[NOVEL] Baby Without Daddy: Bab 3

Penulis: Pradnya Paramitha 

[Sebulan sebelumnya]

Ada yang tidak biasa dengan suasana kantor siang ini ketika Mentari datang. Kantor yang biasanya berisik dan langsung senyap ketika dia datang, kali ini sudah hening sejak saat dia belum membuka pintu ruangan utama. Beberapa meja karyawan kosong, yang lain terlihat serius di depan komputer.

Mentari memutuskan untuk tidak peduli dan berjalan lurus ke ruangannya yang terletak di sudut tanpa menyapa siapa pun. Sutha, asisten editor yang sedikit kemayu, sudah menunggu dengan tablet di tangan.

“Sepi banget di luar,” komentar Mentari sambil melepas scarf yang melingkari leher jenjangnya. “Udah ada kabar dari Firly? Kalau emang dia masih nggak bisa dihubungi, bilang ke HRD kita butuh orang yang bisa nge-backup kerjaan Firly. Harusnya ada SP 1 atau 2. Empat hari nggak masuk kerja tanpa notifikasi ....”

“Tari, lo belum baca WhatsApp?” Sutha memotong.

“Belum. Kenapa?” Mentari menatap asistennya. “Ada rapat lagi sama bos besar?”

Sutha menggeleng. “Firly meninggal 3 hari lalu.”

Mentari membelalakkan mata. Meninggal? Bagaimana bisa?

“Serius lo?”

“Ngapain eyke bercanda? Dia meninggal tiga hari lalu, tapi baru ketahuan pagi tadi sama tetangga kosnya. Sedih banget, deh. Lo tahu kan Firly itu anak rantau? Di kos sendirian. Dia sakit nggak ketahuan. Tetangganya curiga karena dia nggak kelihatan sejak tiga hari lalu. Pas kamarnya didobrak, jasadnya udah ... eh! Tar! Tari! You kenapa, Nek??”

Mentari merasa tubuhnya seperti kehilangan tulang. Bersamaan dengan jantungnya yang berdebar kencang, kakinya berubah menjadi jelly. Beruntung Sutha dengan sigap menangkapnya. Kalau tidak, mungkin sekarang dia sudah menggelosor di lantai.

Mentari mengerjapkan mata, berusaha mengenyahkan sakit kepala yang hadir mendadak. Mentari berusaha mengembalikan kekuatannya. Dihelanya napas panjang berkali-kali. Setelah beberapa saat, detak jantungnya mulai normal kembali. Isyarat tangannya memberitahukan Sutha bahwa dia sudah bisa berdiri sendiri.

Are you ok?” tanya Sutha dengan nada khawatir.

Bukan hanya Sutha, dia juga terkejut dengan respons yang diberikan tubuhnya. Kilasan kejadian di masa lalu kembali terputar di benaknya. Bersama cuplikan-cuplikan mimpi buruk yang sudah menjadi teman tidurnya setiap malam. Bulu kuduknya mulai berdiri. Ini jelas-jelas tidak bisa dibiarkan.

“Perlu ke klinik di lantai satu?”

Mentari menggeleng. Dia tahu sepucat apa wajahnya saat ini. “Terus, sekarang Firly gimana?”

“Tadi anak-anak udah pada ke sana. Sekarang jenazahnya dalam perjalanan menuju Surabaya. Ada orang HRD yang ikut nganter.”

“Oh, oke.” Mentari menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Sekali lagi dihelanya napas panjang. “Hari ini, apa ada meeting penting?”

“Ada meeting sama Robby dan Paula. Tapi masih entar sore.”

“Kalau gitu gue keluar dulu.” Scarf yang baru saja dilepas kembali dipakainya. “Nanti gue balik lagi sebelum pukul tiga. Bye!”

Tiga puluh menit kemudian Mentari sudah berada di sebuah lorong rumah sakit. Bedanya, di sini tidak ada pasien-pasien yang dibawa dengan kursi roda ataupun ranjang beroda. Sepanjang lorong Mentari bertemu dengan orang-orang unik. Ada yang sedang duduk saja sambil menatap telapak tangannya seolah sedang membaca garis tangan, ada yang menari-nari seperti sedang memimpin sebuah senam aerobik, ada juga yang memanggil-manggilnya dengan nama entah siapa. Mentari menguatkan hatinya, berusaha menghilangkan pikiran bahwa sebentar lagi dia akan menjadi salah satu dari mereka.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Tujuannya adalah ruang dokter yang ada di ujung lorong. Dugaannya tepat. Naura, sahabatnya sejak kuliah yang menjadi dokter jiwa di rumah sakit ini sedang istirahat. Dengan sedikit paksaan a la Mentari yang tidak pernah bisa ditolak siapa pun, Mentari berhasil membawa sahabatnya itu makan siang di luar. Sekalian dia ingin konsultasi tentang kemungkinan dirinya akan menjadi salah satu pasien Naura dalam waktu dekat. Pikiran ini, mau tidak mau, membuat Mentari ngeri. Apa benar dirinya sudah setengah jalan menuju gila?

“Mimpi buruknya tambah sering, emang?” Naura bertanya.

Mentari menggeleng. “Rutin. So scary, isn't it? Gue memimpikan kematian sepanjang waktu. Dan pagi ini, gue nyaris pingsan saat dengar kabar anak buah gue meninggal tiga hari lalu tapi baru ketahuan sekarang.” Mentari menatap sahabatnya. “Apa semua orang takut mati kayak gue?”

“Takut mati itu hal yang wajar, Tar.” Naura mengaduk kopinya. “Yah, pendapat gue masih sama. Apa yang lo lihat di Pacitan dulu itu membangkitkan kekhawatiran lo. Pria itu juga tinggal sendirian, kan?”

Mentari mengangguk. Benaknya memutar ulang memorinya saat berlibur ke sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur. Dia teringat bagaimana pagi itu, kampung kecil di pesisir pantai tempatnya menginap, geger. Penduduk berjubel-jubel di sebuah rumah besar yang terletak selang tiga rumah dari penginapan. Pemilik rumah itu adalah seorang pria berusia di atas 60 tahun, tidak beranak dan tidak beristri. Hari itu, dia ditemukan meninggal dunia dengan tubuh membusuk.

“Lo nggak gila, Tari,” kata Naura seolah mengerti kekhawatirannya. “Kalian punya situasi yang sama, karena kebetulan lo juga hidup sendirian.”

Mentari tidak menjawab.

“Takut mati, takut sepi, dan takut sendiri itu manusiawi. Karena itulah, manusia punya kecenderungan untuk menikah dan punya keturunan. Kita punya dorongan untuk meregenerasi sel-sel tubuh kita, Tar. Saat kesepian sudah bisa lo rasakan, itu justru pertanda bagus. Saat itu lo akan berpikir untuk mulai mencari pasangan.”

“Gue nggak kesepian,” jawab Mentari, tidak terima. “Gue juga nggak kekurangan pasangan.”

Naura tersenyum. “Intinya adalah, lo takut mati dalam kesendirian. And it’s ok. Banyak yang mengalaminya. Lo hanya baru mengalaminya sekarang.”

“Oke. Lalu ... solusinya?”

“Solusinya? Banyak. Lo bisa menambah kesibukan supaya nggak terlalu kepikiran. Lo juga bisa menikah, punya anak, membangun keluarga.”

Mentari berdecak. “Itu solusi yang mustahil.”

“Kenapa mustahil?”

“Lo tahu kan gimana pernikahan-pernikahan di keluarga gue?” Mentari menggeleng-gelengkan kepala. “Lo lupa berapa lama gue harus minum obat-obat penenang dari dokter saat semua orang di keluarga gue mati? Gue nggak mau nambah daftar kegagalan itu. Gue nggak mau nikah. Nggak ada gunanya.”

“Oke.” Naura mengangguk-angguk. “Gimana kalau punya anak? Lo bisa adopsi anak, kan?”

“Anak?”

Naura mengangguk lagi. “Saat lo punya seseorang yang akan menemani lo, gue yakin kecemasan-kecemasan lo akan berkurang dengan sendirinya.”

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Baby Without Daddy: Bab 4

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya