[NOVEL] Marrying The Diplomat-BAB 3

Penulis: Haya Nufus

#3 Mami memang the best!

 

Setelah penerbangan sepuluh jam, ditambah satu jam dari bandara ke rumah, aku sampai. Mami menyambut di depan pintu.

"Kamu pergi berapa hari sih? Kok kayaknya lama banget. Mami kesepian," ujar Mami setelah melepas pelukan.

"Cuma lima hari, Mi," ujarku sambil menyeret koper ke lantai atas menuju kamarku.

Aku masuk ke kamar yang aku tahu sudah terkena sentuhan tangan Mami. Tempat tidur rapi dengan seprei baru beraroma lavender. Menggoda banget untuk ditiduri. Tapi masih ada laporan yang harus aku selesaikan. Jadi, kutahan godaan itu. Kubuka ransel dan mengeluarkan laptop, meletakkannya di meja kerja, menekan tombol on.

"Mandi dulu, Cut," ujar Mami yang ternyata mengikutiku masuk, tangannya bergerak membuka koper yang tadi kuletakkan di lantai.

"Mami jangan sentuh!" ujarku cepat. Aku tahu apa yang akan Mami komentari jika koper itu terbuka. Tapi terlambat. Koper itu telah membuka dan terbentang menampilkan isinya yang berantakan.

"Memang di sana nggak ada jasa laundry? Sampai baju kotor dibawa pulang? Aromanya ... Nauzubillah Acut! Ini baju yang bersih bercampur dengan yang kotor? Apa salah Mami sampai bisa punya anak perempuan sejorok ini?"

Aku hanya memberi cengiran. Mami lebai. Tapi alasan apa pun yang akan aku katakan perihal baju kotor selama lima hari itu tak akan ditoleransi mami.

"Nanti Acut beresin sendiri, Mi. Mami nggak usah repot!"

"Anak perempuan itu harus bersih. Kasihan banget yang nanti jadi suami kamu," tambah Mami lagi kini membuyarkan konsentrasiku akan laporan yang mau aku tulis. Kata suami yang Mami ucap, membuat aku teringat Pak Rian.

"Seumuran kamu, Mami sudah mengurus suami dan dua anak. Semua bersih. Rumah rapi, anak-anak sehat terawat, suami tercukupi kebutuhannya. Malah Mami masih sempat masak, terima pesanan katering dan orderan kue kering setiap lebaran."

"Mami memang the best!" ujarku menunjukkan jempol terhadap cerita Mami.

"Kamu itu, gaya dan kelakuan kebalikan Mami. Anak gadis tapi tampilan dekil. Tak terawat."

"Dekil tapi tetap cakep, Mi," ujarku dengan cengiran. Akan susah memusatkan perhatian pada kerjaan kalau ada Mami yang senang sekali berbicara di dekatku. Tapi akan tidak sopan dan durhaka kalau menyuruh Mami diam dan pergi. Aku baru pulang. Tentu Mami ingin melepas rindu dan memberondong aku dengan repetan panjang. Udah lima hari Mami sendirian di rumah. Aku tahu, diam tanpa teman mengobrol menyiksa Mami. Jadi repetan Mami ini adalah cara Mami melepas rindu.

"Untuk apa cakep kalau masih jomblo," kalimat itu, ingin sekali aku bantah. Aku bukan nggak laku!

"Idih Mami. Acut baru saja mau dikasih cincin berlian tahu." Dan aku kepancing.

"Serius? Mana?"

"Berliannya?"

"Orang yang ngasihnya!"

"Udah Acut tolak!"

Demi mendengar itu, Mami meletakkan pakaian kotor di lantai. Lalu menggeser kursi dan duduk di sebelahku dengan wajah teramat ingin tahu.

"Kamu beneran dilamar?"

Hand phone berdering, membuat aku punya alasan tak menjawab pertanyaan Mami. Dari Pak Leo, atasanku.

"Email kamu belum saya terima," kalimat Pak Leo tanpa basa-basi.

"Memang belum saya kirim. Sepuluh menit lagi ya Pak," balasku sambil lalu memperhatikan layar laptop.

"Saya tunggu sampai habis maghrib. Tapi kamu harus liputan lagi."

"Sekarang Pak? Saya baru sampai rumah."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Ini penting Cut Tara. Kamu yang biasa meliput acara kenegaraan. Waktunya tiga jam lagi. Konferensi pers di Kementerian Keuangan. Masih ada waktu jika kamu berangkat sekarang."

"Tega banget sih Pak, nyuruh saya kerja rodi."

"Besok kamu boleh libur," ucap Pak Leo cepat.

"Memang besok saya libur." Jawabku tak kalah cepat.

"Jangan banyak protes, kamu ditunggu Lita jam tiga di lobi Gedung utama Kementerian Keuangan."

"Lita? Bukan Said?" Aku terbiasa berpartner dengan Said.

"Said baru pulang. Kasihan."

What? Kasihan Said yang baru pulang liputan luar? Terus aku? Aku juga baru pulang. Pak Leo bisa setidak adil itu. Aku tak sempat protes, telepon telah diputus. Aku pasrah.

"Siapa orangnya?"

"Pak Leo, pimpinan Acut yang pernah ketemu Mami lebaran tahun lalu waktu Mami ikut acara Open House di kantor," jawabku sambal kembali mematikan laptop.

"Bukan Pak Leo. Yang kasih kamu cincin ... siapa?" Aku butuh beberapa detik untuk nyambung dengan pertanyaan Mami. Karena obrolan Pak Leo masih membuat kesal.

"Sudah Acut tolak Mi," ujarku bangkit dari bangku ingin keluar kamar, menuju kamar mandi. Mami yang terlanjur penasaran tampaknya tak akan melepas aku begitu saja, ikut ke kamar mandi, bahkan menunggui di depan pintu kamar mandi.

"Cut Tara, kesempatan itu tak selalu datang dua kali. Kamu sudah dua puluh delapan. Mami dulu menikah jauh lebih muda dibanding kamu. Umur dua puluh dua."

"Nikah kan bukan lomba Mi. Bukan cepet-cepetan," teriakku yang kutahu pasti didengar Mami.

"Bunga secantik apa pun akan layu. Percuma kamu lebih cantik dari Mami, kalau nasib Mami lebih beruntung soal cinta dan jodoh ..."

Lalu suara mami hilang, tertimpa suara guyuran air dari shower. Mami kalau bicara bisa panjang banget. Apa lagi tentang jodoh untuk anak gadisnya. Aku harus mengabaikan Mami kali ini. Bukannya tak sopan tapi Lita sudah menunggu. Telat sepuluh menit saja akan menjadi masalah. Kami bisa ditolak masuk ke ruangan konferensi pers.

Begitu selesai mandi, untunglah Mami tak lagi ada di kamar. Jadi aku bisa cepat bersiap. Harusnya aku tadi tak menceritakan tentang Pak Rian, tapi aku terprovokasi. Bunga yang layu? Aduh Mami diksimu!

Aku menyiapkan barang-barangku, memasukkan laptop, berkas-berkas dan peralatan lain yang nanti aku butuhkan dalam ransel besar lalu memesan ojek online.

"Acut pergi ya, Mi," ujarku sambil salim tangan Mami yang beraroma kari.

"Mami masak enak. Kamu harus makan malam di rumah."

"Siap, Mi!"

"Eh tunggu!" ujar Mami lagi lalu kembali ke dapur. Hanya beberapa saat Mami balik dengan kotak makanan di tangan.

"Mami buat timphan tadi pagi. Kamu makan di jalan atau sambil nunggu nara sumber nanti," ujar mami mengulurkan sebuah wadah kecil berbentuk kotak. Aku bisa melihat tumpukan timphan, makanan kecil khas Aceh yang terbalut daun tersusun di dalamnya.

"Ya ampun, Mi. Acut rindu banget makan timphan," ujar aku kegirangan, "Mami memang the best!" tambahku setulus hati.

"Selesai tugas, langsung pulang. Kamu bukan mesin, butuh istirahat," ujar Mami menambahkan. Aku juga ingin di rumah sebenarnya. Namun menjadi peliput berita, mendapat pekerjaan tambahan sulit ditolak. Berita datangnya bisa tiba-tiba. Kerja tak kenal waktu adalah resiko.

"Siap Mami sayang!"

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Marrying The Diplomat-BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya