[NOVEL] Marrying The Diplomat-BAB 1

Penulis: Haya Nufus

#1 Mendadak dilamar!

 

Cut Tara.

Aku telah berada di depan loket check-in ketika sebuah suara memanggil.

"Cut Tara!"

Aku berpaling mencari sosok yang menyebut namaku. Sosok itu memakai batik lengan panjang bermotif parang warna cokelat tua. Tubuh jangkungnya menjulang di antara orang lain yang tengah mengantre. Ia terengah-engah. Pasti telah berlari untuk sampai ke mari.

"Pak Rian?"

"Kita perlu bicara," ujarnya menunjukkan gerak ingin menghampiri. Namun tak bisa lebih dekat karena petugas keamanan menahannya di belakang garis antrian. Di depanku, petugas berwajah Arab telah menjulurkan tangannya meminta dokumen penerbangan. Namun lelaki itu jelas sekali ingin menyampaikan sesuatu hingga ia rela melobi petugas untuk diizinkan masuk ke ruang check-in. Jadi kutarik lagi paspor dan membiarkan giliranku dipakai oleh sebuah keluarga Arab di belakangku. Mungkin ada yang penting terkait pekerjaan atau urusan dokumen.

"Ada yang penting, Pak?" tanyaku. Beberapa saat sosok itu tak bersuara. Tampak mengatur napasnya. Membuka mulut lalu menutup kembali tanpa ada kalimat yang keluar. Membingungkan.

"Pesawat saya akan terbang tiga puluh menit lagi," ujarku mulai tak sabar.

"Kamu, maukah menjadi istri saya?"

Aku kaget. Sangat kaget. Lelaki yang baru beberapa kali kutemui itu melamarku? Apa aku salah dengar? Aku mencari Said, rekan kerja yang datang bersamaku ke Kuwait. Ia yang tadi telah selesai check-in berdiri tak jauh dari kami. Ia yang tampak bersiap masuk ke ruang tunggu, membalas tatapanku dengan ekspresi yang sama kaget. Bahkan mulutnya terbuka. Jelas ia juga mendengar kalimat ajaib Pak Rian tadi.

"Maksud Bapak?" Aku butuh penjelasan.

"Saya jatuh cinta sejak pertama melihat kamu. Saya takut tidak akan ada kesempatan lain jika tidak melamarmu sekarang."

"Apa yang membuat Bapak berpikir saya akan menerima lamaran ini?"

"Saya tidak tahu. Tapi saya harus mencoba," jawabnya sambil bergerak maju beberapa langkah. Mengeluarkan sesuatu dari saku. Sebuah cincin. Dan menjulurkannya padaku.

"Bapak sudah menyiapkan ini sejak kapan?"

"Baru beli di toko perhiasan di shopping area bandara. Itu yang membuat saya lama, harusnya saya bisa mencegatmu sebelum masuk ruang check in."

Aku bingung. Apa bisa cara melamar seperti ini? Tergesa-gesa. Dimana keromantisannya?

Kami sedikit banyak menarik perhatian beberapa orang di sekitar. Untung mereka tak mengerti bahasa Indonesia. Kami berada di bandara Kuwait. Seminggu yang lalu, di sini juga kami pertama kali bertemu. Pak Rian adalah diplomat yang menjabat di fungsi protokoler. Salah-satu tugasnya adalah menjemput rombongan pengusaha eksportir dari Indonesia yang akan mengikuti bazar perdagangan selama lima hari di Kuwait City. Aku dan Said bukan bagian dari rombongan eksportir. Aku jurnalis dan Said kamerawan yang meliput kegiatan itu. Tapi kami datang bersamaan.

Suara wanita dari pengeras suara terdengar mengumumkan pemanggilan para penumpang Emirate dengan sederet nomor penerbangan agar bergegas menuju waiting room.

"Saya tidak bisa menjawab sekarang. Ini bukan sekedar ajakan untuk makan malam!"

Laki-laki di depanku berpeluh. Ruangan bandara ini dingin. Orang-orang memakai jaket tebal. Dan dia berpeluh.

"Saya serius dan sungguh-sungguh. Saya sudah cukup dewasa untuk tahu kalau kamu memenuhi kriteria istri yang saya inginkan."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kriteria! Satu kata itu menyulut egoku. Apa lelaki ini pikir, istri itu serupa barang yang ingin ia miliki? Kalau ia benar-benar menginginkannya ia tinggal ambil dan bayar? Tak perlu pikir panjang. Suka ya suka. Begitu?

Aku mendengus. Melirik pada Said yang menunjuk jam di pergelangan tangannya. Dari ekspresi Said aku tahu ia punya banyak kalimat untuk meledekku. Tapi ia juga tak mau gara-gara kejadian tak terduga ini, kami tertinggal pesawat, dan membiarkan tiket kami seharga belasan juta hangus.

"Apa saya harus jawab sekarang?"

Lelaki itu mengangguk. Sebenarnya, ia cukup lumayan untuk dijadikan seorang pacar. Sebenarnya, aku juga berada di umur yang menurut Mami sudah harus berkeluarga. Tapi dengan cara begini? Dengan waktu sesingkat ini? Enak saja! Aku juga berhak memilih suami. Tapi kupikir aku bisa sedikit mempermainkannya.

"Kalau Bapak serius, susul saya ke Indonesia. Temui keluarga saya langsung!"

Ia menarik kembali tangannya.

"Simpan dulu cincin itu, pesawat saya akan berangkat dalam hitungan menit. Selamat siang."

Aku melangkah dengan tubuh tegak meninggalkan lelaki itu. Kembali menemui petugas check in dan lalu berjalan melewati petugas yang memeriksa boarding pass. Tak lagi melihat padanya.

Namun sebenarnya, jantungku berdetak teramat kencang. Aku dilamar! Mami, anakmu ada yang suka! Anak perempuan yang menurut Mami membuat laki-laki terintimidasi karena keangkuhan dan rasa over-confident ingin dijadikan istri! Dan laki-laki itu bukan sembarangan laki-laki. Dia seorang diplomat muda yang tampan.

"Ciyeee yang dilamar!" Said mengeluarkan ledekan pertamanya. Kami tengah berada di barisan untuk naik ke pesawat. Aku menepuk bahu Said tapi tak bisa menahan senyum.

"Sekarang baru senyum. Tadi lo tegang banget. Gue yakin itu orang udah keder dan mundur."

Masak, sih? Bagaimana kalau ia beneran mundur? Aku serupa menyia-nyiakan untuk memiliki cincin.

"Padahal cincinnya cantik," jawabku membuat Said mengangguk setuju.

"Berlian itu. Gue aja belum mampu beli."

"Mahal ya?" tanyaku retoris yang dijawab anggukan cepat Said.

"Banget! Kenapa tadi nggak lo ambil aja? Perkara terima atau enggak kan bisa lo akali lagi nanti-nanti. Bilang aja lo mau pikir-pikir dulu."

"Njir! Gue nggak sematre itu."

Sebenarnya Pak Rian lumayan. Tapi untuk jadi suami, lumayan bukan kata yang cukup.

"Kalau dia beneran ke Jakarta buat ketemu orang tua lo gimana?" tanya Said lagi saat kami sudah di pesawat dan duduk di bangku kami masing-masing.

"Gue nggak tahu. Gue juga ingin balas sikap sok-nya tadi. Dari sikapnya, seakan dia yakin gue akan terima lamarannya. Dia pikir gue gampangan apa?"

"Jadi lo bakal tolak?" tingkat ke-kepo-an rekan kerjaku ini memang di atas rata-rata. Tapi itu pasti karena kami sudah berkali-kali melakukan liputan bersama. Aku memilih tak menjawab pertanyaan Said.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Pingyan dan Pangeran Bayangan-BAB 5

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya