[NOVEL] Earthshine - BAB 1

Penulis : Suarcani 

"Aroma bunga, kayaknya sih mawar?" kata Mila.

Aku ikut menghidu, berusaha mengenali wangi yang masuk ke hidung. "Bukan, lebih ke aroma kayu ini," bisikku serius.

Mila mengernyit, nggak percaya. Dia condong ke depan sambil kembali mengendus. "Betul, kadang kecium wangi kayu juga," sahutnya dengan semangat.

Aku tersenyum puas, merasa amat bangga karena berhasil menebak jenis aroma yang melayang-layang dari tubuh Pak Alvin. Sementara dosenku itu sedang berdiri di depan kelas sambil menyiapkan laptop. Sebentar lagi, kuliah Teori Akuntansi akan dimulai.

"Tapi kadang ada bau tembakau gitu," bisik Mila lagi sambil mengendus berkali-kali. Bodoh, dia lupa kalau kami sedang di kelas. Dengusannya menghasilkan bunyi keras dan mencurigakan.

"Mila, ada apa?" tegur Pak Alvin.

"Oh, tidak, Pak. Saya ... saya sedikit pilek," sahut Mila terbata.

Sambil menutup mulut dengan buku, aku terkikik. Payah memang si Mila, diajak jadi detektif tapi dungunya kok nggak dicopot.

Pak Alvin percaya, keributan tidak berlanjut. Dia memulai kelas, mengambil spidol. Saat menulis di whiteboard, bagian belakang kemejanya ikut terangkat, menunjukkan punggungnya yang kokoh. Saat itulah lenguhan menjijikkan dan penuh nafsu terdengar dari arah belakang.

"Ah, ototnya itu lho, nggak kuat gue bayanginnya, kekar banget!"

Tanpa menoleh pun aku tahu itu Susan, si ratu mesum. Taruhan, sekarang dia pasti sedang memandangi punggung Pak Alvin dengan ekspresi binalnya.

"Ya ampun, Mbak, nafsunya ditinggal dulu di rumah. Lagi kuliah ini!" bisik Mila ke Susan.

"Maklum, otaknya kotor, banyak nodanya. Mau bersihin, stok Bayclin di toko habis," sahut Mayang yang duduk di sebelah Susan.

"Pakai Harpic aja kalau gitu!" saran Mila.

"Hmm... Kok gue baru tahu kalau tuh otak ternyata lo titip di kloset?"

Sebelum perdebatan cairan pembersih itu berlanjut, aku cepat-cepat menyuruh mereka diam. Bisa gawat kalau Pak Alvin tahu. Dia dosen yang sabar. Namun, jangan salah, justru orang yang kayak gitu bisa mengerikan kalau marah.

Percuma, Susan kalau mesumnya lagi kambuh, mulutnya tidak bisa dicegat. Desahan menjijikkan itu masih terdengar. Aku pun menyerah, lalu geli sendiri.

Mayang, Susan, dan Mila adalah mahasiswa semester VIII, satu tingkat di atasku. Meskipun umur mereka setahun lebih tua, kelakuan mereka sama minusnya. Aku nggak nyalahin juga, sih. Dosen kami itu memang begitu menggoda. Masih muda, belum tiga puluh tahun, ganteng, single pula. Plus tubuhnya itu lho, yang ketika mengenakan kemeja slim fit kayak sekarang, bikin dada mahasiswi mana pun berdebar.

Pak Alvin memang dosen favoritku, tetapi bukan dari segi otot dada atau bentuk tubuhnya, ya. Aku suka karena dia ramah. Bimbingan dengannya itu seperti ngobrol dengan teman. Mungkin karena Pak Alvin tergolong dosen baru. Masuk ke kampus ini sebagai pengajar bersamaan dengan kedatanganku sebagai mahasiswi. Umur kami hanya terpaut delapan tahun. Kami sama-sama masih di umur dua puluhan, hanya beda ekor. Aku ekor 1, dia ekor 9.

Namun, semua pandangan itu berubah sejak aku sekelas dengan tripel mesum ini. Yah, pergaulan ternyata benar-benar memengaruhi karakter. Gara-gara terlalu sering mendengarkan celetukan mereka soal otot dada dan otot perut milik Pak Alvin, lama-lama fantasiku ikut-ikutan liar. Terus, kalau lagi bimbingan, aku juga sering salah fokus ke arah kancing teratas kemeja yang dibiarkan lepas. Kulit dadanya akan mengintip, membuat imajinasiku ke mana-mana. Kira-kira, gimana ya rasanya nyentuh otot-otot di balik kemeja itu?

Bisik-bisik di belakang menghilang saat Pak Alvin berbalik menghadap kami. Dia menjelaskan metode perumusan teori akuntansi. Semester akhir begini materinya memang kebanyakan hafalan, membosankan sih kalau menurutku.

"Sebelum saya jelaskan, ada yang sudah tahu beberapa metode yang digunakan untuk merumuskan teori akuntansi?" tanyanya.

Tidak ada yang tunjuk tangan. Semua mendadak menunduk, tidak mau beradu mata. Nggak rela Pak Alvin ngelihat muka mesumku, aku juga ikut menunduk.

"Sama sekali tidak ada yang baca buku nih semalam?" tanya Pak Alvin lagi. Diam-diam aku mengintip untuk tahu ekspresinya. Datar, tidak ada raut kecewa. Dia pun melanjutkan pembahasan. Sementara itu, aku kembali membayangkan pemandangan jika semua kancing kemejanya dilepas. Apa aku akan ngelihat 'roti sobek' ala seleb di Instagram?

Membayangkan itu, seketika pipiku memanas. Gila, seumur hidup aku belum pernah berpikir semesum ini, pada seorang dosen lagi. Bayangkan kalau Pak Alvin tahu, betapa kecawanya dia. Juga Mama, juga Papa, juga Mbak. Oh tidak, bergaul dengan tiga orang ini, apalagi Susan, ternyata benar-benar berbahaya. Otakku sudah dicuci.

"Bulan!"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Sebuah panggilan menyadarkanku dari lamunan. Aku gelagapan, melihat sekeliling untuk mengenali siapa yang sekiranya sedang menyebut nama Bulan.

"Bulan, kamu melamun lagi?"

Aku mendongak, nyengir. Mampus, aku ketahuan Pak Alvin.

"Ngelamunin apa, Lan?" tanyanya sambil mendekat.

Aku menggeleng cepat. "Nggak ngelamun kok, Pak," sahutku sambil tertawa tawar.

"Oh ya?" gumamnya tidak yakin sambil melipat tangan di dada. Aroma parfumnya mengulik hidung. Wangi itu persis aroma segar kayu yang bercampur dengan bunga. Kira-kira merek parfumnya apa sih? Saking penasarannya, dulu kami berempat pernah menciumi tester semua parfum di mal. Sayangnya, baunya nggak ada yang mirip. Sepertinya parfum miliknya tidak terjual di sembarang mal.

"Bulan!" tegurnya makin keras.

"Eh? Nggak ada, Pak. Saya nggak ngelamun," jawabku gelagapan sambil menyengir hambar.

"Oke, kalau kamu nggak melamun, coba ulangi apa yang saya sampaikan barusan!"

Heh? Dia ngomong apa, ya? Semenit lalu rasanya masih nanya soal soal metode perumusan teori akuntansi. Berarti sudah masuk ke metode pertama dan kedua. Sekarang, yang sedang dibahas pasti metode ketiga. Bukannya sombong, semalam aku sudah baca buku itu satu bab.

Tawa mengejek terdengar dari sekeliling, yang berhasil diredam oleh satu dehaman. Pak Alvin menatapku lagi, menunggu jawaban.

"Ah, metode perumusan teori akuntansi yang ketiga, yaitu metode normatif. Jadi, di sini, teori akuntansi itu dianggap sebagai norma sehingga harus diikuti."

Dia mengernyit. "Yakin kalau barusan saya membahas metode normatif?"

Senyumku bertahan. Yakin, aku yakin dia pasti jelasin soal itu. Seyakin kalau dia punya roti sobek di balik kemeja biru muda itu.

"Yakin, sebelumnya Bapak sudah bahas soal metode psychological pragmatic. Setelahnya metode normatif, kan?" jawabku dengan senyum mendamba.

Pak Alvin tersenyum. Pada awalnya, aku yakin itu untuk merayakan jawabanku yang tepat. Namun, ketika gerakan bibirnya berubah, aku jadi goyah.

"Betul, harusnya memang kita bahas itu, tetapi minggu depan."

Aku bengong.

"Jadi, karena kamu sudah pintar, kamu saya bebaskan dari kuliah hari ini."

"Pak ...."

Dia menggeleng, mementahkan protesku. Ekspresinya tidak bisa dibantah, sama sekali tidak goyah meskipun aku menangkupkan tangan di dada dengan wajah memelas.

"Silakan keluar." Pak Alvin memberiku jalan.

Aku bengong, mengerjap berkali-kali. Jadi, aku beneran diusir dari kelas, nih?

*

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya