penjual-tiket, yang belum diketahui isinya oleh Si Kernet yang telah berlari pergi meninggalkan Terminal Kota.

***

Tepat ketika Si Sopir berbincang dengan Mas Bos di warung tadi, Si Kernet muda berjalan tanpa tujuan ke arah pertokoan. Ia masuk ke dalam sebuah minimarket untuk membeli sebotol kopi dingin instan untuk menyejukkan tenggorokannya-kalau bisa sekalian hatinya-yang kering.

Saat itulah ia melihatnya. Winda-si-gadis-penjual-tiket berdiri di rak-rak yang berhadapan dengan kulkas minuman dingin, sedang berbincang akrab dengan seorang pemuda penjaga minimarket. Bukan sedang bertanya mengenai letak produk atau minta diambilkan sesuatu, tapi mereka bercanda seperti sepasang burung yang sedang kasmaran. Menepuk, mencolek, mencubut, disertai senyuman.

Setahu Si Kernet muda, Winda-si-gadis-penjual-tiket sebenarnya punya pacar di kampungnya sana. Makanya ia rela menunggu sembari berdiet untuk menarik perhatian gadis pujaannya. Tapi lihat apa yang dilihatnya di minimarket hari itu.

Ia pun melupakan kopi dinginnya dan berjalan keluar minimarket dengan perasaan yang sama sekali tidak sejuk. Dan menangislah ia seperti bayi.

***

Si Sopir tua menemukan Si Kernet muda sedang duduk di tempat favoritnya kedua setelah warung Mas Bos ketika tak menemukannya di tempat kosnya; bukit kecil di belakang Terminal Kota. Dan ia menemukannya masih menangis seperti bayi belum tumbuh gigi.

"Ketahuan belangnya, kan? Sori kagak bilang dari dulu-dulu. Kagak tega sama elu," kata Si Sopir tua tiba-tiba.

Si Kernet tidak terkejut karena tadi sudah melihat Si Sopir berjalan di jalan kecil belakang terminal yang menuju bukit kecil itu. Ia menghapus air matanya sebelum melanjutkan, "Njenengan sudah tahu ya, Pakde... Dan saya sudah diperingatkan tapi ndak mau."

Si Sopir yang sudah duduk di sebelah Si Kernet berkata pelan, "lebih dari tahu. Soalnya dia itu mantan calon tunangan anak gue."

Si Kernet terkesiap.

Si Sopir meneruskan bicaranya. "Elu tahu anak gue yang ngunci diri di kamar itu? Iya, yang dikata orang kurang waras itu. Nah, si Winda itu kabur sama cowok lain di hari pertunangan mereka," katanya sebelum kemudian menyulut rokok dan mengembuskannya pelan. Si Kernet mendengarkan sembari berpikir, bagaimana ia bisa nrimo begitu?

Tapi ia malah melempar pertanyaan lain. "Yang tadi di terminal itu apa?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Gue mohon-mohon ke dia, entah udah keberapa ratus kalinya, buat minta maaf ke anak gue. Dia belum jawab, eh elu udah nongol duluan. Nih, jadi benjol kan gue," kata Si Sopir tua sembari menunjuk benjolan di pipinya. Tertawa terbahak kemudian.

Si Kernet nyaris menangis lagi ketika Si Sopir memberikannya serantang makanan yang masih hangat. Berisi nasi pulen dengan sayur asam hangat penuh tetelan daging, lele goreng berbumbu gurih, kering tempe-kacang pedas serta buah pisang. Katanya itu dari Mas Bos yang khawatir setelah mendengar cerita sebenarnya dari Si Sopir.

 

Dan bersama serantang makan malam penuh gizi itu, Si Sopir tua juga menitipkan pesan dari Mas Bos.

Saya membuatkan makanan yang agak beraroma tajam untuk merangsang nafsu makan dia. Meski sedang jatuh cinta atau patah hati sekalipun, harus tetap makan. Sebab makanan adalah bentuk lain cinta yang tidak harus mendayu-dayu atau merah muda. Sama seperti makanan, cinta juga mengenyangkan. Tapi selagi kenyang, jangan pernah lupa dari mana rasa itu berasal.

Si Kernet muda akhirnya tersenyum lalu mengaturkan permintaan maaf yang mantap seperti ikrar tekatnya mengejar cinta kemarin pada Si Sopir tua. Sebuah bentuk respek yang tidak diromantisasi. Hanya respek saja.

Dan ketika malam semakin larut, mereka berdua pun makan seisi rantang dari Mas Bos itu bersama-sama.

1-6-2020

1:24 a.m.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: Diner With Philosophy: Short Stories-BAB 5

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya