[NOVEL] Kupu-Kupu dalam Perut-BAB 4

Penulis: Resawidi

Tanda Bahaya

 

"Ha-i!"

Itu yang pertama keluar dari mulut Regan setelah dua hari bangun dari tidur panjangnya. Aku, di sebelahnya, membalas dengan anggukan kecil yang kaku sambil tersenyum. Lumayan canggung rasanya kembali bersapa setelah lama tidak bertemu dan mendengar kisah-kisah yang alpa tempo hari. Tante Arin pergi mengikuti dokter setelah Regan diperiksa. Ada Arsan di sofa, sedang berselonjor sendirian karena Pilar masih dalam perjalanan ke rumah sakit.

Tidak ada percakapan setelah aku membalas 'hai' dengan tidak kalah terbata. Suara Arsan yang menyanyikan lagu Wiz Khalifah menjadi satu-satunya bunyi di kamar inap Regan. Kepalanya mengangguk-angguk dengan tangan mengacung.

"Come on my, man, lo harus cepat sembuh biar kita bisa nyanyi lagi, yeah!" Hal paling menghibur dari adik satu-satunya Regan ini adalah dia selalu mengakhiri kalimat-kalimatnya dengan kata 'yeah' berlogat khas sehingga terdengar lucu bagiku. Entah untuk apa, tapi mungkin agar semakin mirip rapper, selain dari cara berpakaiannya yang serba longgar. Padahal Wiz Khalifa sendiri juga tidak begitu-begitu amat.

Regan pernah cerita tentang Arsan dan aku sering kali dibuat tertawa padahal tidak pernah berinteraksi langsung. Katanya, Arsan itu lucu, tapi kadang bisa menyebalkan sampai Regan mau melemparnya ke jurang. Suka sok keren dan sering terlalu percaya diri. Sekarang, setelah aku berhadapan dengannya, aku yakin mengapa Regan tumbuh menyenangkan. Interaksinya bersama Arsan pasti memengaruhi juga gayanya berinteraksi dengan orang lain selama ini.

Lagu "See You Again" milik Wiz Khalifa bersama Charlie Puth mengudara seru karena Arsan menyanyikannya keras-keras. Bahunya naik, turun, ke kanan, ke kiri. Ia bahkan sengaja bangun dari sofa ketika hendak mencapai bagian reff. Lalu, tiba-tiba saja, ia menunjukku. 

"Kirana!" serunya mengejutkan. Butuh beberapa detik untuk aku akhirnya paham, maksud Arsan adalah memintaku melanjutkan lagu dan bernyanyi bersama kemudian.

Kebetulan, aku tahu lagu itu. Jadi, aku mulai bernyanyi meski malu-malu.

Masih dengan semangat yang penuh Arsan mengulurkan tangan. Jari telunjuknya bergerak-gerak menunjuk Regan tiap kali mengucap kata 'you'. Ekspresinya jenaka. Alisnya naik-turun. Semata-mata, Arsan hanya ingin mengajak Regan bersenang-senang.

Aku pun ikutan tersenyum ketika Regan mulai menyunggingkan bibirnya. Sangat pelan, bibir itu akhirnya berubah jadi senyum disertai deretan gigi. Tingkah Arsan tidak jauh berbeda dengan tingkahnya dulu.

"Payah yeah. Jangan senyum aja dong yeah!" ucap Arsan di sela nyanyiannya.

Kulihat, perut Regan sedikit bergerak. Kalau bukan karena masih lemas setelah tidak menggerakkan otot-ototnya selama dua minggu, aku yakin Regan pasti sudah terbahak. Selain menggambar, musik menjadi hal lain yang menyenangkan bagi Regan.

Kali pertama aku tahu, ketika kami sedang dalam perjalanan ke kota tua berdua. Sepanjang jalan, mulut Regan tidak berhenti menyanyi mengikuti lagu-lagu yang dipasang dalam bus. Kepalanya mengangguk-angguk, tapi begitu tertangkap basah olehku, dia segera cengar-cengir dan menghentikan gerakannya.

Sampai aku bilang, "Nggak usah sok malu-malu deh, kalau udah malu-maluin ya sekalian aja," baru kemudian Regan bernyanyi lebih keras dan terus mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama. Tidak peduli pada tatapan heran penumpang bus. Kali itu, aku hanya tertawa-tawa melihat tingkah cuek Regan. Hatiku merasa nyaman, padahal secara normal aku tahu itu memalukan.

"Gila," ujar Regan. Suaranya sangat payah.

Arsan tidak menggubris. Mungkin setuju. Ia malah melanjutkan nyanyiannya, mengikuti Wiz Khalifah mendendangkan syair dengan cepat dan mata terpejam saking menikmati. Aku tidak ikutan karena tidak hafal bagian rap-nya. Sementara Regan tidak berhenti tertawa meski pelan.

Pintu dibuka dari luar, menarik perhatian kami. Ada Tante Arin berjalan masuk bersama Pilar. Mungkin mereka bertemu di lorong, lalu masuk ke dalam bersama. Aku segera melempar senyum kepada Pilar yang tampak kelelahan. Proyek baru dari bosnya membuat Pilar harus lembur dua hari ini.

"Lagi pada ngapain nih, seru banget?" Pilar mengundang perbincangan. Roti sobek pesanan Arsan diletakkan di atas nakas.

"Arsan habis bikin konser." Aku menjawab. Hendak merangkul Pilar, tapi Pilar malah menjauh. Aku lupa, kalau ada orang lain selain kami berdua, Pilar akan menyebut situasi sejenis ini 'di depan umum' dan Pilar tidak suka mengumbar kemesraan di depan umum. Walaupun sebenarnya, kalau sedang berdua, berangkulan bahu juga sudah paling mesra.

Tante Arin menyela pembicaraan kami dengan kabar baik yang dibawanya. Kalau kondisi Regan oke, akhir pekan ini, Regan bisa pulang ke rumah. Hanya rawat jalan saja. Jelas, kami semua sangat senang mendengarnya, tapi Regan tidak tersenyum. Kulihat Regan justru mengerutkan dahi. Tidak sampai bergaris-garis memang, tapi aku yakin ada yang mengganjal perasaannya.

"Ini Pilar, Re. Kenalin," kataku, curiga Regan penasaran pada Pilar. Sejak tadi, tatapannya tidak mau lepas dari laki-laki di sebelahku.

Pilar tersenyum ramah meski wajahnya kelihatan sudah sangat ingin beristirahat. Regan tidak membalas senyum Pilar. Ia hanya mengangguk sekilas, kemudian mengalihkan pandangan ke nakas.

"Kamu mau apa, Gan?" Tante Arin tersenyum hangat seolah ingin menerjemahkan sedalam apa cintanya untuk Regan.

"Minum." Tangan kurus Regan menjulur. Mencoba meraih gelas dengan gemetaran.

Sebenarnya, aku selalu merasa bersalah tiap kali melihat Regan kepayahan. Selain kehilangan kesempatan untuk menghadiri wawancara di salah satu perusahaan media karena misi pamitnya tempo hari, Regan juga kehilangan kemampuan bergerak bebas, untuk sementara. Meski belum mencobanya, aku yakin hal ini akan membuat hobinya terganggu. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana rasa kecewanya Regan nanti.

"Eh!" Aku berseru panik ketika gelas di tangan Regan merosot, lalu buru-buru mendekat dan menangkap gelas beling itu. Ujung-ujung jariku dan Regan jadi saling bersentuhan, hanya dijeda gelas. Seharusnya tidak ada yang salah karena bukan itu tujuan kami, tapi entah mengapa tanganku tiba-tiba saja terasa dingin sewaktu Regan menatapku. Ada kerinduan di sana. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Atau mungkin juga di sini.

Lalu, dehaman Pilar menimbulkan bebunyian. Menyadarkan aku dari adegan picisan. Sebiasa mungkin aku membantu Regan meminum airnya. Setelah kedipan yang kuartikan sebagai ucapan terima kasih dilontarkan Regan, aku segera meletakkan gelas ke nakas dan menjauh dari bangsal.

"Kenapa, my man? Lo ngantuk yeah?" Beruntung, Arsan punya sifat sok tahu. Aku dan Pilar jadi punya alasan untuk segera pulang.

Tante Arin mengantar kami sampai pintu, lalu memelukku tiba-tiba. Meski sempat terkejut, aku membalas juga. Berpura-pura kuat kurasa memang keahlian wanita.

Bahuku basah. Tante Arin pasti meloloskan bulir-bulir air matanya. "Terima kasih, Kirana." Suara Tante Arin serak meski bahunya masih kuat dan tidak berguncang hebat. Aku mengangguk dan mengelus Tante Arin lebih pelan sampai Tante Arin sendiri melepas pelukan kami. Kulihat mata Tante Arin sedikit sembap. Beberapa helai rambutnya yang mulai putih menempel di pipi karena basah air mata.

"Sehat terus ya, Tante!" Aku tersenyum sambil menghapus basah di wajahnya. Lalu, kami berpisah. Aku dan Pilar melangkah bersebelahan dengan tanganku digandeng Pilar. Tidak ada percakapan. Pilar pasti sedang merasa sangat lelah. Atau aku saja yang sedang terlalu sibuk mengingat insiden gelas-hampir-jatuh tadi.

Mataku hendak terpejam ketika kami tiba di perempatan jalan terakhir. Aku sudah pamit tidur dan dijawab 'iya' oleh Pilar. Kebiasaan burukku ini agak sulit dihilangkan. Aku tidak bisa dibiarkan diam atau aku akan memilih tidur. Apalagi, tadi kulirik jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

"Rana." Pilar terdengar ragu. Aku batal memejamkan mata. "Aku mau serius," lanjutnya.

Aku menoleh. Leherku jatuh sedikit ke bawah. Kutatap Pilar sebentar, antara malas dan gemas. Pada saat tertentu, Pilar payah memulai pembicaraan. Ia bahkan tidak juga bicara sampai detik kelima.

"Jadi, kapan kita ke Timezone? Kamu masih janji loh waktu itu." Gara-gara kecelakaan tempo hari, semua rencana kami gagal. Termasuk janji main ke Timezone yang seharusnya kami lakukan sehari setelah lamaran kemarin. "Akhir pekan ini, ya!" tembakku. Posisi kepalaku sudah kembali relaks di sandaran bangku mobil.

"Sabtu aku harus masuk, Minggu aku nggak bisa janji. Pak Wisnu lagi rese-resenya nih."

"Pak Wisnu atau Kanaya?" Ketimbang Kania, aku justru sering merasa cemburu pada bocah ABG, anak bungsu bosnya Pilar.

"Pak Wisnu." Pilar meralat dengan tenang. Hampir satu tahun belakangan, Pilar menjadi lebih akrab dengan keluarga Pak Wisnu, bosnya pada jam kerja, tapi teman nongkrong di luar kantor. Minimal dua kali dalam satu bulan, Pilar akan main ke rumah Pak Wisnu, sekadar 'bersilaturahmi' dan memenuhi keinginan-keinginan Kanaya yang sedang bersedih ditinggal kakak satu-satunya tahun lalu karena kecelakaan.

"Kalau Kanaya yang minta temenin main ke Timezone gimana?" Kedua alisku mengangkat. Meski tidak berniat mengajak 'perang', nadaku pasti terdengar begitu. Hal-hal berbau Kanaya sering kali berhasil membuatku kekanak-kanakan. Kalau tidak mengenal Pilar yang memang terlalu baik kepada orang-orang, aku pasti sudah jadi ratu FTV lebih dari ini. Hal sekecil apa pun bisa jadi minyak tanah bagi api.

Pilar tidak jadi menjawab karena ponselnya berdering. Kulirik, ada nama "Pak Wisnu Kantor" di layarnya. Mataku segera beralih dari Pilar, mengambil satu tarikan napas cukup panjang, lalu mulai terpejam. "Bangunin kalau udah mau sampai," pamitku, malas mendengar hal yang sudah bisa kutebak jawabannya. Mencegah rasa sewot lebih baik daripada harus memiliki perdebatan menyebalkan pukul setengah sepuluh malam.

Kemudian, ucap Pilar usai menutup telepon, "Hari Minggu kita main ke Timezone berempat."

"Good night, Pil." Aku tahu itu aku, Pilar, Pak Wisnu, dan Kanaya. Sangat menyebalkan. Kanaya, Kanaya, Kanaya ... sama dengan iya.

Mataku terpejam, tapi tidak bisa tenggelam tidur. Kuingat-ingat, ini belum memasuki tanggal datang bulanku, juga tidak ada nasabah yang berulah. Entah mengapa, hatiku terasa mudah panas.

"Tadi kamu mau ngomong apa?" Akhirnya, aku membuka obrolan lagi ketika usahaku untuk tidur gagal.

"Oh, iya, aku mau bicara." Kemudian, kudengar Pilar berdeham. Bisa kurasakan ada gerakan spontan. Pilar pasti menegakkan bahunya.

Itu membuat jantungku kesetrum. Firasatku tidak enak. Berdasarkan pengalaman, yang aku tahu, kalimat 'aku mau bicara' adalah tanda bahaya. Intro untuk kabar buruk bagi lawan bicaranya. Apalagi, saat aku mengintip wajah Pilar kelihatan seperti baju tidak disetrika.

"Soal Regan," sambungnya membuatku gantian terkesiap.

Mataku membuka secepat kilatan cahaya. "Maaf Pil," ucapku segera dan sungguh-sungguh. Aku tahu ke mana arah pembicaraan Pilar. Melihat pasangannya berpegangan tangan dengan orang paling dicemburui itu pasti seperti Pilar menolakku, tapi bilang 'iya' pada Kanaya. "Tadi itu kebetulan," lanjutku sambil menyampirkan tangan ke lengan Pilar.

Pilar menoleh. Menatapku sebentar tanpa kata apa pun. Ia menepikan mobil, membuatku mulai mengkhawatirkan hal-hal yang bergentayangan di dalam kepala.

"Pil?" Suaraku memelas. Tatapan Pilar membuatku seperti baru saja mencuri uang triliunan milik rakyat. "Maaf," lanjutku, tapi Pilar tidak lekas menjawab.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Kupu-Kupu dalam Perut-BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya