[NOVEL] Kupu-Kupu dalam Perut-BAB 2

Penulis: Resawidi

Doa Anak Remaja

 

Semakin malam, banyak truk dan mobil besar lainnya yang melaju kencang di sepanjang jalan Galaxy ke Pekayon. Aku tidak ikut bersama rombongan keluarga karena ingin lebih lama nongkrong di Kafe Bercerita. Pukul sebelas, Pilar mengantarku pulang. Terpaksa, aku harus mengikhlaskan mixed berries juice gelas ketigaku bersisa.

Musik-musik Copeland menemani kami. Pilar berkomat-kamit mengucapkan lirik lagu "Kite" sambil menyetir, sementara aku sibuk dengan akun Instagram di ponsel, mengecek siapa saja yang sudah menonton Instagram Story-ku empat jam lalu. Aku mendengkus mendapati akun yang menawarkan jasa menggambar ilustrasi dengan enam ribu pengikut itu ada di daftar, tapi tidak membuka DM yang aku kirim.

"Pakai jasa gambar dari akun yang lain aja, kan ada banyak." Pilar pasti tahu apa yang membuat aku gusar barusan.

Tiga jam lalu, aku dan Pilar sepakat memilih salah satu foto kami--yang memuat pose sebelah tanganku menjulur ke depan, memamerkan cincin tunangan--untuk dibuat ilustrasinya oleh akun @gambardikit karena goresan gambarnya yang selalu membuatku memencet tombol hati untuk semua foto unggahannya dan rela menonton berulang kali Instagram Story-nya setiap akun itu membagikan video singkat proses menggambar. Baru saja kemarin akun itu membalas komentarku di postingan terakhirnya, setelah sebelumnya seribu pujianku pada gambar-gambarnya tidak pernah mendapat balasan.

"Nggak mau. Masih malam mingguan kali, ya, orangnya?" Kalau saja aku kenal dengan si tukang gambar, aku pasti tidak akan hanya berdiam menunggu notifikasi begini. "Pil, ganti radio ya?" Kalau Pilar bisa bosan mendengar Sheila on 7, begitu juga diriku dengan Copeland, yang selama dua tahun ini menemani kami setiap melakukan perjalanan dengan mobil Pilar.

Pilar tidak menjawab, tapi tangannya bergerak memencet tombol radio. 

"Ih, harusnya aku aja."

"Norak." Sudut-sudut bibir Pilar kelihatan terangkat, meski nadanya sinis. Ia tahu pasti tujuanku semata-mata ingin bergaya memamerkan cincin. "Masa aku juga pengen pakai cincin motif bunga begitu?"

Aku mengikik. Kikikan itu semakin jelas ketika aku menyadari intro musik yang sedang terputar di radio adalah lagu "Yang Terlewatkan" milik Sheila on 7. 

"Eits, singkirkan tangan Anda!" seruku cepat sebelum telunjuk Pilar berhasil sampai di tombol 'next'. Pilar tidak boleh protes karena lagu itu mengudara tanpa unsur kesengajaan. Apalagi namanya kalau bukan takdir?

Dengan penuh kemenangan, aku sengaja menyanyikan lagu tersebut keras-keras supaya Pilar kesal. 

Sampai ponselku berbunyi tanda ada notifikasi dan aku menghentikan nyanyianku. 

"Yah, ketipu, bukan DM IG." Gantian Pilar mengikik.

Itu adalah notifikasi dari akun Facebook. Ada tiga komentar masuk untuk status baru yang aku bagi di sana. Ketiganya dari teman-temanku di kampus dulu. Gara-gara itu aku membuka kembali akun Facebook, membalas tiga buah komentar dengan ucapan terima kasih, lalu iseng membuka profilku sendiri.

Kurasakan bibirku melengkung mendapati status-statusku yang jatuh cinta, patah hati, cemburu, sampai jatuh cinta lagi pada satu sosok yang sama.

"Nah, pas nih," ujarku membuat Pilar menoleh, ikutan membaca salah satu statusku pada tahun terakhir sekolah, doa buruk yang diam-diam kusampaikan untuk cinta monyet-ku yang tidak kesampaian 

Listening now: Yang Terlewatkan - SO7. Liat aja, nanti L ngerasain kayak lagu ini wkwkwkwk. When we meet again, you're in bad feeling~ *devil abissss

"Gila ya, dulu aku keblinger cinta banget!" Lagi-lagi, aku bicara sendirian sehingga Pilar menggeleng. Mungkin heran dengan tingkah anehku atau mungkin juga heran dengan masa berprosesku kala itu.

Semua orang yang dekat denganku pasti akan mengenal sosok laki-laki menyenangkan itu. Namanya Regan. Teman satu angkatan, tapi beda jurusan. Aku anak IPA, sedangkan Regan anak IPS. Meski aktif di kelompok ekskul yang berbeda, kami pernah sama-sama terlibat dalam satu aktivitas sekolah. Aku ingat betul, sekolah mendaftarkan kami dalam lomba komik antarsekolah se-Jakarta. Aku jadi penulis cerita dan Regan jadi ilustratornya. Lalu, entah bagaimana, laki-laki yang jago menggambar itu membuatku jatuh hati begitu saja. Setelah itu, kami sangat dekat, meski pada akhirnya tidak juga jadian karena aku menjauh dan Regan tidak peduli pada siapa pun yang menggantikan posisinya di sisiku.

Kisah cinta yang berujung pahit. Setidaknya, itu yang selalu kukeluhkan dulu sebelum aku diajak Pita, teman sekampus sekaligus teman sekantorku sekarang, untuk ikutan charity bersama geng lintas jurusannya sehingga aku bisa mengenal Pilar. 

"Hati-hati kalau berdoa."

Aku batal memuji Pilar dalam hati. Ucapannya barusan membuatku kembali teringat masa sekolah. "Ini sih cuma status aja, namanya juga ABG patah hati." Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum ketika membayangkan buruknya wajahku dengan mata sembap setelah semalaman menangis karena melihat Regan jalan sama perempuan lain.

Ah, masa lalu kelam sekalipun pada akhirnya bisa ditertawakan kalau sudah benar-benar diikhlaskan. 

"Kalau Kania gimana?" tanyaku membuka topik. Kalau aku punya Regan sebagai cinta monyet paling berkesan, Pilar punya Kania. Gadis manis pindahan dari Yogyakarta itu adik kelas Pilar di SMA. Sikap lemah lembutnya mampu membuat Pilar jatuh cinta untuk kali pertama. Dari cerita Pilar, mereka hanya sempat berpacaran selama dua tahun sampai Pilar lulus sekolah dan Kania memutuskan untuk fokus menghadapi Ujian Nasional. Alasan yang sangat standar menurutku, tapi justru Pilar bilang prinsipiel dan keren.

"Nggak pernah komunikasi sejak dia keterima kuliah di Bandung."

"Kok kamu mau sih sama aku? Kan, kami beda banget." Maksudku, aku dan Kania. Katanya, Kania itu pendiam. Kalau tidak diajak bicara duluan, lebih memilih diam. Kesukaannya memasak dan hampir setiap pagi membawakan Pilar bekal hasil buatannya sendiri. Pilar juga bilang kalau Kania itu cerminan dirinya yang juga kaku dan pemalu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Beda itu konotasinya nggak melulu jelek."

Regan juga berbeda dengan Pilar. Teman seangkatannku itu sangat ceriwis dan senang sekali bergaul. Tidak seperti Pilar, bersamanya hal remeh temeh tidak pernah jadi sesuatu yang sia-sia. Kami sering melakukan hal-hal tidak penting, tapi serunya minta ampun. Regan juga punya banyak kesamaan minat denganku. Dari jenis musik, makanan, sampai cara menghabiskan waktu luang.

"Hidup saling melengkapi itu baik," lanjut Pilar.

Aku mengangguk setuju. Teori barusan terbukti pada hubunganku dengan Pilar. Walaupun kadang rasanya perbedaan karakter kami sejauh bumi dan langit, kami ada untuk saling bergantung. Pilar menggenapi ruang kosong dalam hatiku, membawaku ke dunia yang mungkin sederhana, tapi aku selalu merasa lebih baik untuk itu. Pilar dengan segala kekurangannya bisa meredam hal-hal berlebih pada diriku.

"Kamu pernah nggak cemburu sama Kania?" tanya Pilar.

"Ngapain? Kalau kamu nggak sama Kania, mungkin sekarang kamu bukan sama aku." Coba kalau Pilar pacaran dengan perempuan lain, yang tidak seprinsipiel Kania, mungkin mereka masih bersama sampai sekarang dan aku, entah bagaimana.

"Apaan sih ... manis banget." Pilar mengelus pucuk kepalaku. "Tapi, dulu aku cemburu loh kamu sama Regan."

"Kami nggak pernah jadian."

"Iya, tapi Regan orang pertama yang kamu suka-"

"Ralat, orang kedua. Yang pertama itu Kak Tama, guru lesku waktu SMP." Aku tertawa.

"Tapi Regan satu-satunya yang bisa bikin kamu nangis bombay, kan?" Aku mendengkus. Ketimbang memastikan, nada Pilar lebih terdengar meledek. "Regan orang yang bisa langsung klik sama kamu walaupun kamu dekat sama banyak cowok. Cuma Regan satu-satunya yang bisa bikin kamu keblinger cinta. Regan juga selalu ngewujudin keinginan-keinginan kamu," lanjutnya dengan sedikit perubahan mimik yang kalau aku tidak salah ingat, sekilas sama dengan ekspresinya sewaktu di kafe tadi.

"Kamu beneran cemburu, Pil?" Kukira tadi Pilar hanya menggodaku karena aku menjawab pertanyaannya dengan sedikit gombalan.

Percayalah, meskipun Regan adalah bagian paling penting semasa mengenakan seragam putih abu-abu dan butuh hampir tiga tahun untuk aku akhirnya bisa move on, ia tidak pernah lagi aku jadikan tujuan. Lagi pula, dulu setiap kali aku cerita tentang Regan, Pilar tidak pernah kelihatan keberatan menggubris.

Kupikir, akan lebih masuk akal kalau Pilar cemburu pada Gara, junior kampus yang gila-gilaan mendekatiku sampai kemudian berani menembakku di panggung porseni-setelah band-nya selesai membawakan tiga buah lagu dan berhasil membuat acara yang tadinya sepi jadi disesaki pengunjung. Tahu apa yang Pilar katakan ketika aku mengeluhkan sikap Gara? Ia justru memintaku supaya tetap bersikap baik dan tidak menjauhi Gara seolah ia pelaku kejahatan. 

"Lumayan," jawab Pilar, kembali dengan ekspresi robot andalannya.

Lagu Sheila on 7 bersisa satu kali reff lagi. Aku tidak mau kehilangan kesempatan menikmatinya.

"Buatku, yang penting sekarang itu kita. Aku sama kamu sampai kapan pun," kataku selembut mungkin. Bibirku tersenyum. Sebelah tanganku mengelus pipi Pilar, ingin menyampaikan kalau Regan tidak ubahnya kenangan yang akan selamanya ada di belakang.

"Gombal." Pilar mengacak rambutku untuk kali kesekian hari ini. Lamaran sepertinya memberi efek tersendiri untuk Pilar sehingga mau bersikap manis seperti yang dulu selalu ia sebut dengan 'gaya pasangan remaja yang baru pacaran'.

Pilar menyudahi topik pembicaraan dengan mengajakku menyanyikan lagu Sheila on 7 yang tentu saja aku sambut dengan senang hati. Saking semangatnya, kami menyempatkan diri untuk bertukar pandang dan melempar senyuman untuk waktu yang cukup lama. Aku kangen menikmati lagu band kesukaanku bersama Pilar.

"Pilar!" Nyanyian kami terhenti dan momen adu pandang menjadi hal yang kami sesali begitu sadar kami telah menyalahi aturan berlalu lintas.

Kami kompak maju terpental dengan dahi Pilar membentur tangan di setir. Kepalan tanganku bergetar setelahnya. Selama beberapa detik, kami hanya terdiam, kembali saling pandang, tapi tidak dengan perasaan hangat seperti sebelumnya.

Pilar keluar dari mobil. Memastikan firasatnya salah, tapi ia malah kembali masuk dengan mengatakan, "Aku nabrak orang."

Lalu lintas masih dipenuhi kendaraan-kendaraan berlaju kencang. Jarak antara mal yang baru kami lewati dengan rumah sakit yang kami tuju juga tidak berubah. Namun, aku merasa semua hal berjalan amat lambat. Tubuh bersimbah darah di jok belakang sudah tidak menunjukkan respons. Meski aku merasa sangat takut, pada akhirnya aku memberanikan diri untuk berhenti mencuri pandang lewat kaca spion.

Napasku tertahan dan jantungku serasa baru saja ditabuh drummer band metal. Bagaimana mungkin, doa yang pernah dipanjatkan jari remaja patah hati bisa menjadi kenyataan? Hari ini akhirnya kami bertemu lagi, dengan Regan dalam situasi yang buruk.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Kupu-Kupu dalam Perut-BAB 1

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya