[NOVEL] Ekspedisi Peksi-BAB 5

Penulis: Hening Swastika

5. Sebuah Alasan

 

Andai kemarin aku bisa berpikir jernih, mungkin aku tidak perlu kabur begini ....

Tak kuduga Om Ge menangkap kodeku dari percakapan tempo hari. Sehingga saat Ibu menengokku di rumah Eyang, ia sampaikan rencananya pergi ke Baluran bersamaku. Waktu itu, seisi rumah sedang sarapan di ruang tengah.

"Lusa, aku pergi, ya. Sama Banyu," kata Om Ge di sela-sela sarapan.

Mendengar namaku disebut, perutku mendadak mulas. Roti di mulut jadi susah tertelan.

"Pergi ke mana?" Ibu yang bersebelahan dengan Om Ge, sontak melirik penuh selidik.

"Ngamatin burung."

"Oh .... Kalau di Ragunan, boleh. Kalau ke Angke, nggak ya, Ge," tembak Ibu. Ternyata Ibu belum lupa soal kejadian dulu itu.

Om Ge tertawa. "Siapa yang mau ke Angke? Aku mau ke Baluran, kok."

"HAH?" Ibu langsung batuk-batuk keselak roti. Lirikannya masih tertuju ke arah Om Ge seolah berharap tak salah mendengar.

"Ba-lu-ran." Om Ge mengeja. "Taman Nasional di Situbondo itu, lho ...," ujarnya santai.

"Swe-rwi-us-uhuk-kam-wu?-uhuk!" Ibu yang masih batuk-batuk segera menyambar segelas air dan meneguknya cepat sampai habis.

"Serius, lah. Sekalian ikut lomba pengamatan burung. Acaranya sih tiga hari. Kalau ditambah perjalanan pulang pergi, ya ... seminggu lah. Aku naik bus soalnya." Om Ge menyengir.

"Gila kamu!" Ibu menyembur. Nyaris saja sisa air di mulutnya ikut keluar. "Nggak sekalian aja Banyu kamu ajak naik gunung?"

"Oh, boleh, nih?" Om Ge menoleh ke arahku penuh semangat. "Gimana, Nyu? Lanjut ke gunung apa enaknya?" Kemudian ia melemparkan kerling jail untuk Ibu, yang dibalas Ibu dengan gerundel tak jelas.

Dari Ibu kutahu kalau Om Ge sudah senang berkegiatan di alam bebas sejak ia kuliah. Bersama teman-temannya, Om Ge naik gunung, berarung jeram, menyelam, hingga yang sering dianggap aneh oleh banyak orang, mengamati burung. Ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Berbekal ransel besar, ia tidur di tenda, jarang mandi, dan memasak dengan kompor lipat.

"Kamu itu pulang buat liburan atau gimana, sih, Ge? Masa baru datang kemarin, lusa sudah pergi lagi?" Eyang Ti mulai bersambat.

Om Ge tergelak. "Ya libur lah, Bu. Makanya aku mau ke Baluran. Mau berekspedisi! Ya kan, Nyu?" Om Ge menyenggol rusukku.

Detik itu, aku ingin menyela. Ingin menjelaskan sebenar-benarnya soal rencana Om Ge pergi ke Baluran. Tapi, Om Ge keburu menginjak kakiku. Semacam isyarat agar aku diam dan mengikuti permainannya. Aku terpaksa menurut. Sambil tak habis pikir kenapa dia harus tak jujur soal ini.

"Kamu itu perlu diruwat kayaknya biar anteng di rumah," decak Eyang Ti gemas.

Om Ge tertawa. Dan tak lama Eyang Kung menyahut, "Lihat burung aja kok jauh-jauh? Kurang lama ekspedisi di Sumatra? Nggak ada burung apa di sana? Coba pikirkan dulu apa kamu bisa tanggung jawab bawa Banyu pergi?"

"Nah!" Ibu menyambar. "Itu dia, Pak! Barang sendiri aja suka hilang. Gimana anak orang?"

Tawa Om Ge berangsur pudar. Wajahnya berubah serius. "Mbak, Banyu tuh besar. Manusia lagi. Pasti kelihatan lah. Sebelum hilang pasti bisa teriak. Nggak mungkin keselip kayak baterai kamera, HP, dompet ... lagian kan aku omnya. Mana mungkin dia kutinggal gitu aja di tengah jalan?"

Hanya terkekeh penuh arti, Eyang Kung beralih melirikku, "Apa nggak enakan ikut Eyang jalan-jalan ke mal, Nyu? Adem, bisa nonton, banyak makanan, banyak mainan-"

"Nggak mau," tukasku. "Eyang rencana doang. Dari kemarin aku di sini, nggak pernah diajak ke mana-mana. Eyang selalu lebih berat sama Hara."

Mendengar protesku, Eyang Kung, juga yang lain, langsung terdiam.

"Ya sudah. Nanti ke mal sama Ayah, ya, kalau Ayah sudah pulang dinas," kata Ibu mencoba meredam kecanggungan.

"Ah, Ayah juga cuma janji-janji. Mendingan ikut Om Ge." Aku berkeras.

"Ibu nggak izinkan, kok."

"Kenapa?"

"Itu perjalanan jauh. Kalau ada apa-apa di jalan gimana? Kalau kamu mabuk? Kecapekan? Sakit? Siapa yang tanggung jawab?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Om Ge menyahut, "Kan ada aku-"

"Nggak, Ge," potong Ibu. "Kamu pergi aja sendiri. Banyu di sini." Tanpa menjelaskan lebih panjang, Ibu bangkit dari duduknya. Menghampiri Hara yang tahu-tahu menangis, meninggalkan aku yang cuma bisa merutuk sebal.

Aku benar-benar tak paham kenapa Ibu senang melarangku tanpa alasan jelas. Aku bukan anak kecil lagi. Aku pun akan pergi bersama pamanku. Kapan Ibu bisa mengerti aku? Aku toh hanya ingin mengamati burung di tempat-tempat yang lebih menantang. Bukan sekadar di Kebun Binatang Ragunan, Monas, atau taman-taman kota lainnya.

Aku ingin melihat burung yang lebih unik. Aku ingin menjadi seperti Ash Ketchum-bocah laki-laki petualang di dunia Pokemon-yang mencari burung-burung legendaris. Iya, seperti Articuno-si 'burung' es, Moltres-si 'burung' api, atau Zapdos-si 'burung' listrik itu!

"Sudah Banyu! Berhenti merengek! Kita bisa pergi di liburan selanjutnya, kan? Hara ini belum bisa diajak bepergian jauh," kata Ibu ketika aku mencoba merayunya lagi.

Ah, Hara lagi, Hara lagi. Aku mendengus. "Ayo lah, Bu. Tahun lalu kan aku juga pengin ikut lomba di sana. Kapan lagi coba?"

"Kapan-kapan. Pasti nanti ada kesempatannya. Pokoknya kalau nggak sama Ibu dan Ayah, nggak boleh."

"Kenapa, sih? Ini kan sama Om Ge."

Ibu yang hendak mengganti popok Hara, berhenti sejenak dan menatapku tegas. "Banyu, kamu lupa pernah hampir hilang di stasiun KRL waktu pergi sama Ge? Kamu nggak ingat pernah kesasar di Ragunan gara-gara ommu itu keasyikan motret binatang?"

"Tapi kan itu karena aku juga meleng, Bu ...."

Ibu melotot. "Ya salah dia juga, dong. Jelas-jelas lebih tua, nggak perhatian. Kamu ini nanti bukan di Jakarta, Nyu. Di daerah lain. Di hutan. Dan Ge pergi naik bus. Kamu nggak akan sanggup."

"Aku belum pernah naik bus. Kalau belum dicoba mana tahu ...."

Ibu menarik napas panjang. "Teruskan aja, teruskan. Ibu harus bilang apa lagi supaya kamu ngerti?"

Dibilang begitu, aku terpantik. Kedua tanganku mengepal kencang. "Kenapa sih, bukan Ibu atau Ayah atau Eyang yang ngerti aku? Aku nggak marah lho waktu kalian batalin janji. Aku juga nggak protes waktu kalian semua lebih memperhatikan Hara. Tapi kenapa tetap harus aku yang ngerti? Aku cuma pengin ikut Om Ge pergi. Aku bosan! Aku pengin liburan! Aku pengin lihat burung di hutan!"

Ibu meletakkan popok yang baru diambilnya ke sisi kasur. Sebelah tangannya hendak membelai kepalaku, tapi aku menghindar sebelum ia sempat menyentuhku.

"Ibu nggak peduli sama aku! Semua orang nggak ada yang peduli sama aku! Nggak adil!" Cepat, aku berlari ke kamarku. Ibu menyusulku, tapi cepat kubanting pintu. Kencang hantamannya membuat Hara menangis tak kalah kencang.

"BANYU!" hardik Ibu. Digedornya pintuku berkali-kali, tidak kubukakan. Aku sibuk menahan genangan di sudut mata yang tiba-tiba meleleh tanpa bisa kubendung.

Setelah situasi terasa tenang, aku naik ke atas kasur. Menyambar Nintendo Switch di atas nakas demi menghalau perasaan galauku. Sulit kubendung perasaan benciku ke semua orang, terutama Hara. Kenapa sejak dia ada, setiap hal jadi selalu tentang dia? Siapa yang meminta buat punya adik? Aku toh nggak kesepian selama 12 tahun ini sendirian. Malah senang nggak perlu berbagi apa-apa dengan siapa-siapa.

Aku muak dengan perhatian yang terlalu banyak buat Hara. Eyang jadi selalu menanyakan dia, Ayah jadi rajin membelikan mainan baru-yang bahkan belum dia mengerti, Ibu jadi berhenti bekerja cuma buat mengurus dia, terus sekarang ... giliranku yang harus mengalah nggak liburan gara-gara dia? Kebangetaaan! Kupencet asal-asalan semua tombol di badan Nintendo Switch-ku. Bersamaan dengan itu, terdengar pintu kamar dibuka paksa.

"Hola!" Tanpa dipersilakan, Om Ge masuk dan berdiri di samping nakas. Sudut mataku menangkap bayangannya tengah meraih buku gambarku yang tergeletak di sana. "Wah, coretanmu makin bergembang, ya. Bagus nih, sketsa kutilang-mu. Kayak bukan gambar anak SD," komentarnya berbasa-basi.

"Anak SMP," sanggahku ketus.

Om Ge cuma tertawa kecil. "Iya deh, calon anak SMP .... Eh, tapi kalau udah SMP tuh nggak ngambekan begini," godanya mencolek lenganku. Sumpah, rasanya ingin kusorong keluar saja orang ini.

"Om kalau cuma iseng mending keluar, deh."

Bukannya mendengar, Om Ge malah rebahan di sampingku. "Aduh, kasur tuh ternyata nyaman banget, ya. Mana AC-nya dingin, bantalnya empuk, gulingnya-"

"Om!"

"Buset! Iya, iya, galak bener." Dengan cepat, Om Ge bangkit berdiri. Namun sebelum memutuskan pergi, tepat di ambang pintu ia berkata, "Sori ya, Nyu, belum bisa ajak kamu ke Baluran. Nanti kita rencanakan lagi lain kali. Suwer, deh. Kita bikin ekspedisi-ekspedisian yang lebih seru. Oke?"

Ucapan Om Ge itu entah kenapa terasa mengusik. Dan seiring masuknya cahaya dari ruang tengah melalui pintu kamar yang terbuka, terbitlah terang dalam kepalaku.

Ekspedisi yang satu ini nggak boleh dibikin nanti-nanti ....

Itulah kenapa aku pergi dan bisa ada di sini ....

*

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Ekspedisi Peksi-BAB 4

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya