[NOVEL] Ekspedisi Peksi-BAB 3

Penulis: Hening Swastika

3. Orang Dalam Pencarian

 

Setelah melewati satu stasiun, aku sampai di tujuan kedua, Stasiun Tanjung Barat. Seperti kambing lepas, aku sempat kebingungan. Lupa harus naik angkot apa, tujuan ke mana. Salahku juga tidak mencatat. Pergi bermodal ingatan singkat hasil curi-curi mencari di ponsel Eyang memang tidak seharusnya kulakukan.

Beruntung ada petugas keamanan yang bersedia kutanyai. Sesuai sarannya, kulanjutkan perjalanan dengan angkot merah yang berjejer-jejer di seberang stasiun. Kupilih angkot paling depan, yang meski sudah seperempat terisi, sopirnya tetap berkoar-koar menarik penumpang.

Begitu angkot penuh, sopir tak segera menyalakan mesin, melainkan menyalakan radio. Menyetel lagu ajeb-ajeb dengan lantangnya, tak peduli dengan kuping para penumpang yang nyaris jebol. Santai saja dia berjoget-joget kecil sambil tangannya lincah menghitung segepok duit di dasbor.

Dudukku mulai tak tenang. Dan rupanya, kegelisahanku memancing seseorang untuk mengajakku bicara. "Permen, Dik?" Ibu paruh baya di sebelah, mengenakan kaus berlogo partai dan celana training, tahu-tahu menyodorkan tangannya tepat di mukaku.

Aku hanya tersenyum, menggeleng pelan. Walau dia terlihat ramah, bukan berarti aku boleh lengah.

"Mau ke mana?" Tak menyerah, ibu itu bicara lagi. Napasnya wangi jeruk.

"Ke ... rumah nenek," jawabku asal. Aku teringat pesan Om Ge saat dulu mengajakku naik angkot ke Cililitan. Katanya, bohong saja kalau diajak berbasa-basi oleh orang asing. Kita nggak tahu siapa yang berniat jahat sama kita di dalam angkutan umum, pesannya waktu itu.

"Sendirian?"

Aku ragu untuk menanggapi. Kugoyangkan saja leherku sekenanya, meski tak jelas itu gerakan mengangguk atau menggeleng.

Jawab seperlunya dan selalu perhatikan barang bawaan, Jangan sampai lengah! Pesan Om Ge kembali terngiang. Cepat-cepat kudekap tasku, sambil berusaha fokus, pede, dan tenang.

Lalu entah apa yang merasukinya, ibu berkaus partai tadi mendadak berkaca-kaca. Ia menggenggam tanganku, dan bicara dengan suara bergetar. "Adik ... mirip anak saya."

HEH? Aku melongo, dekapanku melonggar.

"Kelas berapa sekarang, Nak?" Dengan sigap dia membantu menahan tasku.

"S-MP," jawabku setengah menggumam. Aku yakin dia takkan curiga. Walau belum resmi jadi anak SMP, tinggiku yang di atas rata-rata sangatlah menolong.

"Sama, tapi anak Ibu ... sudah nggak ada ...." Ia sesenggukan.

Ya elah, kenapa harus nangis di sini, sih? Kupandangi wajah-wajah asing di sekelilingku yang mulai menatap heran. Dan tanpa sempat menghindar, tiba-tiba saja ibu itu memelukku.

"Waduh, Bu, Bu, maaf ...." Aku berkelit sekuat tenaga. Selain tak nyaman, bau badannya juga tak sedap. Begitu berhasil lepas, buru-buru kutarik ransel, lalu pindah duduk ke depan.

"Bang, masih lama nggak jalannya? Panas, nih!" cetusku asal saat mendarat di samping sopir. Kuletakkan ransel di antara kakiku agar aman. Kucuri pandang lewat spion, memperhatikan gerak-gerik si ibu yang kini tengah menyeka air matanya dengan punggung tangan.

"Hah! Kalau mau sejuk, pergi sana kau pakai taksi! Kayak baru ini naik angkot. Rewel kali macam orang kaya," gerutu sopir yang terdengar seperti kumur-kumur. Di sudut bibirnya ada sedotan air mineral yang sudah keriput ia gigiti.

Di-skak begitu membuatku jadi tak berkutik. Ingin pindah angkot, tapi malas sekali kalau harus menunggu lagi. Terpaksa aku diam. Dan saat sang sopir tergerak menstarter angkotnya, si ibu berkaus partai tahu-tahu muncul di jendela. Aku sampai tersentak, khawatir ia ikut pindah duduk.

"Gua kagak jadi naik," ujarnya kepada sopir angkot. Ia lalu beralih menatapku dan menepuk bahuku. "Makasih ya, Nak."

Aku mengerutkan kening. Tak tahu dia berterima kasih untuk apa. Lagi pula, siapa yang peduli? Pandanganku tetap menatap ke depan sampai angkot benar-benar berjalan.

Angin dari jendela perlahan menggelitik telinga. Menumpang sesaat di mataku dan membawaku terbang berkali-kali. Tak kurasakan lagi setiran sopir yang sejak semula membuatku terpental-pental. Perjalanan bagaikan mimpi, yang membuatku bisa merasakan hijaunya hutan, derik serangga, riuh burung, suara keras diselingi bunyi dahak-EH, GIMANA?

"Oy!" Gebrakan yang mengiringi suara itu membuatku tergeragap. "Bangun! Mau kubawa balik kau ke Tanjung Barat?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Dengan nyawa masih terkumpul sebagian, kulihat dari spion sekelilingku sudah kosong. Angkot juga tidak berjalan lagi. Bahkan di sekitarnya tampak angkot serupa parkir berbaris-baris.

Di mana ini?

"Sudah di terminal bus ini, Kau itu mau ke mana? Cih. Panas kau bilang tadi, tapi tidur sudah macam orang mati." Masih kata suara yang sama, yang ternyata suara si sopir. Sedotan plastik di mulutnya sudah hilang. Membuat gigi-gigi hitam dari balik seringainya tampil begitu jelas.

"M-mau ke sini, Bang," jawabku panik sambil membuka pintu.

Namun belum sampai kedua kakiku menjejak tanah, dia menyentak lagi. "Oy! Kau pikir naik angkotku gratis?"

"Oh, sori, sori, Bang." Aku sigap berbalik, merogoh saku celanaku. Tetapi, tak kutemukan apa-apa di sana. Kurogoh saku sebelahnya, juga sama saja. Dan ketika aku berpindah ke kantong ransel, kudapati ritsletingnya terbuka. Menampilkan dua lembar lecek sepuluh ribuan dan lima ribuan.

Ah, yang benar saja! Dari seratus lima puluh ribu ..., tinggal segini? Jantungku seketika merosot ke kaki. Sendi-sendiku terasa berlepasan, pikiranku langsung tak karuan.

"Bang, kok uang saya nggak ada, ya ...." Aku masih mengaduk-aduk tas, menolak percaya.

"Ah, mana kutahu," sahut sopir. "Nah, itu kalau bukan uang, apa namanya?" Gesit, ia mencatut salah satu sepuluh ribuan yang mencuat dari dalam tasku. "Ini cukup. Sudah sana!"

Aku mengangkat muka dari balik tas. Memandang bengong sisa uang yang berpindah ke tangan sang sopir. Ingin protes, tapi dia sudah keburu berkumpul bersama sopir-sopir lainnya di salah satu warung.

Matilah. Kalau Om Ge nggak kutemukan, aku pulang pakai apa?

*

Tak pernah kubayangkan pengalaman pertamaku mendatangi terminal bus antarkota dan antarprovinsi akan seapes ini. Gontai kususuri tepian terminal sambil memikirkan ke mana uangku pergi. Sesekali kucermati setiap warung yang kulewati. Berharap Om Ge bisa kutemukan di salah satunya.

Tanpa naungan pohon yang berarti, terminal ini sangat jauh dari teduh. Matahari siang bisa sebegitu garangnya menampar-nampar kulit. Debu-debu bebas beterbangan disembur asap knalpot bus. Dan bau solar merayap sesukanya di udara. Aku sampai menyerah saat mencapai warung keenam. Sehingga sekalian saja kuputuskan untuk beristirahat di warung bercat hijau itu.

Sedap aroma mi instan menyambut kedatanganku. Membuat perutku otomatis berkemerucuk, tapi aku tak berani membeli apapun selain es teh. Uangku tinggal segini-gininya. Jangan sampai habis duluan sebelum Om Ge bisa kutemukan.

Kurenungi kesialanku bersama pusaran es teh yang sedang kuaduk. Lantas kulirik jam di dinding warung, dan kusadari waktu keberangkatan Om Ge tinggal setengah jam lagi. Bergegas kutandaskan es tehku, meski itu membuat tengkukku ngilu. Dan bertanyalah aku kepada pemilik warung saat membayar, "Pak, bus jurusan Surabaya naiknya dari mana, ya?"

Bapak berkumis itu langsung menunjuk bangunan besar di tengah terminal. "Dari sono. Jalan kapan?"

"16.25, Pak," jawabku. Cuma segitu yang kutahu soal perjalanan Om Ge. Hasil mencuri dengar percakapannya dengan Eyang Ti semalam.

"Bentar lagi, tuh. Udah beli tiket belon lu? Buruan, gih!"

Secepat kilat aku berlari menuju bangunan besar itu. Kusesali kebodohanku yang tidak melakukannya sejak semula. Dan persis seperti situasi terminal yang pernah kupikirkan, di dalam bangunan besar ini sangatlah padat. Orang-orang lalu-lalang di depan loket penjualan tiket yang berderet-deret. Persaingan suara mereka dengan klakson cukup membuatku linglung.

Saking linglungnya, aku sampai terpikir untuk menyusul Om Ge langsung ke Baluran. Ya, kupikir kalau aku benar-benar gila-dan punya uang-pasti sudah kubeli tiket sekarang juga. Tapi masalahnya, aku masih waras, dan tidak punya uang. Jadi aku hanya bisa termangu bodoh di depan loket tiket milik bus-bus jurusan Jawa Timur itu.

Butuh waktu beberapa saat hingga akhirnya kuputuskan pergi. Mungkin pulang, meski tak tahu harus naik apa. Namun tepat saat aku berbalik, mataku tertumbuk pada sesosok yang tengah berjalan cepat. Ransel dan sandal gunungnya sangat kukenali, tapi ke mana celana kargo pendek dan kaos pudar yang biasa dia pakai setiap akan kembali ke lapangan? Ke mana pula rambut gondrong seperti surai singa yang kemarin kulihat? Kenapa dia terlihat ... rapi?

Kuberanikan diri memanggil namanya, berharap tak salah orang.

*

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Ekspedisi Peksi-BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya