[NOVEL] Ekspedisi Peksi-BAB 2

Penulis: Hening Swastika

2. Kembalinya Si Bocah Ilang

 

Semuanya berawal dari liburanku yang kacau ....

Andai adikku, Hara, tidak lahir terlalu awal, mungkin Ayah dan Ibu tidak akan membatalkan semua janjinya padaku. Janji yang seharusnya mereka penuhi di momen kelulusan SD-ku ini.

Lupakan soal membeli gim baru. Buang pula keinginan datang ke meet and greet karakter gim kesukaanku. Sejak hari pertama liburan aku hanya menginap di rumah Eyang. Hal yang kedua orangtuaku pikir bisa menggantikan semuanya.

Huh. Padahal di rumah Eyang kegiatanku sama seperti di rumah. Hanya bermain Nintendo Switch atau menggambar. Boro-boro mengajakku pergi ke suatu tempat. Kedua eyangku malah lebih tertarik meributkan Hara. Ya, namanya juga cucu baru. Sebagai cucu satu-satunya selama 12 tahun ini, aku berusaha mengerti itu.

Sampai tiga hari lalu, keadaan berubah. Lewat kemunculan seseorang di balik pintu kamar yang kutempati selama di rumah Eyang.

"Alohaaa!"

Aku yang sedang memainkan Pokemon di Nintendo Switch, langsung mengenali suara ngebas itu dan caranya mengetuk pintu. Sudah jelas ini dia. Manusia favoritku yang sudah lama tak pulang dari tugasnya di Sumatra.

"Om Geee!" Aku bangkit menghambur. Melupakan gim di tangan, memeluknya erat-erat.

"Ho ho .... Sehat, Nyu?" tanya Om Ge seraya mengacak-acak rambutku.

Aku mengangguk bersemangat. Dan ketika kulepaskan diri darinya, baru kusadari ia tampak berbeda. Gondrong sekali rambutnya. Warna hitamnya hilang, berganti pirang. Kulitnya pun lebih gelap dari yang terakhir kuingat. Mukanya kuyu, badannya kering. Sungguh dia lebih mirip tanaman sekarat daripada manusia.

"Apa di hutan ada lintah yang bisa menyedot lemakmu?" Aku menowel-nowel lengannya.

"Mana ada lintah penyedot lemak? Ini gara-gara terkikis angin perjalanan!" Ia tertawa menepuk lengannya.

Aku ikut tertawa. Meski tak tahu di mana letak lucunya.

Om Ge, 30 tahun, adalah adik ibuku. Kedua eyangku memanggilnya 'Bolang'-Bocah Ilang-karena sekali bertugas, dia bisa tak pulang lama sekali. Parahnya, setiap bertugas dia juga sangat susah dihubungi. Tentara? Bukan. Om Ge seorang fotografer alam liar di sebuah media cetak. Tugasnya memotret kehidupan flora dan fauna di berbagai pelosok Nusantara.

"Gimana liburanmu?" tanya Om Ge ketika kami berpindah ke ruang tengah. Ruang tempat segala ritual keluarga dilakukan, mulai dari nonton TV, membaca, bermain piano, bahkan makan.

"Gini-gini aja. Nggak ke mana-mana," jawabku sambil memainkan lagi Nintendo Switch yang kubawa serta dari kamar. "Ayah baru kemarin dinas ke Bandung. Ibu masih repot sama Hara, terus Eyang ...." Aku diam sejenak mengamati pintu kamar kedua eyangku. "Ya, gitu deh ...."

Om Ge terkekeh. "Bosan ya, nggak ada yang ajak main?" cetusnya seolah bisa membaca pikiranku.

"Ugh, jangan tanya lagi. Udah jadi oncom, nih." Aku memberengut.

"Ya ampun, kasihan amat. Sini, kukasih hiburan. Mau lihat foto-fotoku di Sumatra kemarin, nggak? Ada beberapa yang udah kusalin di HP, nih." Om Ge mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

Nintendo di tanganku kembali terbengkalai. Kurapatkan dudukku mendekati Om Ge dan kuintip layar ponselnya tak sabar. Lalu saat foto-foto itu muncul, aku cuma bisa terperangah lebar.

Lihatlah serombongan gajah yang menyeberangi sungai itu. Orang utan yang sedang menggelantung di sulur pohon, harimau yang berlari menggondol buruan, juga elang yang sedang menyambar ikan di tengah laut! Sangat ... ekspresif! Berapa hari yang Om Ge habiskan di balik persembunyiannya demi mendapatkan momen begini?

Masih terbawa kekaguman, aku makin terlongo saat melihat gambar selanjutnya. Seekor hewan yang tengah menggulung, yang mengingatkanku kepada salah satu 'hewan' di dunia Pokemon, gim kesukaanku. "Sandshrew ...."

"Tenggiling, Nyu. Manis javanica ...." Koreksi Om Ge cepat.

Aku melemparkan cengir kuda. Bukan tak tahu kalau hewan bermoncong panjang itu adalah inspirasi karakter Sandshrew. Kalau dilihat-lihat, ternyata lapisan keras di punggung tenggiling jauh lebih mirip kulit salak! Berbeda sekali dari milik Sandshrew yang lebih mirip kulit durian saat dia berubah menjadi Sandslash.

"Foto ini kuambil di Jambi. Buat edisi yang membahas perdagangan ilegal hewan-hewan dilindungi," terang Om Ge.

Alisku menjengat sebelah. "Tenggiling diperdagangkan? Buat apa? Dipelihara?"

Om Ge tersenyum, meraup segenggam kacang dari stoples di meja. "Mungkin. Ada kok yang melakukannya. Cuma yang sering terjadi, dia dijual ke luar negeri buat bahan konsumsi."

"Hah? Maksud Om ... dia dimakan?"

Om Ge mengangguk. Kemudian melanjutkan bicara dengan mulut penuh kacang, "Daging tenggiling dianggap hidangan mewah, Nyu. Dan sisiknya laris diolah buat jadi obat tradisional. Saking larisnya, nggak sedikit yang memburu dia cuma buat mengambil sisiknya. Hidup-hidup, lagi."

"Hah?"

"Begitulah. Di Jambi kemarin, aku lihat sendiri bangkai-bangkai tenggiling bergelimpangan di pinggir sungai. Sisiknya sudah nggak ada ...."

Aku menelan ludah. Merenungi nasib Si Manis yang jauh dari manis. Bahkan terlalu tragis buat bisa kubayangkan.

"Manusia kalau udah serakah emang cuma bikin sengsara makhluk hidup lain. Gajah mati tanpa gading, tenggiling tanpa sisik, harimau nggak ada kulitnya, rangkong gading nggak ada kepalanya, ...."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"HAH?"

"Hah-hoh-hah-hoh." Om Ge menepak bahuku. "Sudah, sudah. Kita ganti gambar saja. Kok malah jadi cerita horor begini ...." Om Ge segera menggeser gambar di layar. Dan foto yang muncul selanjutnya tak luput membuatku terpukau hingga terpekik.

"Tangkar ongklet!" Spontan kurebut ponsel di tangan Om Ge. "Ketemu di mana, Om?" tanyaku antusias seraya memperhatikan foto burung itu dengan saksama.

Om Ge tertawa kecil. "Di Jambi juga. Nggak jauh kok dari tempat si tenggiling tadi."

Seketika, kepalaku memunculkan kembali ingatan pertama tentang burung bercorak putih di leher ini. Di pasar burung, ketika aku ikut Om Ge pergi liputan. Warnanya cokelat, bukan abu-abu kehitaman seperti di foto. Om Ge bilang, perbedaan warna menunjukkan asal tangkar ongklet. Cokelat dari Kalimantan, sementara abu-abu kehitaman dari Jawa atau Sumatra.

Suaranya nyaring, menderik cepat, mirip cericip tupai. Dan setiap kali berbunyi, badannya bergoyang. Ujung sayapnya pun tak ketinggalan ikut bergetar. Seakan dia penyanyi yang sedang bejoget saat berdendang. Ditambah jambulnya yang tegak lurus panjang, dia makin terlihat unik. Mirip orang mau naik pentas. Tak heran jika ia punya banyak penggemar. Semua orang tertarik memeliharanya sebagai burung kicau.

"Pengin deh suatu hari bisa lihat dia di alam bebas, Om ...," ucapku lirih.

Om Ge menegakkan duduknya, menatapku lurus-lurus. "Bisa, sih. Tapi, burung legendaris kayak dia cuma bisa dijumpai di hutan-hutan yang jauh, lho."

Aku termanyun. "Itu dia masalahnya. Mana mungkin Ibu kasih izin. Ke Hutan Lindung Kapuk Angke aja nggak boleh ...." Terlintas di benak kejadian Ibu melarangku ikut Om Ge pergi ke kawasan lindung di utara Jakarta itu.

"Ah, iya juga, ya. Sayang banget ...." Om Ge mengedikkan kepala.

"Om ...."

"Hm?"

"Nggak pengin ajak aku ke mana, gitu? Biar aku ada kerjaan." Kulirik Om Ge, berharap dia punya ide-ide seru seperti biasa. Tak masalah kalau itu sekadar keliling kota naik angkutan umum. Menangkap serangga di taman kota juga boleh. Atau mengunjungi selter hewan terlantar, memancing di balongan liar, menebak-nebak nama tumbuhan di sepanjang jalan, aku tak menolak. Pergi bersama Om Ge selalu menyenangkan. Aku bisa mencoba banyak hal yang tak pernah kulakukan jika pergi bersama Ayah dan Ibu.

"Hmm ... bukan nggak pengin, tapi ... tiga hari lagi aku mau pergi, Nyu."

Aku terenyak. "Mau ... ke mana, Om? Eyang sudah tahu?"

Entah pulang untuk jatah libur atau sekadar jeda sebelum penugasan selanjutnya, Om Ge punya kebiasaan pulang sesaat untuk pergi lagi. Kedua eyangku tak suka dengan hal ini, tapi Om Ge tampak tak pernah peduli.

"Belum. Mungkin baru kukabari besok. Ini bukan buat main-main, lho. Aku harus pergi karena dapat tawaran buat jadi juri di lomba pengamatan burung. Tapi, di bagian fotografinya."

"Wow ... lomba pengamatan di mana, Om?"

Om Ge terdiam cukup lama sebelum akhirnya bicara. "Di ... Baluran ...."

Hah? Pengamatan burung? Baluran?

Aku mengenal pengamatan burung lewat Om Ge. Meski terdengar kurang kerjaan, kegiatan itu ternyata seru dilakukan. Bahkan tahun lalu aku sempat berminat ikut lombanya. Lokasinya pun di Baluran. Namun karena Ayah dan Ibu tidak mengizinkan, rencanaku batal. Om Ge juga tidak jadi berangkat karena mendapat tugas dadakan.

"Ikuuut ...." Aku merajuk.

"Tadi sih aku sempat terpikir buat ajak kamu, ..." Om Ge meletakkan tangannya ke bahuku. "Siapa tahu kan kita bisa bertemu tangkar ongklet di sana. Tapi, ibumu-"

"Di Baluran ada tangkar ongklet?" Aku memotong.

Sesaat sebelum melanjutkan bicara, raut muka Om Ge berubah meragu. "Ss-sebenarnya ... keberadaan tangkar ongklet di Baluran itu belum pernah tercatat. Tapi, gara-gara tempo hari ada pemburu burung yang tertangkap menangkap burung ini di sana, berita ini jadi menyebar. Yang percaya banyak, yang sangsi apalagi."

"Tapi ternyata beneran ada, kan?" desakku. Aku sadar sudah terlalu antusias sampai susah menyembunyikannya.

Om Ge menggeleng. "Belum bisa dipastikan, Nyu. Pihak Taman Nasional sudah gerak cepat menyisir setiap kawasan. Tapi, hasilnya masih nihil. Nggak tahu lagi deh setelah lomba ini. Bisa jadi misteri keberadaan si tangkar ongklet jadi terpecahkan."

Aku manggut-manggut. "Emang lombanya kapan sih, Om?"

"Lima hari lagi ...," jawab Om Ge enteng. Namun sedetik kemudian, lirikannya mengamatiku curiga. "Apa? Kenapa?"

Aku menyengir lebar. Kutarik-tarik ujung bajunya sambil menaik turunkan kedua alisku.

Sebuah kode baru saja kukirimkan. Semoga Om Ge menangkap sinyal itu.

*

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Ekspedisi Peksi-BAB 1

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya