[NOVEL] Ekspedisi Peksi-BAB 4

 Penulis: Hening Swastika

4. Berangkat!

 

"BANYU?" Sosok yang kupanggil menunjukku tepat di muka.

Ya Tuhan, ini bukan mimpi, kan? Ah, tentu saja bukan. Aku bisa merasakan kakiku yang berjalan ke arahnya. Aku bisa mencium bau sabun cuci yang melekat di kemejanya. Aku bisa merasakan tulang-tulangnya saat memeluknya. Dan aku bisa merasakan hangat air mata yang mengaliri pipiku.

"Astaga, Banyuuu .... Kamu bikin semua orang panik, tahu? Aku ini hampir nggak jadi berangkat karena orang rumah minta aku pulang. Buat nyari kamu! Lah, kok bisa-bisanya kamu ada di sini?" dumel Om Ge. Jantungnya yang berdetak cepat dan napasnya yang ngos-ngosan turut kurasakan jelas.

"Sori, Om. Aku cuma pengin ikut. Pengin lihat tangkar ongklet ...." Tangisku makin kencang. Ingusku bahkan memenuhi lengan kemejanya yang digulung setengah.

"Sudah, sudah. Aku harus telepon ibumu," kata Om Ge, berusaha melepaskan diri.

"Yah, yah, jangan!" Sergahku. "Jangan sekarang. Nanti aja kalau sudah di bus."

Om Ge mendelik. "Kamu pengin aku dicekik ibumu, ya? Lagian siapa yang mau ajak kamu pergi?" Ia merogoh ponsel di kantong celananya. "Duduk di situ. Aku harus telepon orang rumah sebelum ada yang melaporkanmu ke polisi." Ia menunjuk sederet bangku yang ada di depan sebuah loket.

Aku menurut. Dan saat aku duduk, kuperhatikan Om Ge di kejauhan tengah berbicara serius. Tangannya bergerak-gerak, sesekali mengusap wajahnya yang seperti benang kusut.

"Eh, Nyu, ibumu, nih." Sekitar lima menit kemudian, Om Ge kembali. Ponsel di tangannya terulur kepadaku. Layarnya menampilkan muka sembab ibuku dengan besar dan teramat jelas.

Kuraih ponsel itu dan menyapa ibu takut-takut. "H-hai, Bu ...."

"Ya Tuhan, Banyuuu!" suara Ibu langsung meninggi. "NGAWUR KAMU! Main kabur gitu aja, nggak mikirin perasaan orangtua! Sengaja biar terjadi apa-apa? Iya?" sentak Ibu terbata-bata. Berulang kali ia menarik napas panjang, seperti sedang menahan sesuatu.

"M-maaf, Bu ...."

"Niru siapa sih, kamu? Susah banget dengerin orangtua! Dibilang tunggu, nggak mau tunggu. Terusin sana! Nggak usah pulang sekalian! Pergi sesukamu sana kayak Ge!"

Belum sempat aku membalas, Om Ge langsung menyambar HP-nya. "Woy, kalau marah sama anak, aku nggak usah dibawa-bawa, dong. Nggak fair, nih. Dah, ah. Yang penting Banyu udah ketemu. Aku lanjut jalan, ya. Banyu enaknya diapain, nih?"

"Serah!" Ibu meraung tergugu.

"Oh, gitu. Kalau kubawa ngerepotin, sih. Kutinggal di sini aja lah, ya." Lalu tut, telepon diputus. Dan Om Ge melenggang begitu saja menjauhi keramaian. Menjauhiku.

"Om! Mau ke mana? Tunggu!" Kusambar tasku, mengejarnya.

Menjajari Om Ge tak pernah jadi hal mudah. Jalannya cepat, langkahnya lebar-lebar. Entah setelah berapa meter aku membuntutuinya, barulah ia berhenti. Lalu membalikkan badan menghadapku, persis di depan bus berwarna putih. "Ngapain?"

Terengah-engah, aku menunjuk bus. Dan kudengar Om Ge mendengus berat.

"Kan sudah kubilang nggak bisa ajak kamu. Kamu sendiri punya tiket nggak buat ikut?"

Aku menggeleng. "Uangku hilang ...."

Om Ge seketika tertawa sengak. "Terus? Aku harus bawa kamu pergi, gitu? Hah! Buat ongkosin kamu pulang aja aku nggak punya uang. Gimana, dong? Udahlah kamu di sini aja. Ibumu toh udah nggak peduli kamu ada di mana. Coba sana ngamen dulu. Siapa tahu dapat recehan buat pulang." Sebelum kembali berjalan pergi, Om Ge menepuk bahuku sekilas.

Aku menunduk pasrah. Sejurus kemudian ikut berjalan pergi, tetapi ke arah berlawanan. Apa iya aku harus ngamen dulu biar bisa pulang? Tapi ... suaraku nggak enak. Nggak bisa main musik pula. Modal tepuk tangan aja, nih? Atau perlu ngumpulin tutup botol dulu buat bikin kecrekan? Kalau tetap nggak dapat uang, gimana? Masa iya aku jadi gelandangan?

Sebelum air mataku merembes lagi, kurasakan seseorang menyolek punggungku. Aku yang langsung teringat dengan ibu berkaus partai, memilih enggan menoleh dan mempercepat laju langkahku. Tetapi bukannya berhenti, colekan itu terasa makin bertubi-tubi. Kenapa seseorang ini mengikutiku? Begitu aku mulai berlari, terdengar seruan memanggil namaku.

"BANYU! HOI!"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku yakin ini hanya halusinasi. Kupercepat lariku, tetapi teriakan itu terus-menerus tertangkap telingaku.

"ITU KUPING APA CANTOLAN PANCI? BANYU! BERHENTI, WOY!"

Mendengar seruan tak umum itu, lariku otomatis melambat. Dan ketika aku menengok ke belakang, sekonyong-konyong sebuah tiket tersodor di depan mukaku.

"Hei, ... kalau kabur, ... kuping jangan ... ditinggal di rumah, dong ...," gerutu suara ngos-ngosan di balik tiket.

Aku bergeming. Mataku mengerjap-ngerjap, berusaha memahami pemandangan yang membingungkan ini. Om Ge? Tiket?

"Ayo ...." Dengan dagunya, Om Ge menunjuk ke arah bus putih yang tadi kulihat. Dan sebelum diriku menandak-nandak tak terkendali, kusambar tiket di tangannya. Akhirnya aku ke Baluran! Nggak perlu ngamen! Nggak jadi gelandangan! Yes!

Hingga aku terduduk di dalam bus, senyumku terus mengembang. Kugumamkan lagu-lagu ceria sampai kulihat raut masam Om Ge. Senangku berubah spaneng. Dan baru kusadari dia sudah diam saja sejak kami duduk. Belum pernah kulihat Om Ge begini. Apa ini pertanda kalau ... dia marah padaku?

Aku menelan ludah. Dihantui rasa bersalah yang kembali membuatku gelisah, kuantukkan kepala ke kaca jendela. Kutatap nanar jalanan di luar sana yang kini menjadi kelebatan bayangan. Perlahan kupejamkan mataku, berharap nanti terbangun, perjalanan ini bisa kembali semenyenangkan yang kubayangkan. Semoga.

*

Menggelapnya langit sore mengantarkan bus memasuki sebuah rest area. Aku yang sejak tadi tidur-tidur ayam langsung terbangun. Apalagi saat mendengar Om Ge berkata, "Nih, kupon makannya. Kalau mau ke toilet sekalian sekarang."

Seraya menerima kupon itu, aku berdiri. Lapar yang kupendam sejak di Kampung Rambutan ikut menggeliat bangkit. Menyingkirkan punggung yang terasa tebal dan tengkuk yang sakit. Oh, ternyata kursi empuk yang bisa diselonjorkan ini tidak membantu banyak. Begitu pun bantalnya yang keras dan berukuran mini itu.

Sempoyongan berjalan turun, perlahan kusadari kalau tempat singgah ini didominasi oleh bus-bus dari perusahaan yang sama. Ada semacam pendopo besar di tengahnya, tempat para penumpang makan atau pergi ke toilet. Lumayan bersih dan terang. Tidak ada pedagang asongan yang berteriak-teriak, apalagi yang memaksa masuk ke dalam bus seperti dalam cerita-cerita Om Ge.

Di dalam bangunan serupa pendopo itu, kupilih menu ayam goreng dan segelas teh panas. Lalu kuikuti Om Ge duduk di salah satu meja. Dan supaya kondisi diam-diaman ini tidak semakin menjemukan, aku memberanikan diri untuk buka suara. "Sampai Surabaya berapa lama lagi, Om?"

Ada sepotong diam sebelum Om Ge menjawab, "Sepuluh jam lagi lah. Kenapa?"

Aku menggeleng. Kurasa Om Ge tidak benar-benar marah. Atau ... nada suaranya yang tidak enak didengar ini justru pertanda kalau dia sungguhan marah?

Seakan menjawab tanda tanya di kepalaku, Om Ge kembali bicara dengan nadanya yang dingin. "Sampai sekarang aku masih nggak habis pikir kamu bisa ada di sini."

Sendokanku seketika melambat.

"Kamu sadar nggak sih, bahayanya kabur begini?" Dasar adik ibuku, Om Ge mulai mengeluarkan gestur seperti Ibu kalau sedang marah: mengempaskan punggung ke sandaran kursi, melipat kedua tangan di depan dada.

"Ya, Om. Aku tahu. Tadi aku juga udah kecopetan," jawabku lirih. Dudukku mengkeret, kepalaku menunduk dalam-dalam.

"Kan ...." Om Ge menggetok meja. "Masa harus nunggu kejadian begitu baru sadar? Masih mending kecopetan. Kalau diculik? Kamu diapa-apain? Yang kacau nggak cuma orangtuamu, Nyu. Eyang, aku, dan semua orang yang kenal kamu bakal ikut merasakan ...."

Aku tercenung.

"Terus coba lihat persiapanmu. Masa ke hutan kayak begitu? Sandal jepit, ransel sekolah, flashy t-shirt, aduh ...." Om Ge mengurut pelipisnya. "Nggak tahu lagi deh sama yang ada di dalam tasmu." Telunjuknya teracung-acung ke arah tasku. "Coba, sekarang ceritain gimana kamu bisa kepikiran buat ada di sini."

Sebelum bercerita, lesu kukunyah sisa nasi di mulut. Kucoba menelannya walau yang terasa hanya pahit ....

*

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Ekspedisi Peksi-BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya